Sejak aku kembali ke Jakarta, rasanya semua berbeda. Hilang sudah arahku untuk pulang. Dalam pandangan semuanya memang masih terlihat sama. matahari masih dengan hangat sinarnya, angin masih dengan belaiaan lembutnya, perkotaan masih dengan gedung megahnya. pemandangan indahpun kini rasanya sudah tidak bisa menghibur bagiku. Hidupku kini terasa seperti ruangan dengan banyak bangku kosong sementara aku terkunci didalamnya.
rumah yang ada di Ciwidey kini sudah aku titipkan pada Mang Dodo untuk merawatnya. kupersilahkan juga bila ada teman ata saudaranya yang ingin menempati rumah itu. Ya.. Setidaknya dengan cara itu, Rumahku masih bisa terawat dan nampak hidup.
tak terasa sudah 3 bulan lamanya aku kembali ke Ibu Kota, tapi masih saja hatiku tenggelam dalam lautan rindu akan Ibu, bahkan rasanya semakin hari, semakin dalam aku tenggelam.
aku masih melakukan aktivitas seperti biasanya. Hanya saja kali ini hilang rasa antusiasku dalam melakukannya.
Aku bahkan belum sempat mengabari Ninda, Vikram atau Dimas kalau aku sudah kembali. Menurutku mereka juga memiliki kehidupan sendiri untuk diurus. Aku tidak ingin mereka terlalu bersimpati kepadaku, hingga harus berpura-pura tersenyum hanya untuk menghiburku. Intinya aku tidak mau jika setiap saat harus merepotkan mereka.
di saat-saat seperti ini, aku semakin bergantung pada obat-obatan itu. Walau mungkin memang benar, itu tidak akan pernah membuatku bisa keluar dari rasa kekosongan dan kesedihan, tapi kurasa obat-obatan itu bisa memberi sedikit jarak untuk beberapa waktu dengan perasaan yang kurasakan sekarang ini. Bagiku untuk sekarang itu sedikit lebih membantu.
...****************...
tengah malam aku sedang berjalan sendirian untuk pulang selepas mengamen. Saat itu hanya lampu jalanan yang menjadi temanku .Jalanan sudah nampak sangat sepi, tidak terlihat ada satu kendaraanpun yang melintas.
Diujung persimpangan, kulihat ada sebuah warung kecil berbilik kayu. dari kejauhan kulihat pula seseorang sedang membeli sesuatu disana.
semakin dekat langkahku, semakin jelas wajah orang itu terlihat. aku masih ingat betul wajahnya, itu adalah salah satu orang yang beberapa waktu lalu mengeroyokku.
Dia rupanya tidak sendiri, dia berdua dengan temannya yang baru terlihat. Mereka kemudian berjalan kearahku, seraya kulihat mereka melakukan percakapan kecil dan tertawa.
sengaja langkah kaki kulambatkan, hingga aku akhirnya berdiri ditempat saja. Kubiarkan mereka mendekat ke posisi aku berdiri, agar tidak terlalu dekat dengan warung tadi.
saat pikiran kita sedang kacau tak terkendali, saat itu biasanya perasaanlah yang akan bertindak mengambil alih. Dan saat itu perasaanku dipenuhi akan dendam.
Saat mereka benar-benar sudah berada dihadapanku, aku dengan cepat kuhantam seorang dari mereka dengan gitarku hingga patah. Lalu saat dia terkapar jatuh, seorang lagi berusaha memberi perlawanan.
"wahh anjinh lo!!!" teriaknya kemudian mengayunkan tinjunya padaku.
Pukulan itu memang tepat mengenai pipi kiriku, tapi entah kenapa itu seperti tidak berasa apapun bagiku. saraf rasa sakitku mungkin sudah terhambat oleh emosi saat itu.
lalu aku menghajar mereka dengan membabi buta, bahkan ketika mereka sudah terkaparpun, aku masih memukuli wajah mereka tanpa henti. Untuk sepersekian detik, hilang akalku.
Pukulanku berhenti ketika aku sadar wajah mereka sudah terbalut darah. Nafasku terengah-engah, keringat bercucuran dari sekujur tubuhku.
Aku kemudian mulai panik. Tanpa berpikir panjang, aku lantas berlari dari sana terbirit-birit. Meninggalkan gitarku yang patah juga disana.
aku lari secepat mungkin tanpa henti. Sekalipun aku tidak berani menengok lagi kebelakang. kepanikan membuat lelah nampaknya tak berlaku bagi tubuhku saat itu.
hingga tanpa disadari, aku sudah sampai dikamar kostku. Aku masuk dan langsung mengunci pintu rapat-rapat.
Saat pikiranku mulai jernih oleh ketenangan, kemudian aku membasuh diri dikamar mandi. tanganku sedikit terluka karena mungkin memukul mereka terlalu keras tanpa henti.
ahh sial! Apa ini akan menjadi kesalahan lainnya yang kulakukan?
...****************...
Dua hari kemudian aku mencoba menghubungi Ninda. Aku berencana untuk meminjam gitarnya untuk satu minggu kedepan. Karena waktu itu gitarku sudah patah, aku sekarang jadi sedikit terkendala untuk mencari pundi-pundi rupiah.
Mungkin aku bisa saja membeli gitar baru dengan menjual beberapa perhiasan Ibu yang kubawa dari kampung. Tapi itu akan menjadi sangat memalukan bagiku, benar-benar memalukan!
Bagaimanapun, tak sampai hati aku menjual benda seberharga itu hanya untuk sebuah gitar. harapku, semoga dalam seminggu aku bisa mengumpulkan uang yang cukup untuk membeli gitar baru, dan mudah-mudah Ninda tidak keberatan akan itu.
^^^p^^^
Hai.. Apa kabar?
^^^Ya begitulah... Btw Nin kalau kamu lagi gak sibuk, bisa kita ketemu? Aku udah balik ke Jakarta nih.^^^
boleh. Malam ini aja gimana?
^^^oke deh^^^
Malamnya aku datang ke rumah Ninda. Itu adalah kali pertama aku aku bertamu kerumahnya.
Rumahnya tidak terlalu luas, tapi terkesan modern. dibangun mewah dengan tiga lantai. Tinggi pagarnya saja jauh lebih tinggi dari pintu kamarku. Halamannya dihuni dengan beberapa pot berisi tanaman hias nan Indah.
Aku memilih untuk duduk dan berbincang dengannya di depan teras halaman agar bisa sembari menghisap sedikit rokok. Disitu ada meja kayu berpahat dan kursi untuk duduk.
Malam itu Ninda terlihat begitu manis dengan menggunakan sweter berwarna pastel dan celana pendek putih. rambutnya diikat memanjang kebelakang.
saat itu orang tuanya sedang tidak ada dirumah, katanya mereka sedang pergi menghadiri acara sahabat mereka.
"kamu kok gak ikut?"tanyaku
"malas, aku gak terlalu suka acara-acara ramai begitu" jawab Ninda dengan menahan dagu
dia mengatakan juga sedikit kesal karena sudah cukup lama aku kembali, tapi tidak pernah memberinya kabar. aku pun meminta maaf untuk itu.
"kamu baik-baik aja kan?" tanya Ninda serius
"hmm baik kok"
"kamu gak pernah nyoba bunuh diri kan?" celotehnya lagi
"huh? Ya nggalah Nin. Ibuku pasti kecewa disana kalau aku melakukan itu."
Ninda kemudian seperti bernafas lega. Aku tahu dia mengkhawatirkan kondisiku. Aku berterima kasih untuk itu. aku bersyukur, setidaknya dalam kesendirianku, masih ada orang yang peduli akan diriku
"terus ini tangan kamu kenapa?" ia menunjuk luka pada lenganku. Memang aku tidak sempat membalut luka itu sebelumnya. Kupikir lukanya akan lebih cepat sembuh jika dibiarkan terbuka.
"ohh ini gak apa-apa cuma sedikit lecet." jawabku
" ohh..." Ninda sedikit mengangguk berusaha percaya nampaknya.
Kemudian aku menjelaskan maksud tujuanku menemuinya malam itu. Ninda katanya tidak keberatan jika aku meminjam gitarnya, karena kebetulan lusa dia akan pergi ke Singapur dengan keluarganya.
"rawat gitarku baik-baik ya selama aku pergi. Namanya Mister John. Kalau sedikit rewel angan kamu marahin, ganti aja senarnya" canda Ninda
"hahaha gak akan cuma aku rawat. Aku beri juga gitarmu pendidikan mencari uang" celotehku
Kami kemudian tertawa, saling melontarkan candaan yang sedikit ngawur.
"berapa lama kamu pergi?" tanyaku selanjutnya
"hmm gak tahu, bisa lebih lama, bisa lebih sebentar."
Entah kenapa aku merasa tidak nyaman dengan itu. Seolah aku tidak ingin itu terjadi, tapi apalah hakku melarangnya.
"jangan kangen ya!" celoteh Ninda sembari menyenggol badanku
Aku hanya sedikit tersenyum dan menghela nafas setelahnya.
Malam itu mungkin akan menjadi malam terakhir aku melihat wajah Ninda, sebelum jarak menghalangi aku untuk melihatnya lagi.
aku sepintas kemudian berandai-andai, Andai malam ini bisa bertahan lebih lama. aku masih ingin mendengar setiap kata yang keluar dari bibir merah mudanya itu, aku pasti akan merindukan aroma bayi yang khas darinya. Lucu agaknya, ada orang dewasa yang suka mengenakan minyak bayi. Tapi aku menyukai itu.
Malam itu aku menyadari ada sesuatu yang terjadi dangan diriku. Sebuah perasaan yang lidahku hilang akal untuk mengungkapkannya, otakku tak sanggup menafsirkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 17 Episodes
Comments
el zahra
semangat kak cepetan up nya saya tunggu semangat kakak
2023-04-28
0