27 Maret pukul 7 malam adikku meninggal. Dua hari setelahnya aku baru mengunjungi makamnya di Ciwidey. Aku berdiri disamping makamnya. Tampak masih banyak karangan dan taburan bunga diatasnya. Sekilas aku teringat akan potongan-potongan moment dahulu dengan Rega. Aku ingat saat malam hari kami bangun hanya untuk menonton piala dunia dengan diam-diam agar tidak ketahuan ibu karena besoknya Rega harus sekolah, atau saat dia kesal jika aku suruh membelikan rokok ke warung tapi kemudian tersenyum saat kuberikan sisa kembaliannya. Rega anak yang baik, selalu bisa menerima keadaan keluarganya. Ia tidak pernah mengeluh tentang sepatu sekolahnya yang sudah kecil atau ketika tidak mendapat baju baru saat lebaran. Aku tahu walau Rega tidak pernah mengatakan apapun, tapi pasti dalam hati kecilnya ia menderita. Dan aku sebagai kakak, gagal menghapus deritanya. Andai saja aku bisa mengirimkan uang itu mungkin makam ini tidak pernah ada.
...****************...
Saat aku kembali dari makam. Kulihat ada Ibu sedang duduk diruang tengah. bisa kulihat senyumnya sudah hilang, matanya sembab seperti sudah terlalu banyak menangis. Aku mendekatinya lalu duduk disebelahnya. Ibu hanya memandang kosong kedepan menghiraukan kehadiranku.
Kemudian Ibu mulai bicara,
"Rega anak yang tangguh. Ia bisa bertahan lebih lama dari seharusnya. Kamu tahu? Sebelum sakit, dia selalu menjaga kamarmu supaya rapih dan bersih. Katanya biar kamu bisa istirahat nyaman kalau tiba-tiba pulang. Dia selalu membicarakan tentang Dufan pada teman-temannya, dengan bangganya dia bilang "Abangku nanti mau ngajak aku ke Dufan kalo raportku bagus!". adikmu selalu penuh harapan padamu Mir, tapi yang kamu beri hanya harapan kosong. Bahkan ketika sakitpun teganya kamu beri harapan kosong. Apa salah adikmu Mir? Dia hanya minta haknya sebagai adik. Ayahmu sudah lama pergi, apa salah jika adikmu menjadikanmu penggantinya?"
kata-katanya adalah sebuah kebenaran, itu tidak bisa kusangkal. Tapi sungguh itu seperti pedang yang menusuk jantungku dan mungkin akan kubiarkan tetap menancap walaupun perih.
Penyesalan, kekecewaan dan kemarahan bersatu padu menghasilkan kebencian pada diriku sendiri. Kemudian aku berlutut sembari memegang tangan Ibu. "Maafin Damir bu, Damir sudah memahat sedih diwajah Ibu. apapun perasaan Ibu ke Damir sekarang, Damir akan selalu sayang sama Ibu. Sekarang Damir cuma bisa berharap pada waktu, semoga waktu yang bisa menghapus sedih Ibu." air mataku tak tertahankan lagi, gemetar bibirku saat mengatakan itu.
Ibu sama sekali tak mengatakan apapun, ia hanya meneteskan air mata dengan pandangan yang tetap kosong. aku rasanya sudah tak berhak berada dirumah ini. Kehadiranku mungkin hanya akan mengingatkan Ibu pada kesedihannya. sebenarnya aku tak sampai hati membiarkan Ibu melewati ini sendiri, tapi semua ini adalah kesalahanku, bagimanapun kotoran harus dibuang walaupun itu kotoran sendiri. aku menganggapnya begitu.
Setelah berkemas sebentar dikamar, lalu aku keluar untuk berpamitan pada Ibu. Ibu masih melamun disana, ditempat yang sama.
"Bu Damir pamit, jaga diri Ibu baik-baik. Mungkin Damir udah gak layak bilang ini,tapi Damir mohon... Hubungi Damir kalau ada apa-apa ya." kemudian kucium tanganya.
"assalamuallaikum"
Tak ada balasan kata apapun dari Ibu. Kemudian aku berlalu pergi tanpa menoleh kebelakang. Itu adalah salah satu momen terberat dalam hidupku.
...****************...
di Jakarta, aku langsung menemui Dimas untuk mengetahui bagaimana kabar Ninda, karena Setelah kejadian kecelakaan malam itu, aku memang sempat pingsan. Setelah sadar, aku kemudian menelpon Dimas untuk datang ke rumah sakit agar bisa menemani Ninda jikalau ada apa-apa atau ada keluarganya yang datang.
saat bertemu dikostan nya, akupun menceritakan semua yang telah terjadi padanya.
"sekarang gak ada gunanya berandai-andai mir. rumah yang rubuh masih bisa dibangun kembali. Semua pernah kehilangan. gue pun suatu saat pasti kehilangan sesuatu, jadi anggap aja kalo ini bagian lo. Orang bodoh akan bilang ini gak adil, tapi justru inilah keadilan Tuhan. semua harus mencicipi kehilangan." ucap Dimas
"tapi kenapa harus secepat ini? Ini terlalu cepat Dim"
"mau cepat atau lambat, kehilangan rasanya sama saja . Bila kehilangan datang terlalu cepat, pasti menyedihkan karena momen memilikinya hanya sesaat. Bila kehilangan datang terlambat pasti sama menyedihkannya karena sudah banyak kenangan yang diingat."
Dimas berusaha agar aku bisa menerima ini sedikit demi sedikit. aku pun menghargai itu, walau memang sulit. Lalu Dimas menceritakan soal kejadian malam itu di rumah sakit setelah aku pergi. Katanya orang tua Ninda ingin bertemu denganku. Mereka ingin berterima kasih, karena telah membawa Ninda ke Rumah sakit, hingga akhirnya ia berhasil selamat.
"apa dia masih dirawat disana?" tanyaku
"iya, tapi masih belum sadar."
mendengar Ninda selamat, ada sedikit kelegaan dalam diriku. Ternyata dari semua hal buruk yang telah terjadi, masih ada sesuatu yang layak untuk disyukuri.
...****************...
Minggu berikutnya aku menyempatkan diri untuk menjenguk Ninda di rumah sakit. saat di lobby aku menanyakan kamar dimana Ninda dirawat.
"pasien atas nama Ninda apa ya mas? Soalnya ada beberapa pasien juga yang namanya Ninda." tanya suster yang bertugas
aku diam sesaat, karena aku tidak tahu nama lengkapnya. lalu kutanyakan tentang pasien korban kecelakaan pada minggu yang lalu. suster itu lalu mengecek daftar yang ada, dan akhirnya dia memberitahuku dimana Ninda dirawat
Tak lama mencari, akhirnya bisa kutemukan kamar Ninda dirawat
"permisi" kubuka pintunya
"eh hei!" sapa Ninda yang kemudian bangkit untuk duduk diranjangnya
ia terlihat masih terbalut perban dibeberapa bagian, seperti kepala dan lengan kirinya. Mata sebelah kirinya pun masih sedikit memar, tapi tampaknya ia sudah lebih baik.
"udah baikan?"
"yaa ginilah" ia tersenyum
"makasih ya udah nolongin aku. Mamah bilang ada orang yang bawa aku kesini, tapi mamah gak tau namanya. Aku tahu itu pasti kamu."
"kok tahu?"
"buktinya kamu tahu aku dirawat di Rumah sakit ini ya kan."
"iya ya hehe"
setelah itu kami lanjut mengobrol lebih jauh. Obrolan yang tidak bisa diselesaikan saat di halte malam itu, dan Sejak itulah aku berteman dengan seorang Aninda Citadara Yuniar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 17 Episodes
Comments
Martini Ayat
Akan ada hikmah dibalik musibah
2023-04-16
0