Amarah telah terpupuk di benak Ara. Wanita itu memandang satu-persatu orang yang berada di mobil tersebut. Melalui apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, Ara sungguh tidak mempercayai bahwa setiap orang yang menumpangi mobil Al itu pun memandang dirinya dengan tatapan menuduh.
Ekrem yang ada di jok belakang, melalui kaca spion, terus saja memandangi dirinya dengan tatapan curiga yang sama. sedangkan Al sendiri juga melakukan hal yang sama dengan sang kakek, bedanya pria itu hanya melakukannya sambil sesekali melirik ke arah Ara.
Dan hal ini tentu saja menyakiti hati lembut wanita itu. Sepanjang dirinya mengenal kedua pria tersebut, mereka tidak pernah sekalipun berlaku demikian pada Ara. Bahkan sebanyak apapun musuh Ara mencoba menjatuhkan dirinya di depan mereka berdua, Akrem dan Al hanya kan memandangnya sebagai wujud tidak suka dari musuh Ara saja. Tidak sampai berpikir untuk mencurigai wanita tersebut.
Hal ini pun tidak ayal membawa Ara pada sebuah pembelaan diri. "Sungguh bukan saya, Kakek, Al. Memang benar, bahwasannya saya yang mengurus perihal makanan kakek. Tapi itu bukan berarti semua ini adalah perbuatan saya," elak Ara, berusaha sekuat mungkin meyakinkan laki-laki, yang baru saja kembali dari luar negeri tersebut.
Namun sayang bagi Ara. Semakin wanita itu mencoba membela diri, maka semakin tinggi pula perasaan curiga dari laki-laki muda yang ada di hadapannya itu. Itu sudah jelas. Karena pikir Al, kenapa seseorang sangat berusaha membela diri, kalau ia sendiri merasa tidak bersalah?
"Kita bahas itu nanti saja, Ara." Al yang sedang fokus menyetir itu pun menghentikan pembelaan pada wanita yang ada di sampingnya itu.
Sudah banyak kata yang dilontarkan Ara untuk membela dirinya. Namun dari banyaknya rangkaian kata itu, tidak lantas membuat rasa curiga di hati orang sekitarnya itu menjadi kehilangan rasa curiganya.
Oleh karena penolakan ini, Ara pun memilih menyerah untuk membela diri, dan memilih untuk diam saja. Wanita yang sudah lelah dengan segala tuduhan tersebut, pun kini telah kehilangan sikap rendah hatinya. Ara sudah sepenuhnya memilih untuk menjadi orang yang dingin pada semua orang.
Pikirnya, jika sudah begini, tidak ada gunanya lagi ia bersikap sabar, dengan menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka itu. Kini yang tersisa baginya hanyalah sebuah pernyataan final yang mengisyaratkan bahwa dirinya tidak bersalah.
"Aku sungguh tidak bersalah," celetuk Ara, memecahkan suasana hening yang tercipta semenjak Al membuka mulutnya tadi. "Tapi, jika kalian masih merasa curiga, maka ijinkan aku menuntut sebuah penyelidikan," lanjut wanita itu, dengan wajah dinginnya.
"Jika terbukti aku bersalah, maka aku rela dijebloskan langsung ke dalam jeruji besi."
Mendengar pernyataan gamblang wanita yang ada di sampingnya itu, Al pun menjadi sangat geram. Belum cukup wanita itu membuatnya kesal, karena membuka mulut untuk pembelaan yang menurutnya tidak sesuai keadaan tersebut. Sekarang Ara pun sepertinya ingin menambah rasa kesal di hati Al, dengan sebuah pernyataan dingin yang tidak memikirkan resikonya itu.
Dengan berat hati, Al yang tidak kuasa lagi dengan sikap Ara tersebut, pun membalas ucapan Wanita itu dengan cara yang sama dan sepadan. Laki-laki yang sudah kepalang frustasi itu, pun balas bersikap dingin pada perempuan tersebut.
Begitu kendaraan beroda empat itu tiba di pelataran rumah mereka, Al pun lantas mengucapkan isi hatinya. "Ara, sudah aku bilang, hentikan pembicaraan ini."
"Lagipula, meski pun kau salah pun, aku akan memaafkanmu. Karena bisa saja kau khilaf, dan sekarang aku beri kau kesempatan kedua," lanjut pria muda itu panjang lebar.
Namun, ucapan balasan yang dingin dari Al itu, tidak serta merta membuat Ara merasa senang. Yang perlu di dengar wanita itu bukanlah mengenai kesempatan kedua, melainkan terkait dengan pernyataan bahwa dirinya tidak lagi dipandang bersalah.
Bagi Ara, untuk apa diberi kesempatan kedua, jika dirinya sendiri tidak merasa melakukan kesalahan. Alih-alih kesempatan kedua, Ara akan lebih senang apabila Al mengatakan, bahwa dirinya mempercayai apapun yang wanita itu berusaha sampaikan sedari tadi.
"Aku tidak, ..." Ara merasa pening saat itu, sehingga ia pun memutuskan untuk menjadi pihak yang mengakhiri pembicaraan mereka. "—Hhh, sudahlah, tidak ada artinya." Gadis itu berucap frustasi, sembari menarik nafas berat.
"Toh, tidak akan pernah ada yang mempercayaiku."
Setelah berucap ketus seperti itu, Ara dengan segala perasaan hatinya yang campur aduk itu, telah memilih untuk turun dari mobil terlebih dahulu. Wanita itu pergi dari sana, bahkan tanpa merasa perlu repot-repot membantu Ekrem turun dari mobil.
"Entah apa yang harus kau lakukan pada wanita itu," celetuk kakek tua yang sedari tadi hanya memperhatikan pembicaraan antara pasangan tersebut.
Melihat sang cucu dan cucu menantunya itu bertengkar, bahkan Ekrem yang juga memendam rasa curiga pada Ara, pun tidak bisa menyelam di tengah pembicaraan. Pria itu tidak punya banyak pilihan, jika saat itu ia ikut dalam perdebatan yang tidak memiliki ujung pangkal ini.
"Maaf, kek. Biarkan ini menjadi urusan kita saja," ujar Al sambil mengusap wajahnya kasar. Nampak suami Ara itu bersikap seperti orang yang frustasi.
"Biar aku saja yang membantu kakek turun."
Al langsung bergegas turun dari mobil, pria itu pun lantas bergerak mengitari kendaraan pribadinya itu, hingga dirinya berada tepat di depan pintu jok penumpang. Di sana ia pun membantu Ekrem, sang kakek, untuk turun dari mobil, dan juga menuntunnya sampai dengan pria tua tersebut terbaring di kasurnya.
"Terimakasih, Al," ucap Ekrem dengan tulus pada cucunya itu.
Aku yang menemukan perkataan tersebut, pun tidak lupa untuk membalasnya. "Sama-sama, kek."
"Semoga saja Ara bisa segera membuka pikirannya, dan kembali mengurusmu," celetuk Al, memperdengarkan harapannya untuk hari esok tersebut. "Setidaknya ia harus tahu, kalau kita tidak mencoba untuk menyalahkannya."
"Hanya saja keadaan yang berkata demikian," lanjut Al , dengan pikiran yang menerawang.
Namun sepertinya harapan serta pemikiran Al itu, tidak dapat secara langsung diterima oleh sang istri. Semua ini karena Ara sendiri telah terlanjur kecewa pada perkataan terakhir, yang didengarnya keluar dari mulut sang suami.
Hal ini tentu melukai perasaannya. Dan tidak ayal, ini pun juga membentuk sebuah jurang tidak kasat mata di antara Ara dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Mulai dirinya yang sudah berhenti dalam hal merawat Ekrem, sampai dengan caranya menjaga jarak dari Al, hingga yang terbesar adalah Ara yang tidak membiarkan suaminya itu untuk menyentuh dirinya.
Contohnya seperti sekarang, dimana seharusnya kedua orang yang tidur satu ranjang itu saling berpelukan seperti biasa. Akan tetapi, kenyataannya Ara selalu menepis tangan Al, begitu laki-laki itu hendak melingkarkan lengannya itu pada tubuh sang istri.
"Jangan menyentuhku, Al. Sampai kau yakin bahwa aku tidak bersalah," ketus Ara, lalu mulai tidur membelakangi sosok laki-laki yang dicintainya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments