Disebuah warung kopi sore itu. Aku, Dimas dan Vikram sedang bertukar cerita kehidupan. Vikram adalah temanku sejak SMA. Kami bertemu tak sengaja sekitar satu bulan lalu disebuah minimarket. Saat itu Vikram bekerja sebagai kasir disana. Rupanya dia juga sudah tinggal di Ibu kota setahun belakangan.
"Maneh(kamu) gak ada niatan nyoba cari kerja yang lain gitu?" tanya Vikram. Karena kami sama-sama berasal dari Ciwidey. Kami lebih terbiasa saling bicara dengan sedikit berbahasa sunda.
"udah nyoba, tapi masih belum ada panggilan. Ya tahu lah susahnya nyari kerja di Jakarta. Apalagi kalo cuma ijazah SMA." jawabku
"jalanin aja apa yang ada dulu. Semua punya jalan dan waktu masing-masing." sambung Dimas sembari menghembuskan asap rokok ke langit-langit.
itulah Dimas, selalu bersikap optimis dalam segala hal. Sementara Vikram justru sebaliknya, Dia kadang terlalu banyak berpikir dan ragu dalam hal apapun.
Duduk disana bersama mereka seperti berada diantara energi positif dan negatif. tapi keberadaan mereka juga kiranya bisa sedikit menghiburku.
Kami disana hingga sore, mungkin sekitar pukul 3. Waktu tak terasa betul lewatnya. Vikram kemudian pamit terlebih dahulu.
"Duluan ya. Nanti kabar-kabar aja oke." pamit Vikram
"yo hati-hati" sautku dan Dimas
Setelah Vikram pergi, Dimas menanyakan kabar Ninda padaku.
"Ninda apa kabar?" tanya nya
"baik kayaknya" jawabku
"kayaknya makin deket aja lo sama dia ya... Gak ada rencana dipacarin tuh cewe?" sambung Dimas dengan tersenyum jahil.
"huft... Ngurus diri aja gue kewalahan, apalagi ngurusin anak orang. Ngga lah gila, kita temen biasa aja."
Aku memang tidak pernah berfikir sejauh itu tentang Ninda untuk saat ini. Aku memang nyaman berada didekatnya, tapi itu hanya kenyamanan sebagai teman. Sama seperti aku nyaman bergaul dengan Dimas ataupun Vikram. Kalaupun nanti kiranya ada suatu perasaan yang lebih daripada itu, kurasa mustahil aku bisa memilikinya. bagaimana bisa kotoran dicintai kupu-kupu.
...****************...
Malam harinya aku kembali mengamen, mencari sisihan uang-uang kecil dipinggiran Ibu Kota. Malam itu bulan sedang dipose indahnya, tak terhalang secuilpun awan. Sorot lampu kendaran seperti bintang-bintang yang menghias seisi kota. Entah sudah berapa jauh kaki ini melangkah, entah sudah berapa lagu yang kunyanyikan. Yang bisa kuharapkan hanyalah, kiranya itu sesuai dengan apa yang kudapatkan.
kerap juga aku bergesekan dengan anak-anak jalanan lain. itu adalah hal yang lumrah bila hidup dijalanan. Jalanan seperti hutan rimba ditengah peradaban modern. bila bermental rusa, maka kau akan mudah dimangsa. Tapi sekarang aku tidak pernah merasa takut lagi berjalan di hutan rimba ini, biarpun ular atau singa sekalipun yang kuhadapi. Bukan berarti aku jagoan, tapi karena rasa takutku sudah hilang sejak terakhir kali aku pulang. rasa takutku sudah habis oleh kejadian itu, kukubur dalam-dalam bersama kuburan adikku.
Aku terus berjalan menawarkan tiap irama nada pada orang-orang. dari satu sudut keramaian ke keramaian lain. hingga aku berhenti disebuah warung soto yang terlihat ramai pengunjung.
Ketika kunyanyikan setengah lagu, baru kusadaran ada wajah yang tidak asing dimeja paling belakang barisan kanan. aku jelas kenal betul seorang pria paruh baya yang duduk disana. dia adalah orang yang kupanggil ayah dulu, seorang Ayah yang meninggalkan anaknya saat kelaparan. Suami yang meninggalkan istrinya ketika hamil besar anak kedua.
naik darahku ketika melihat wajahnya. Jari-jariku bahkan gemetar hingga tak sanggup kupetik gitar, bibirku kaku seperti hanya ingin meluapkan segala perkataan kotor didepan wajahnya. Beberapa orang yang sedang makan disana mungkin kebingungan melihat tingkahku. Tapi aku tidak peduli itu
Kemudian aku hendak melangkahkan kakiku menghampirinya, tapi tiba-tiba datang wanita dengan hijab hitam yang membalut kepalanya menggandeng gadis kecil berusia sekitar 8 Tahun duduk disebelahnya. lelaki itu tersenyum pada mereka. Senyum yang benar-benar membuatku muak. lalu kulihat wajah gadis kecil yang bersamanya tertawa tulus bahagia, lalu hilang akal ku.
Kuurungkan niatku ketika kulihat kebahagian kecil keluarga itu. Aku memilih pergi dari sana tanpa ragu, dan tanpa menoleh kebelakang. Dia sempat melihatku saat aku pergi, tapi mana mungkin dia mengingat wajahku setelah tak bertemu 10 tahun lamanya. Kupalingkan wajahku, seraya berharap wajah ini tidak akan pernah ia lihat lagi. jalanku semakin cepat menjauh dari tempat itu, hingga akhirnya aku berlari.
untuk sesaat ingatanku kembali ke masa lampau. Saat adikku selalu menanyakan seperti apa rupa ayahnya.dan bahkan, hingga saat terakhirnya ia tak bisa mendapat jawaban dari pertanyaannya itu.
air mataku jatuh kemudian, dirundung kepahitan masa lalu. Masa yang seharusnya ada sosok ayah bersama kami. hingga saat itu seorang anak lelaki berusia 12 tahun berusaha mati-matian menjadi sosok penggantinya, dan kemudian jiwanya mati tenggelam oleh air mata kegagalan. Seorang Ibu yang dipaksa oleh keadaan untuk sekaligus berperan menjadi ayah.
Aku terus berlari hingga hilang akal untuk berhenti. Sampai ketika kuusap air dari mataku, aku menabrak seseorang
"maaf maaf" kataku dengan suara sedikit parau
Saat kulihat ternyata itu adalah Ninda dengan menggunakan hoodie merah muda, dan dengan rambutnya yang terikat. entah apa yang dilakukannya disitu.
"Damir? Kamu kenapa?" tanya Ninda terheran-heran
kuusap wajahku berusaha menghapus kesedihan darinya. Aku tidak menjawab pertanyaannya itu. Aku hanya berusaha bersikap kalau semuanya baik-baik saja.
"kamu lagi apa disini?jalan-jalan?" kataku berusaha mengubah topik.
namun, tak disangka Ninda memelukku dengan cepat. Ia mengusap punggungku seraya berbisik pelan.
"Air mata lelaki jatuh tanda sesuatu didalamnya sedang rapuh. kamu ngga perlu bicara, cukup tenang. Biarkan air matamu yang berkata."
Pelukan hangat itu hampir terasa seperti pelukan Ibu ketika aku menangis karena jatuh waktu kecil. Usapannya terasa seperti usapan Ibu yang membuatku tertidur. Aku terpaku membisu. Detak jatungku rasanya seperti bergerak lebih lambat. seperti sihir, ketenangan kemudian mengalir begitu saja.aku bisa merasakan aroma tubuhnya yang tercium seperti aroma bayi dari dekat. Rambutnya yang begitu halus menyentuh pipiku.
Malam itu seketika menjadi sunyi bagi telingaku. Suara berisik yang tadinya bergemuruh dalam kepalaku, seketika hening. Seakan waktu berhenti bergerak, dan dalam momen itu hanya kami berdua yang hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 17 Episodes
Comments