Beberapa hari berlalu setelah malam itu. Aku tidak berani menelpon ibu, tidak ada pula telepon dari Ibu. Aku masih merasa malu akan janjiku padanya yang gagal aku penuhi.
Aku berdiri dihadapan cermin, terlihat wajahku masih sedikit lebam pada beberapa bagian. setelah itu kutelan lagi tiga butir pil seperti biasa, entah itu pil keberapa yang telah kutelan selama ini. Hari berjalan begitu dan terus begitu
Hingga disuatu malam di sebuah halte aku berlindung dari hujan yang deras. Suaranya mengalahkan semua suara yang ada. Saat itu yang kudengar hanya suara hujan dan suara dalam kepalaku. kemudian aku bernyanyi tanpa suara yang malu. Hujan seketika membuat halte itu seperti kedap suara, sekeras apapun aku bernyanyi, tidak akan terdengar oleh sesuatu apapun dibalik dinding hujan itu.
Kututup mata dan kunyanyikan lagu I can't smile without you dari Barry manilow. Malam itu rasanya halte hanya miliku dan nona Swan yang menari romantis dibawah hujan.
Ketika lagu hampir selesai, kubuka mata. Aku sedikit terkejut melihat ada seorang wanita dengan sweter berwarna pastel yang nampak sedikit basah berdiri disebelahku. dia awalnya tersenyum memandangku, tapi kemudian ia membuang muka ketika aku menyadari itu.
aku pun berhenti bernyanyi.
"ikut neduh ya mas" ia tersenyum ringan
"silahkan mbak, lagipula ini bukan halteku. Gak perlu minta izin" balasku
"gapapa mas, habis kalo izin ke pemerintah susah"
"kenapa harus izin ke pemerintah?"
"ini kan milik pemerintah"
"bukan, ini milik bapak itu, itu sama ibu itu" kataku sembari menunjuk seorang bapak tukang sate, bapak pemulung dan ibu penjual kerupuk yang berteduh juga disebrang jalan.
"emang dari mana pemerintah punya uang kalo bukan dari mereka ya kan..." sambungku
Dia mengangguk sembari sedikit tertawa pelan. Mungkin karena sudah terlancur bertukar cakap, ia lantas memperkenalkan diri. Namanya Ninda
"saya Damir" kujabat tangannya.
sembari menunggu bis, kami hanya membahas percakapan kecil. Tentang hal-hal umum saja, seperti tempat tinggal, asal dan profesi. Ninda adalah seorang mahasiswi semester 2 jurusan sastra Indonesia sekaligus penulis. Kesan pertamaku setelah mendengar itu adalah "sempurna". dia cantik, berpendidikan dan berkarir pula. Dia berasal dari Aceh. Dijakarta ia tinggal bersama kedua orang tuanya. Dia sudah disini sejak smp, karena ayahnya yang harus menguru bisnis disini
Aku sendiri juga menceritakan sedikit tentangku, hanya yang menurutku wajae untuk diketahui. Tentang profesiku? Tentu aku beritahu sejujurnya, bahwa aku hanya seorang pengamen jalanan. menurutku tak perlu ada rasa malu untuk kejujuran. dia juga sempat bilang kalau penampilanku terlalu diatas standar untuk seorang pengamen. Aku tidak tahu itu pujian atau hanya agar membuatku nyaman dan tidak tersinggung.
"tapi tadi jujur suara mas bagus ." ucapnya
"syukur kalo bisa buat terhibur, tadi saya cuma iseng nyanyi buat diri saya sendiri sebetulnya hehe"
hujan mulai mereda. lalu sebuah taksi yang menepi disebrang jalan. Ninda memutuskan untuk pulang naik taksi itu saja, karena bis belum ada yang kunjung datang. Dia kemudian berpamitan padaku lalu sedikit berlari sembari melindungi kepala dengan tasnya. Saat itu hujan memang belum reda sempurna, masih sedikit gerimis.
aku masih memandanginya menyebrang, saat itu dia sempat-sempatnya menoleh kebelakang dan tersenyum padaku. Lalu tiba-tiba sebuah mobil hitam datang dari arah kanan dengan cepat lalu menabraknya. Aku sangat terkejut luar biasa dengan apa yang terjadi tepat didepan mataku. Ninda terlempar cukup jauh mungkin sekitar beberapa meter. Aku yang panik langsung berlari kearahnya. saat aku berlari, mobil yang tadi menabraknya langsung pergi seperti tak berdosa.
Jantungku berdebar hebat, keringat bercucuran dari wajahku. Adrenalinku seperti meluap hampir tumpah. Ninda ada disana, terbaring dengan wajah penuh darah, darah terus mengalir hingga seperti air yang menggenang. Aku berteriak meminta pertolongan, lalu supir taksi yang tadi datang membantu.
"ayo mas pake mobil saya, kita ke rumah sakit!" tegas supir taksi itu
Aku kemudian menggendong Ninda dengan kedua tanganku. Aku bisa merasakan darah yang mengalir ke tanganku. Aku duduk dikursi belakang dangan Ninda dalam pangkuanku. Entah kenapa aku sangat ketakutan saat itu, padahal aku baru saja mengenalnya beberapa jam. Sesekali kuperiksa hidungnya, memastikan apa dia masih bernafas. Siapapun kamu Ninda, bertahanlah gumamku dalam hati
Pada awalnya perjalanan lancar-lancar saja, tapi kemudian kemacetan menghalangi laju kami.
"aduh macet mas"
"apa masih jauh pak rumah sakitnya?"
"100 meteran lagi didepan"
mengetahui itu, secara spontan aku keluar dari taksi dan berlari membawa Ninda sekuat tenagaku. tak lama aku berhasil sampai dirumah sakit. Saat sampai, Ninda langsung diatangani oleh beberapa perawat disana.
aku duduk disebuah koridor tanpa tahu harus berbuat apa. Kemudian aku mencoba menghubungi Dimas. tapi saat kubuka hpku terlihat ada 5 panggilan tak terjawab dari Ibu. Ya Tuhan... Pasti tadi tak sempat kuangkat karena panik dengan kejadian yang baru saja terjadi. Ada pesan masuk juga dari Ibu. Saat kubaca pesannya, seketika jantungku yang tadi berdebar kencang menjadi lemah. Tubuhku lemasnya luar biasa.
"Mir, adikmu Rega sudah gak sakit. Sekarang dia sudah tenang sama Tuhannya. sekali lagi kamu gagal!"
kakikku gemetar seperti sudah terlalu lemas menopang tubuhku. pandanganku kabur dan menguning. Lalu seketika semuanya gelap, benar benar gelap
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 17 Episodes
Comments
Ulpah Astri
lanjutin thor penasaran. ceritanga relate banget hhe
2023-03-26
0