"kamu jatuh dari langit bareng hujan? Bajumu basah semua." celotehku
"iya, aku menguap dari Singapur terus terbang bareng awan, ehh... malah dibuang dengan hujan disini."
ucapan ngawurnya itu membuatku percaya kalau yang ada didepanku saat ini benar-benar Aninda citadara yuniar yang sama.
"hahaha, tapi serius, gimana kamu bisa ada disini?" tanyaku setelah sedikit tertawa
"kan udah aku bilang barusan" ia kekeh dengan jawabannya
"serius Nin"
"Umm.. Aku baru sampe di Jakarta tadi sore. Aku sempet ke kosanmu, tapi kamu gak ada. Terus tadi aku lagi nyari makan disekitaran sini. Kangen sama makanan Indonesia hehe. Ehh disebrang aku liat kamu duduk disini, terus aku lari deh kesini."
"aduh Nin, ngapain kamu hujan-hujanan, padahal kamu tinggal teriakin aku aja dari sebrang, biar aku yang nyamperin kamu ke sebrang."
"nggak apa-apa. Di sebrang sana terlalu ramai, disini kan lebih nyaman."
Dia kemudian duduk disampingku, mengelap sisa tetesan air dari wajahnya. dari dekat, tercium lagi aroma bayi yang sudah lama tidak tercium. Aroma itu tidak luntur meski sudah terbilas hujan. Sesuatu yang terpendam selama beberapa bulan terakhir seperti tumpah begitu saja. Mungkin itu yang orang bilang dengan "Rindu".
"gimana kabarmu Nin?"
"umm.. Baik, baik kok" dia menganggukan kepalanya
Sebetulnya aku punya segudang pertanyaan dari hanya sekedar menanyainya soal kabar. Tapi seperti ada suatu pembatas yang mengahalangiku untuk melontarkan semua pertanyaan yang ada dibenakku.aku takut dianggap terlalu mencampuri segala urusannya. Pada dasarnya, kami saat itu hanya memiliki hubungan sebatas teman biasa. Aku sadar betul akan hal itu. lagi pula, pertanyaan itu kini sudah lagi tidak penting. Hadirnya saja sudah menjadi jawaban yang cukup buatku. Setidaknya aku tahu, dia baik-baik saja, dan tidak ada yang berubah darinya. Tidak ada yang lebih penting dari itu.
"kabarmu gimana Mir?" tanyanya
"baik juga, umm... Ternyata kamu balik lebih lama ya Nin."
"pasti kangen aku ya" ujarnya dengan percaya diri sembari tersenyum menunjuk wajahku
"huh? Ngga juga sih" aku sedikit berbohong
"masa?" katanya "Mr.John dia pernah bilang kangen aku gak?" Ninda mendekatkan gitar ke telinganya seolah sedang mengajaknya bicara.
"ouhh iya iya," dia mengangguk seolah benar bisa mendengar gitar itu bicara
"huh? Apa katanya?" tanyaku
"kamu bohong, Mr.John bilang kamu kangen. Udahlah akui aja jangan malu-malu hahah" celotehnya tertawa
Aku mengelengkan kepala sembari sedikit tertawa seperti berkata ,ya sudahlah
hujan semakin deras turunnya, bahkan disertai angin kencang. membuat beberapa tetes air yang jatuh, terhembus angin kencang itu. Kami jadi sedikit terkena cipratannya walaupun sudah berteduh.
hawa dingin semakin menjadi-jadi. Melihat Ninda, aku tak tega. Aku yang masih terbalut pakaian kering saja merasa begitu kedinginan. Apalagi dia yang berbasah-basah ditengah udara dingin macam ini. Kuperhatikan juga tubuhnya agak menggigil.
Lalu kulepas jaketku untuk ia kenakan.
"nih pake, makin dingin disini. Aku gak masalah, kaos dalamku masih kering kok, jadi gak terlalu dingin buatku."
"serius? Nanti jaket kamu ikutan basah lho"
"biarin, gak masalah. Udah pake aja"
lantas ia menggantukan jaket itu dikedua pundaknya.
aku kemudian bercerita soal pekerjaan baruku padanya. Ia terlihat senang saat mendengar itu. dia memberiku selamat. aku berpikir, mungkin kini aku sudah tidak memerlukan gitar lagi. karena besok aku sudah akan meninggalkan jalanan, hutan rimba yang selama ini menjadi habitatku untuk mencari makan. Jadi, malam itu kukembalikan Mr.John pada tuannya lagi
tapi sebelum itu, ia memintaku memainkan gitarnya lagi. Katanya supaya menghabiskan bosan, sembari menunggu hujan reda.
kemudian kami berdua bernyanyi tak kalah berisiknya dengan gemericik hujan. sepertinya kami sangat menikmati saat-saat itu, sesekali kami juga tertawa karena salah nada atau memplesetkan lirik yang ada.
...****************...
besoknya, hari pertamaku bekerja sebagai kasir di minimarket dimulai. Aku bekerja dengan Vikram juga disana. Dia yang akan membimbingku selama masa training. Aku sedikit lega karenanya, aku akan bisa bekerja lebih nyaman jika ada seseorang yang sudah aku kenal. Aku juga tidak akan terlalu malu atau canggung jika menanyakan sesuatu yang tidak aku mengerti. bisa dikatakan, aku orang yang cukup cepat beradaptasi, jadi mungkin Vikram tidak akan terlalu kerepotan bekerja denganku.
Pagi-pagi sekali aku sudah harus bangun, dan lalu kemudian mandi. karena masih dalam masa training, aku belum diberi seragam resmi. Jadi selama masa itu, aku hanya akan menggunakan kemeja putih dan celana hitam saja.
Lagi-lagi aku lupa menyetrika kemeja itu, jadi sedikit kusut dibeberapa bagian. Ahh biarlah yang pentih masih terlihat bersih.
Kemudian kulanjutkan dengan sedikit sarapan. Bukan sarapan pada umumnya. aku sarapan dengan menelan pil itu lagi. aku memang harus begitu, karena kalau tidak, kondisiku akan buruk seperti beberapa hari lalu. lagi pula, aku tidak terbiasa sarapan dipagi hari, itu akan membuat lambungku merengek minta ke kamar mandi. Aku bisa terlambat bekerja jika begitu.
aku berangkat dengan menggunakan bus kota. sebetulnya aku berangkat lebih awal 1 jam dari jadwal, tapi begitulah jika hidup di Ibu Kota. Karena bila aku tidak begitu, kemacetan akan mendahului. Bila sudah begitu, rasanya berjalan saja bisa sampai lebih cepat ketimbang menaiki bus. Aku tidak mau terlambat dihari pertama bekerja.
Saat aku tiba, Vikram sudah lebih dulu ada disana. Itu wajar, karena dia pergi dengan motornya. jelas ia bisa sampai lebih cepat.
Di Minimarket itu ada 4 karyawan, ada yang dibagian gudang dan ada yang bertugas didepan mesin kasir. Karena aku masih diajari cara menggunakan mesin kasir, sistem perhitungan barang dan keuangan, jadi untuk sementara aku hanya membantu dibagian gudang lebih dulu. Karena bagian gudang tidak terlalu rumit untuk orang baru.
Vikram memperkenalkan aku pada semua karyawan yang ada disana. Mereka adalah, Adi, Haris, Gilang dan Sarah. Sejauh ini mereka menyambutku dengan cukup baik. Tapi aku masih belum bisa menilai karakter mereka lebih dalam.
Hari pertama itu berjalan dengan lancar tanpa ada masalah. Aku hanya belum terbiasa saja, jadi aku belum bisa menikmati pekerjaan itu. mungkin karena itulah aku meresa waktu berjalan sangat lambat saat bekerja.
Sepulang bekerja, aku diantar Vikram dengan motornya. Karena memang tempat kost ku searah dengannya
aku sempat menawarinya untuk mampir terlebih dulu, tapi dia menolak.
Karena hari itu aku bekerja shift pagi, jadi aku pulang pada sore hari pukul 3. mungkin karena sedikit lelah, aku sempat tertidur untuk beberapa jam. Hingga saat kubuka mata lagi, jarum jam telah menunjukan pukul 5 sore.
Lalu aku teringat kalau kemarin aku sempat berjanji pada Ninda akan mengembalikan buku yang telah kupinjam darinya hari ini. lantas aku menelponya untuk membuat janji temu. katanya, ia sedang diluar.
"emang kamu dimana itu?"
"aku lagi di toko buku biasa."
"yaudah aku kesana ya"
"iya oke"
sesampainya aku disana, kulihat dari kejauhan Ninda tidak sendiri. Ia bersama seorang lelaki yang tidak aku kenal. Lelaki itu duduk dengannya disebuah kursi panjang.
Saat kuhampiri, Ninda bangkit dari duduknya lalu lelaki itupun demikian.
"hai" sapa Ninda
"ini siapa Nin?" tanya heran lelaki disebelahnya
"umm... Ini Damir, temen aku"
"ouh, hai gua Frans. Pacar Ninda" lelaki itu mengulurkan tangannya
aku seperti kehilangan pita suara, tidak bisa berkata-kata saat mendengar itu. ucapan pria itu sungguh sebuah kabar yang membawa badai dihatiku. Aku hanya terdiam membisu untuk beberapa saat.
"Mir?" Ninda keheranan
" ohh, iya. Gu-gua Damir, temen Ninda" dengan kikuk kujabat tangan pria itu
"hmm ini Nin buku kamu, makasih ya"
"ohh iya, iya. Gimana bukunya seru kan Mir?"
" se-seru kok seru" bicaraku sedikit terbata-bata
aku merasa ingin segera pergi dari tempat itu. Aku ingin mencoba untuk mencerna segala yang aku rasa. Semakin lama aku bersama mereka, entah kenapa membuat dadaku sesak.
Karena merasa urusanku sudah selesai, dengan cepat aku berpamitan pergi.
"nantilah, kita ngopi dulu aja mir" ucap Ninda
"iya bro nyantai aja dulu, kita cari tempat ngopi sekitaran sinilah" sambung frans
Otakku kemudian bekerja dengan cepat mencari alasan. lantas, kubilang kalau aku harus menemui Dimas, karena ia sedang sakit. entah dari mana ide itu muncul, tapi hanya itulah satu-satunya alasan yang pertama kali muncul dalam benakku.
Sepertinya alasan itu cukup untuk meyakinkan mereka, hingga aku bisa terbebas dari situasi itu.
...****************...
Malamnya, aku termenung ditepian jendela kamar. Aku terus memikirkan tentang apa yang terjadi di Toko Buku hari ini. semakin aku terlelap dalam pikiran itu, semakin sakit rasanya. Kini ada jarak yang memisahkan antara aku dengan Ninda, jarak yang lebih jauh dari sekedar jarak antara Jakarta dan Singapura. Jarak yang tidak bisa ditempuh lagi.
malam itu aku mengerti tentang perasaan aneh yang ada dalam diriku selama ini. aku mengerti sekarang, kenapa aku bisa merasa senang saat didekatnya, rindu saat jauh darinya dan sedih saat ditinggalkannya, dan begitu lengkap sudah semuanya, aku tahu-bahwa ternyata aku sudah jatuh cinta padanya. tentu dalam hal ini tidak ada yang patut disalahkan. Kalaupun ada, itu adalah diriku sendiri. Aku yang salah mengartikan semua sikap yang Ninda berikan padaku
takdir benar-benar lucu. Awalnya ia menanamkan tunas cinta yang membuatku tertawa untuk sesaat, tapi kemudian saat tunas itu tumbuh dan berbunga, takdir malah memetiknya. Sedangkan akarnya ia biarkan tertanam begitu saja. Akar itulah sumber segala sesak didadaku saat ini.
kini yang bisa kulakukan hanyalah menerima itu sepahit apapun rasanya, dan berharap kiranya waktu bisa membuat akar itu mati dan layu. jika mungkin tetap tidak bisa, kuharap dilain waktu ada seseorang yang bisa mencabutnya dari hatiku. Walau aku sendiri tidak yakin itu akan mudah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 17 Episodes
Comments