Keesokan harinya aku mengalami sedikit masalah. Tubuhku menimbulkan reaksi yang aneh, setiap sarafku seperti tertarik. Rasanya seperti pegal, tapi sedikit berbeda. jika aku bangun atau berdiri, kepalaku terasa begitu berat bagai tertarik kebumi. Itu benar-benar membuatku tidak nyaman.
itulah yang akan terjadi jika aku tidak meminum pil itu lebih dari 4 jam setelah aku terbangun dari tidur. Aku sudah memakai pil itu sejak satu tahun terakhir, wajar jika tubuhku sudah kecanduan akannya. Inilah salah satu alasan kenapa aku sulit untuk berhenti.
Kemudian kupaksakan diriku berdiri dan meraih toples kecil yang ada diatas lemari. Saat kubuka, ternyata isinya kosong. Ahh sial aku lupa membeli pil itu.
Kondisi ini membuatku tidak nyaman melakukan apapun. Tidur salah, bergerak pun salah. Aku tidak bisa menjalani hari dengan kondisi macam ini. Aku sudah terlalu bergantung pada pil itu, bahkan ketika aku sakit sekalipun aku harus tetap meminumnya. Bisa dibilang pil itu sudah bagaikan beras buatku. harus ada setiap harinya.
Kuambil ponselku dan menelpon Arga, dia orang yang selama ini memasok pil itu untukku. Aku mengenalnya dulu dari Dimas. Dia dulu satu kampus dengan Dimas, namun kemudian harus putus kuliah karena alasan yang tidak jelas. Kini dia hidup dari menjual obat-obatan terlarang dan narkotika lainnya. Aku tidak mempermasalahkan jalan apa yang diambilnya. Toh itu adalah hidupnya sendiri, hidupnya adalah tanggung jawabnya sendiri. tidak ada hakku untuk hal itu.
"hallo Ga?" suaraku sedikit terengah-engah
"iya iya kenapa Mir?"
"yang biasa ada?"
"ada, lo butuh berapa?"
"Tiga lempeng aja, tapi boleh gak lu yang anter ke kosan gua. Gua gak bisa keluat nih seriusn, entar gua lebihin dah buat ongkosnya"
"ok gua meluncur sekarang"
Setengah jam berlalu, Arga masih juga belum datang. Aku sudah kesal sekali. Moodku berantakan, tak tentu apa maunya.
*Tok!
Tok!
To*k!
Lalu terdengar suara ketukan dipintu kamarku. aku bergegas langsung membukanya, pikirku itu pasti Arga.
saat kubuka, ternyata itu adalah wanita yang tinggal disebelah kamarku.
Wajahnya sedikit terlihat terkejut saat aku membuka pintu dengan cepat.
"a-ada apa ya?" ujarku dengan terengah-engah
"hmm... Maaf mas saya mau tanya, kalau isi air galon disini dimana ya? saya tadi mau masak mie instan, tapi lupa kalau airnya habis."
"ehhh itu... Di ujung jalan nanti belok kanan, nah ada toko beras disitu. Disebrangnya ada tuh depot isi ulang"
Aku bicara dengan cepat seolah ingin percakapan ini cepat berakhir. Keringatku bercucuran tak terkendali. Wanitu itu kemudian terlihat menatapku dengan heran. Mungkin sikapku terlihat aneh saat itu.
"hmm masnya sakit?" tanyanya kemudian
"ehh engga kok"
"itu mukanya berkeringat, agak pucat juga loh mas" dia memiringkan kepalanya dengan mengerutkan dahi, memandangiku dengan teliti
kemudian aku tidak tahu kenapa, aku langsung menutup pintu didepan wajahnya. Aku tahu itu sangat tidak sopan dan mungkin akan membuatnya tersinggung, tapi saat itu aku benar-benar sudah tidak bisa berfikir dengan jernih. otakku seperti sudah tidak ada ditempatnya lagi. Aku tidak bisa lagi mana yang baik atau buruk.
Aku kemudian meringkuk diambang pintu, meremas rambut dengan kedua tanganku. lalu kudengar suara langkah kaki wanita itu menjauh pergi.
15 menit berikutnya barulah Arga datang.
"Nih men" dia menyodorkan bungkus rokok padaku
Dengan cepat kuraih bungkus rokok itu, didalamnya berisi 3 lempeng pil. 1 lempengnya berisi 10 butir. dengan cepat kubuka 3 butir lalu kutelan semuanya. Obat itu membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit untuk bereaksi.
"santai men santai, udah sakit parah lo kayaknya" celoteh Arga yang melihatku begitu tergesah-gesah.
"gua udah gak tahan sorry Ga"
kutawari Arga untuk mampir sebentar, diapun mengiyakan. Lalu kubuatkan dua gelas kopi, satu untukku dan satu untuknya.
Kami berbincang-bincang sesaat sebelum akhirnya Arga berpamitan pergi. Katanya masih ada pasien (pecandu) lain yang harus ia obati.
...****************...
malamnya langit bergemuruh, tanda mungkin sebentar lagi hujan akan turun. aku sedang menuju perjalanan pulang sehabis mengamen saat itu. Aku duduk dikursi tengah bus. menyandarkan kepalaku pada kaca jendelanya.
kulihat jalan dan gedung yang berlalu bagai potongan-potongan video. Jalanan tidak terlalu ramai saat itu, jadi bus yang kutumpangi bisa berjalan tanpa henti.
Untuk sesaat pikiranku melayang, memikirkan kehidupanku yang setiap harinya berjalan begitu dan begitu saja. Setiap harinya selalu sama. Bekerja, makan lalu tidur. Tak ada tawa disetiap harinya. aku merasa begitu sejak Ninda pergi.
kuakui, kehadirannya dalam hari-hariku membuat aku bisa lebih menikmati hidup. kadang aku rindu bualan-bualan ngawurnya tentang hal-hal aneh, kepolosannya yang membuatku tidak habis pikir, atau kebijaksanaannya yang membuatku terpana.
"mengeluhlah Mir enggak apa-apa. Mengeluh bukan berarti kamu tidak bersyukur, kamu hanya sedang mengungkapkan sesuatu dengan jujur."
Kata-kata yang Ninda pernah ucapkan tiba-tiba melintas begitu saja dalam benakku. itu terasa begitu nyata, hingga aku merasa bisa mendengar suaranya mengatakan demikian.
Ahh apa yang sedang dilakukannya sekarang ya? Ingin kiranya aku mengiriminya pesan, mungkin untuk sekedar menanyai kabarnya saja sudah bisa menghiburku. Tapi tak ada berani aku melakukan itu. Disaat bersamaan memang muncul hasrat yang kuat, tapi situ juga muncul rasa takut yang hebat.
Kini aku hanya bisa menitip pesan pada angin, berharap angin menyampaikan pesanku dengan hembusan lembutnya, hingga mengibarkan rambut Ninda dan lalu membuatnya tersenyum nyaman.
terbang bersama pikiran yang berkelana membuat waktu tak terasa. Akhirnya aku sampai disimpang jalan, dimana aku harus turun.
aku juga sempat membeli nasi goreng saat berjalan menuju kosan. kubeli dua bungkus, kebetulan hari ini aku ada uang lebih.
Saat sampai dikosan, kulihat pintu kamar disebelah kamarku tertutup. Aku kemudian berdiri didepan pintunya. Aku sebenarnya berencana memberinya sebungkus nasi goreng yang tadi kubeli.
bukan maksud untuk berusaha menarik perhatiannya atau ingin terlihat baik. Hanya saja, aku merasa bersalah atas yang aku lakukan siang tadi padanya. Kini pikiranku sudah berada ditempatnya dan dia mengatakan, kalau sikap yang aku tunjukkan padanya siang tadi, itu adalah perbuatan yang salah.
Aku sempat sediki ragu untuk mengetuk pintu kamarnya, takut kalau-kalau dia sudah tidur, dan aku hanya akan mengganggu. Tapi kemudian dari dalam aku mendengar seperti suara yang samar. Aku menghela nafas sejenak lalu kuketuk pintunya.
"eh mas" dia membukakan pintu. Wajahnya keheranan
"hmm anu... Saya tadi beli ini dijalan, penjualnya salah buat pesanan. Saya pesan satu malah dikasih dua. Anggap aja ini tanda permintaan maaf saya untuk tadi siang. Saya minta maaf ya." ujarku canggung
"ouhh yang tadi siang usah dipikirin mas, gak apa-apa kok" dia tersenyum ringan
dia lalu menerima bungkusan makanan itu dengan ramah.
"btw namaku Damir"
"Elsa, nama saya Elsa"
Lalu aku izin untuk masuk kamar karena ini sudah larut malam. Bersamaan dengan itu hilang sudah rasa bersalahku, kini aku bisa merasa lega.
Saat sedang merebahkan tubuhku diatas kasur, tiba-tiba aku mendapat pesan dari Reiya. Dia menanyakan padaku soal keberadaan Ninda. Katanya kurang lebih seminggu belakangan, Ninda tidak dapat ia hubungi.
kubalas saja kalau Ninda pergi ke Singapura. yang aneh adalah, Reiya sama sekali tidak tahu soal kepergian sahabatnya itu. dari tulisan pesannya, ia seolah terkejut mengetahui hal itu
kemudian aku mencoba menghubungi Ninda, dan benar saja dia tidak bisa dihubungi. Bahkan akun Instagramnya tercatat aktif terakhir pada 1 minggu yang lalu.
Mungkin itu hanya hal biasa, tapi tetap saja itu membuatku bertanya-tanya. Malam itu aku sepertinya tidak akan tidur terlalu nyenyak dengan pertanyaan yang bersarang mengganggu kepalaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 17 Episodes
Comments