SEPULUH

Beberapa jam berlalu. kami akhirnya sudah memasuki wilayah Ciwidey. Kaca mobil yang dibiarkan terbuka, membuat hawa dingin khasnya masuk, mendayu menyambutku pulang. Sejauh mata memandang, hanya terlihat dipenuhi kebun teh. Lantas sekilas ku ingat bagaimana kaki kecilku dahulu berlarian disana. sentuhan daun berbalut embun, masih teringat betul dalam ingatanku.

hujan kecil menemani sisa perjalanan, tak membiarkan aku dalam kesunyian khayalan. Seperti alam sendiri pun berusaha menghiburku.

tibalah kami dirumah sakit yang diberitahukan Mang Dodo. Aku langsung bergegas berlari kecil masuk.

kutanyakan pada perawat dimana kamar Ibuku dirawat.

Setelah tak terlalu lama mencari, akhirnya aku bertemu dengan Ibu. Terlihat dari balik kaca pintu, Dia terbaring lemas dengan alat bantu pernapasan dihidungnya.

Kemudian aku masuk, sementara Ninda dan Reiya memutuskan untuk menunggu diluar.

Mata Ibu masih setia tertutup. Ku duduk disebelahnya sembari memandangi wajahnya yang pucat. Air mataku jatuh bersamaan dengan tumpahnya kerinduanku.

"Bu... Ini Damir. Damir pulang bu" bisiku sedikit tersedu-sedu

Kugenggam tangannya, tangan yang dulunya halus, kini terasa kasar. Memahat berapa banyak kelelahan yang sudah dilaluinya.

Kemudian Ibu terbangun dari lelapnya. Dia menatapku penuh haru dalam pandangannya. Dia mengusap kepalaku dan berkata,

"kamu pulang nak. Maaf belakangan ini Ibu melampisakan segala kesedihan Ibu padamu, itu salah. Tidak pantas bagi seorang Ibu melukis kesedihan pada anaknya. Maafin Ibu , yang gak pernah balas setiap pesan yang sudah kamu kirim." Ibu menitikan air matanya

"ngga apa Bu, maaf itu yang seharusnya keluar dari mulut Damir, bukan Ibu."

"Mir, terakhir Ibu sempat baca pesanmu yang terakhir. Jadi... Kamu sudah bertemu lagi sama ayahmu nak? Bagaimana sekarang rupanya? Sambung Ibu

"seperti penjahat dengan wajah tak berdosa bu"

"sebenci itukah kamu sama ayahmu? Mir... Kamu sudah dewasa. Kamu sudah tumbuh jadi burung yang siap terbang melawan badai. Ibu akan memberi tahu satu hal yang mungkin sekarang sudah siap untuk kamu tahu. Ayahmu sebetulnya lelaki yang baik, hanya saja dia selalu lemah dengan wanita. dulu, beberapakali penghianatannya terungkapkan pada Ibu. Lalu, buah dari penghianatannya itu menjadi tangis bayi kecil didepan pintu rumah."

Aku berusaha mencerna setiap kata yang Ibu ucapkan dengan parau dan susah payah. Aku tidak mengerti maksud darinya.

Ibu kemudian melanjutkan,

"saat itu malam sesunyi hati Ibu yang sedang menunggu ayahmu yang belum juga kunjung pulang. Lalu, suara tangis bayi memecahkan kesunyian itu. Lalu disanalah bayi itu, didepan ambang pintu dengan berselimutkan kain tergeletak begitu saja. Tangisnya hilang ketika bayi itu dalam pangkuang Ibu. Didekatnya adapula sepucuk surat. isi surat itu rupanya membawa badai kedalam rumah. Seorang wanita yang menulis itu mengatakan telah melakukan hubungan terlarang dengan ayahmu. Dia juga menuliskan maaf kepada Ibu, dan berpesan untuk merawat buah dari hubungan terlarangnya itu. Hati ibu luar biasa hancur saat itu Mir, hampir Ibu mati termakan hati. Tapi saat melihat wajah dari bayi itu. entah mengapa ada sesuatu dalam batin Ibu yang mengatakan "Bayi ini tak berdosa, ini bukan salahnya." senyum bayi itu mengetuk kasih dan simpatik dalam jiwa Ibu.

Walaupun berat, tapi saat itu Ibu memaafkan kesalahan Ayahmu, dan menganggap itu semua tidak pernah terjadi. Ibu berusaha membuat awal yang baru dengan ayahmu. Ibu kemudian merawat anak itu dengan kasih sayang seorang Ibu yang layak. Ibu mencintainya sebagai anak Ibu sendiri. kamulah bayi itu Mir. Walaupun darah kita berbeda, tapi tak pernah sedikitpun Ibu mengurangi kasih sayang Ibu padamu walai cuma setetes. Ibu tidak pernah menganggap kamu dan adikmu berbeda. Kalian adalah anak Ibu. Malaikat- malaikat kecil Ibu."

Itu adalah kenyataan terpahit yang kuterima. dalam seketika aku merasa hilang identitas, hilang jati diriku. rupanya aku selama ini hanya orang asing dalam keluarga kecilku.

Mendengar itu aku benar-benar tercengang,

"perbedaan darah tak bisa mencegah mulut ini menyebut wanita yang telah merawatku dengan sebutan Ibu. aku tidak peduli, bagiku kasih Ibu selama ini telah menjadi ikatan yang lebih kuat dari hanya sekedar ikatan darah."

kuusap air mata dipipi Ibu.

"Ibu pasti sembuh. Kita berjuang sama-sama" sambungku kemudian. Ibu terus saja membelas kepalaku yang jatuh dipangkuan perutnya

tak lama berselang, tiba-tiba seseorang masuk. Ternyata itu adalah dokter yang menangani Ibu.

"kamu keluarga pasien?" tanya si Dokter

"Iya dok, saya anaknya."

Kemudian Pak Dokter itu mengajakku berbicara empat mata soal keadaaan ibu di ruangannya.

lalu dokter itu mengatakan, bahwa Ibu mengalami gagal ginjal dan kebocoran pada lambungnya. Aku tidak mengeeti bagaimana detailnya, tapi yang pasti itu sesuatu yang berbahaya. Maka dari itu diperlukan tindakan lebih serius, yaitu operasi. dia kemudian meminta persetujuan dariku untuk itu.

Mendengar itu, pikiranku bergerak secepat kilat, tak memikirkan apapun selain keselamatan Ibu. Saat ini bagiku itu yang terpenting. Apapun caranya, akan kulakukan. Bahkan jika harus menjual jiwaku pada Tuhan atau Iblis sekalipun, aku tidak peduli.

"baik Dok lakukan apa yang mesti dilakukan."

Tapi kemudian Dokter itu melanjutkan. Katanya, dilihat dari parahnya kondisi Ibu, operasi ini memiliki resiko 50 persen keberhasilan saja.

Sekecil apapun kesempatan yang ada. Akan kupertaruhkan segala yang kupunya. Kini aku seperti berada berada dimeja judi melawan takdir.

Kemudian kutanda tanganin surat persetujuan itu, dengan berharap-harap cemas.

Aku sudah merasakan perih pada kehilangan yang pertama, bahkan lukanya belum sembuh sempurna. Apalah dayaku, jika kini aku harus kembali mengalami luka yang sama. jika yang demikian itu terjadi, maka hidupku rasanya akan seperti berada di Neraka.

operasipun siap dilakukan, waktunya sudah ditentukan. Aku hanya bisa menunggu takdir memberikan jawaban. aku duduk sembari ditemanin Ninda dan Reiya yang juga ada disana . Ninda kemudian menggenggam tanganku, sentuhannya menjadi bahasa tubuh yang mengisyaratkan agar aku tetap tenang. Tapi itu tetap tak cukup untuk mengalahkan kecemasan dalam benakku.

"Mir, apapun yang terjadi setelah ini, kamu harus tetap jadi dirimu yang semestinya. Kamu gak sendiri." Ninda berujar lembut.

"ada sesuatu yang kamu ngga ngerti Nin. tapi terima kasih untuk hadirmu disaat bagini." balasku

Kini pikiranku kosong, bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatiku dipenuhi doa, seperti ribuan pesan yang berterbangan untuk Tuhan.

Ini bukan hanya soal keselamatan Ibu seorang, ini juga tentang keselamatan jiwaku. Jika Ibu benar-benar pergi, maka jiwaku juga sepertinya mati. Aku akan seperti mayat yang berjalan dimuka bumi.

Aku tidak pernah menyangka akan setakut itu dalam hidupku. Mimpi terburuk dari semua mimpi buruk. Aku sering mendengar cerita tentang banyak orang mendapat keajaiban dalam kondisi terburuk mereka. Kali ini bolehkah menjadi giliranku untuk mendapatkannya? jika keajaibain itu dijual, akan kubeli dengan segala yang kupunya.

Terpopuler

Comments

el zahra

el zahra

bu kau harus keluar dengan selamat kasian damir.

2023-04-21

1

el zahra

el zahra

akhirnya yg aku tunggu up juga. semangat ya kak ceritanya cepetan up. jaga kesehatan nya juga

2023-04-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!