Hari-hari berikutnya aku membiarkan jarak antara aku dan Ninda semakin jauh lagi. aku berusaha sebisa mungkin untuk mengurangi jumlah pertemuan aku dengannya. Alasan kesibukanku bekerja, sepertinya cukup baik untuk membuatnya mengerti.
Perasaanku campur aduk, disatu sisi aku ingin selalu bersamanya sedangkan disisi lain, aku tahu jika kebersamaan itu hanya akan membuatku lebih patah hati. Mengetahui kenyataan , bahwa selama apapun dia bersamaku, sedekat apapun aku dengannya, ia tetaplah milik orang lain.
Sesekali kami memang suka bertukar pesan, tapi aku berusaha untuk bersikap seperti layaknya teman biasa saja. Aku tidak tahu apa ia menyadari perubahan sikapku atau tidak. Mungkin ia juga tidak terlalu peduli dengan itu, lagipula aku bukanlah seseorang yang berarti dalam hidupnya kan.
harusnya aku sadar bahwa, kebaikan, kepeduliannya selama ini hanyalah sebagai ungkapan balas budi, karena aku sudah menyelamatkan hidupnya saat itu. kenapa aku bodoh sekali tidak bisa menyadari itu semua. Aku malah berharap sesuatu yang lebih besar lagi. Damir kamu bodoh!
Aku dirundung pilu, dipaksa untuk menerima kenyataan jika sekarang ada bayangan pria lain yang menggandeng siluet bayangannya. lalu bayangkanku perlahan memudar begitu saja tanpa ia sadari.
Kini aku hanya berusaha menjalani hari-hariku tanpa dirinya. Suka atau tidak, aku harus bisa membiasakan diri. Lagipula aku punya tujuan lain dalam hidupku. Mimpi dan harapan Ibu yang harus kuwujudkan. Aku tidak boleh membiarkan perkara cinta ini menjadi penghalang untuk menggapai itu semua.
menurutku, menghentikan langkah hanya karena perkara cinta itu adalah kebodohan. Hidup akan tetap berjalan, dengan atau tanpa cinta sekalipun.
...****************...
satu bulan yang berjalan lambat telah kuhabiskan. Setiap harinya hanya ada dua episode yang terus berulang, yaitu bekerja dan istirahat. Aku tidak ada antusias untuk melakukan sesuatu diluar kedua itu.
Masa trainingku sudah berakhir. Aku juga sudah mulai beradaptasi dengan baik dengan pekerjaan baruku.
namun, tetap saja tidak membuatku bisa menikmati pekerjaan itu. Karena pada dasarnya, aku bukan tipe orang yang suka berada dibawah perintah oleh orang lain.
aku juga sudah semakin akrab dengan rekan kerjaku yang lain. Beberapa dari mereka ada yang menyambutku dengan baik tapi ada juga yang mungkin merasa iri dengan kedatanganku. Itu bagiku hanya hal biasa dalam dunia kerja, itu bukan hal yang aneh. Aku sendiri merasa bodo amat dengan semua itu.
setelah masa trainingku selesai, Vikram kemudian dipindah tugaskan ke cabang lain di daerah kemangan baru. jadi kini aku bekerja dengan Adi, Gilang , Haris dan Sarah. Dari mereka semua, Adi lah yang paling dekat denganku.
karena sudah tidak kerja bersama Vikram, kini aku harus pulang dengan menggunakan Bus atau kadang ojek online. sebetulnya Adi sering menawariku tumpangan, tapi tidak enak rasanya kalau harus merepotkan orang yang baru kukenal satu bulan.
sore itu aku pulang dengan menggunakan Bus. Aku duduk dikursi urutan tiga dari barisan sebelah kiri. Duduk dekat jendela adalah tempat ternyaman didalam Bus menurutku. pandanganku bisa terbuka melihat keluar, rasanya bosanku bisa sedikit berkurang jika sudah begitu.
sepanjang jalan hanya terlihat kemacetan, sesak penuh kendaraan. hal macam itu sudah bukan hal aneh lagi, mengingat jam-jam begini adalah jam sibuk jalanan Ibu Kota. perjalanan akan lebih lama sepertinya. tak masalah, lagi pula tak ada yang menungguku dirumah. Aku juga tidak berencana melalukan sesuatu setelah pulang selain merebahkan tubuh. Kehidupan yang membosankan bukan?
"umm..Bang Damir?" suara kecil terdengar dari sebelahku
"Ehh Joko?" aku lantas menoleh
Joko adalah seorang anak kecil penjual tisu. Aku mengenalnya dulu ketika masih mengamen dijalanan. Joko anak yang luar biasa, diusianya yang masih berumur 10 tahun, ia sudah harus mencari uang sendiri. Dia anak yang selalu tersenyum riang, tak pernah mengeluh. Menurutku, ia bahkan lebih tangguh dari diriku sendiri.
sosoknya mengingatkanku pada adikku.
Dulu kami sering bernyanyi bersama dibawah kolong jembatan selagi menunggu lampu menjadi merah. kami cukup akrab, bahkan dia sudah seperti adik kecil buatku.
tapi tentu ia memiliki keluarganya sendiri, ia hidup bersama ayah dan 2 saudaranya. Ayahnya berkerja sebagai pemulung semetara dua saudaranya yang lain menjadi penjual koran. tekanan ekonomi untuk bertahan hidup membuat keluarga itu benar-benar harus bekerja sama. Semuanya saling bahu membahu untuk bertahan hidup.
"sini duduk Ko" aku merangkulnya untuk duduk dikursi kosong disebelahku.
"Abang kok gak pernah kelihatan lagi dijalan?"
"abang kerja sekarang Ko"
"oh ya?"
"iya"
"wih mantap"
"udah laku banyak tisunya?"
"belum" dia menggelengkan kepala "baru kejual 3, nih masih banyak" dia menunjukan isi tasnya yang terbuat seadanya dari kantong kresek.
"ikut abang mau?"
"kemana bang?"
"jalan-jalan" aku memasang senyum ringan
"serius bang? Maulah!!" dia kegirangan
Kebetulan dua hari yang lalu aku baru saja menerima gaji pertamaku. Lalu kupikir tidak ada salahnya memberi sedikit hadiah kecil untuk Joko. Mengingat,kini aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi untuk diberi. Jadi kuanggap, aku memberi ini untuk adikku.
lalu kami menuju Toko buku yang pernah aku datangi dengan Ninda waktu itu. disana tersedia alat tulis dan perlengkapan sekolah. Aku tahu, Joko sudah putus sekolah, jadi aku tidak berencana membelikannya alat tulis. Aku hanya membelikannya tas gendong baru, kupikir dengan tas itu bisa ia gunakan untuk membawa barang dagangannya nanti.
Saat sedang membayar tas baru itu dikasir, kulihat Joko berdiri disudut memandangi rak buku yang ada disana.
"liat apa?" tanyaku saat kuhampiri
"banyak bukunya bang, seru kah isinya?"
"kamu mau?"
"umm mau, tapi gak bisa baca bang hehe" dia tertawa
"belajar baca dulu, nanti kalau sudah bisa Abang beliin buku bagus deh"
"siap!" dia menaruh hormat layaknya prajurit
Lalu kami pergi untuk mencari makan. Saat kutanya ia mau makan dengan apa, dia selalu menjawab "terserah". Itu membuatku kebingungan. sekilas aku ingat, dulu Rega suka sekali makan diMcDonald, dia suka sekali dengan ice cream disana. jadi kuputuskan untuk membawa Joko juga kesana.
Joko makan dengan lahap, hingga mulutnya penuh dan pipinya menggembung lucu. Aku sendiri memilih tidak makan, dengan melihatnya makan saja rasanya sudah membuatku kenyang.
setelah ia makan berat, lalu ia kubelikan es cream. Makannya blepotan, wajahnya sampai terhisan lelehan es cream itu.
"sini Abang beli tisunya satu" kataku
"gausah bang, nih buat Abang mah gratis aja" dia menyodorkan sepack tisunya
"ngga ah, Abang lebih seneng kalau beli" kumasukan uang dikatong celananya.
Lalu dengan tisu itu aku mengelap wajahnya yang terlihat lengket itu. Dia tersenyum seperti sedikit malu.
terlihat dari dalam, matahari sudah benar-benar tenggelam. Adzan magrib sudah bergema. saat itu aku takut membuat Ayah Joko khawatir jika anaknya belum kunjung pulang. Bisa-bisa aku dituduh sebagai penculik.
Saat hendak beranjak dari sana, mataku tercuri pandangannya pada seseorang yang baru saja masuk. Lagi-lagi, dari semua manusia yang ada dibumi, kenapa aku harus bertemu dengan manusia itu lagi?
Aku melihat Ayahku baru saja masuk dengan anak dan istrinya. Mereka duduk dimeja dekat pintu masuk. Lalu kemudian istri dan anaknya pergi memesan. Kini tinggallah pria paruh baya itu duduk seorang.
Seketika, cerita Ibu soal kebenaran tentang diriku melintas begitu saja dikepala. Lalu aku merasa ada sesuatu dalam diriku yang mendorongku untuk mengatakan sesuatu padanya. Kini aku sudah tidak takut ataupun malu lagi berhadapan dengan orang itu.
menurutku, seburuk apapun dirinya, ia harus tahu tentang kepergian Ibu dan Rega. Setidaknya dengan begitu, bertambahlah satu orang untuk mengirimi mereka doa. Mereka butuh itu disana. Mengingat kami sudah tidak punya kerabat lagi.
aku menghela nafas, berusaha mengendalikan emosiku. Saat ini aku harus berbicara baik-baik padanya.
Kemudian aku menghampirinya sembari menggandeng Joko disebelahku. Dia mungkin akam sedikit kebingungan
"Yah, ini aku, Damir" aku berdiri dihadapannya
"Damir?" wajahnya seperti mencoba mengingat lalu berdiri dari duduknya
"aku cuma mau bilang, kalau Ibu dan Rega sudah meninggal. Kiranya sudi Ayah mengirimi mereka doa. Sekali ini berikan sesuatulah pada mereka. Oh ya, setelah ini jangan cari aku atau memikirkanku. Bagiku Ayah sudah mati sejak dulu. anggaplah aku juga demikian."
Kemudian aku berlalu pergi.
"tunggu mir" dia memanggil-manggil namaku, tapi tidak kuhiraukan. Aku terus berjalan pergi.
"yang tadi siapa bang? Bapaknya bang Damir?" tanya Joko dengan wajah polosnya
Aku menangguk mengiyakan.
...****************...
lalu aku mengatarkan Joko kerumahnya. saat itu mungkin sekitar pukul 8 malam. rumahnya terletak di gang sempit dan nampak padat. sebagian besar bangunannya terbentuk dari kayu. Atapnya hanya berlapis seng berkarat
Ayahnya langsung menyambut risau putranya, lalu kujelaskan dan meminta maaf padanya.
"iya gak apa-apa, saya cuma khawatir soalnya gak biasanya dia pulang sebelum magrib."
"iya maaf ya pak,harusnya saya izin dulu bawa Joko."
Kemudian dia menawariku untuk mampir, lantas aku menerimanya.
Didalam rumah kecil seadanya itu, Joko terlihat bahagia. Aku tertawa saat dia menyombongkan tas baru kepada saudaranya. Tapi saudaranya tak merasa iri, mereka ikut senang untuk adik kecilnya itu. kebahagian kecil benar-benar terlihat dihadapanku. tawa-tawa sederhana mereka mengajarkanku tentang sesuatu. Berbagi kebahagaiaan yang dimiliki akan menghadirkan kebahagiaan lain yang lebih besar
hadirnya seseorang yang menyambutmu pulang adalah pemulih lelah dan pengundang tawa. dengan begitu, harimu akan benar-benar terasa bermakna. Tak peduli seindah atau seburuk apapun hari yang dilalui itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 17 Episodes
Comments