Nadia mengusap kepala Acha yang bersandar di bahunya. Meski Acha adalah anak sambungnya, ia tidak membedakan kasih sayangnya dengan anak-anaknya yang lain. Nadia sangat menyayangi dan mencitai anak-anaknya.
“Bagaimana Dokter Riki, tadi katanya mau cerita soal Dokter Riki?” tanya Nadia.
“Ehm ... gak jadi, Ma. Lupa mau cerita apa,” jawab Acha.
“Yakin lupa? Atau pura-pura lupa?” tanya Nadia dengan menarik hidung Acha.
“I—iya lupa, dan lupakan sajalah, Ma. Aku lebih senang mama tidak sedih lagi,” ucap Acha.
“Oh jadi Dokter Riki Cuma pengalihan saja nih? Kamu itu sukanya?”
“Ya habis mama sedih gitu, Acha paling gak mau kalau mama sedih, kalau mama nangis, apalagi sampai mama menyalahkan diri mama atas apa yang sudah terjadi dulu. Jangan begitu lagi ya, Ma?” ucap Acha.
“Iya, mama gak nangis lagi kok. Ini mama sudah senyum, kan? Sekarang kamu mau cerita apa soal dokter Riki?” tanya Nadia.
“Gak ada, Ma. Gak ada yang mau aku ceritain kok,” jawab Acha gugup.
“Yakin?”
“Iya yakin dong ma?” jawab Acha. Padahal dirinya memang ingin cerita soal Dokter Riki yang mau mengajaknya makan malam.
“Yakin nih?”
“Iya mama ... gak ada yang mau aku ceritain kok,” jawab Acha mengelak.
“Gak mau bicara soal ajakan makan malam Dokter Riki nanti malam minggu?” tanya Nadia dengan mengulas senyumannya.
“K—kok mama tahu? Ka—kalau dokter Riki ngajak aku makan malam?” tanya Acha gugup.
“Ya tahu dong, kan sebelum ngomong sama kamu, Riki ke tempat praktik mama, minta izin mau ajak kamu makan malam. Ada papa juga sih kemarin, jadi dia sudah pamit mama dan papa,” jawab Nadia.
“Ih kok gitu? Terus mama jawab apa?” tanya Acha semakin penasaran.
“Kepo, ya?” jawab Nadia.
“Ih ... mama selalu gitu?”
“Ya mama jawab saja, kamu tanya sendiri sama Acha, mau atau tidak, masa tanya sama saya? Mama jawab begitu,” jelas Nadia.
“Iya, Dokter Riki ajak Acha makan malam nanti malam minggu. Acha bingung sih mau jawab apa, Ma,” ucap Acha.
“Kok bingung? Apa yang Riki lakukan itu sudah baik, dia mau ajak makan anak gadis orang, tapi pamitnya sama orang tuanya dulu, dan dia malah belum tanya kamu dulu. Sekarang terserah kamu, mama dan papa udah ngizinin, tapi kan tergantung kamunya, mau atau tidak?” jelas Nadia.
“Aku malah bilang sama Riki, aku suruh ke rumah pamit sama mama dan papa?” ucap Acha.
“Terus dia bagaimana? Bilang tidak sudah pamit sama mama dan pap?” tanya Nadia.
“Tidak, dia bilang iya nanti besok malam mau ke sini, sepulang dari kliniknya Opa Akmal,” jawab Acha.
“Ya sudah ke sini saja, pamitnya ada kamu juga kan enak bicaranya,” ucap Nadia.
Nadia melihat Acha seperti sudah terbuka hatinya soal urusan pria. Sejak dia suka dengan Zhafran, dan sedikit dipatahkan hatinya karena melihat gaya pacaran Zhafran, ia malas mengenal pria lagi. Ia takut mengenal pria seperti Zhafran yang suka gonta-gonti cewek. Nadia juga tidak suka saat Acha mengenal dekat dengan Zhafran, karena dia tahu bagaimana sepupunya itu. Gaya hidupnya sudah kebarat-baratan, juga gaya pacarannya. Nadia memang sudah mengenal pacaran dari SMP, tapi dia pacaran yang wajar saja, tidak seperti Zhafran, mungkin karena Zhafran lama tinggal di luar negeri saat kuliah.
^^^
Devan masih di ruang keluarga dengan kedua putranya, seperti biasa mereka cerita soal bisnis, karena mereka sama-sama bergelut dengan dunia bisnis. Fatih masih memikirkan soal tahun lahirnya yang sama dengan tahun lahir kematian istri pertama papanya.
“Pa, aku ini anak kandung papa, kan?” tanya Fatih.
“Kenapa tanya seperti itu, Kak? Ngawur kamu tanyanya,” ucap Shaka.
“Iya, kamu ini kenapa tanya seperti itu? Ya jelas kamu anak kandung papa dong?” jawab Devan.
“Ibu kandungku mama Nadia, kan? Bukan mama Ica?” tanya Fatih lagi.
“Kok kamu tanyanya seperti itu? Jelas ibu kandungmu yang Mama Nadia? Mama Ica punya anak ya Cuma satu, Kak Acha saja. Sebetulnya mama Ica hamil itu lima kali mungkin, yang pertama baru lahir meninggal, dan yang lainnya keguguran terus,” jelas Devan.
“Oh gitu? Ya Fatih janggal saja sih, sebetulnya dari dulu, dari Fatih SMA baru memerhatikan kejanggalan ini, Pa,” ucap Fatih.
“Janggal gimana sih, Kak? Kamu jelas dong anak kandung mama dan papa?” ucap Shaka.
“Iya kamu ini tanyanya aneh sekali,” ucap Devan.
Devan padahal tahu, pertanyaan Fatih mengarah ke mana. Devan sudah tahu dari Nadia, kalau Fatih sering membahas soal tahun lahirnya yang sama dengan tahun meninggalnya Acha. Hanya saja bulannya berbeda, selisih beberapa bulan saja.
“Kalau Fatih anak kandung papa dan mama, kenapa tahun lahir Fatih kok sama dengan tahun meninggalnya mama Ica? Hanya selisih beberapa bulan saja. Terus Om Keenan meninggal sepertinya selisihnya belum ada satu tahun dengan lahirnya aku, Pa?” tanya Devan.
Seteliti itu Fatih, ia terus bertanya-tanya dalam dirinya, papanya itu Keenan atau Devan. Ia juga penasaran, karena papa dan mamanya bilang, selang enam bulan Mama Ica meninggal, mamanya baru menikah dengan papanya. Dan lebih janggal lagi, Fatih melihat foto dirinya yang menggunankan jas mirip senada dengan papanya. Di dalam foto terlihat mamanya menggunakan gaun pengantin, seperti baru menikah.
“Pa, Fatih butuh penjelasan semua itu, apa mama lebih dulu menikah dengan Om Keenan, lalu papa baru menikahi mama setelah mama Ica meninggal, dan aku sudah besar? Fatih janggal dengan foto ini, Pa.” Fatih menunjukkan foto mama dan papanya saat jadi pengantin, tapi dalam foto tersebut Fatih terlihat sudah besar, dan sedang digendong Devan, mengenakan jas yang senada dengan Devan. Acha juga sudah besar, dia sama-sama memakai gaun yang warnanya senada dengan warna gaun Nadia.
Shaka mengambil foto yang sedang dipegang Fatih, dia penasaran juga, karena dia memang tidak begitu memerhatikan hal itu dengan detail, tidak seperti Fatih.
“Ih kok iya, Pa? Ini Kak Fatih saat papa dan mama menikah sudah gede lho? Kak jangan-jangan benar, kakak anak Om Keenan? Atau gimana, Pa?” ucap Shaka.
“Shaka ... bicaranya jangan seperti itu, benar kakakmu ini anak kandung papa, papa tidak bohong, Nak,” ucap Devan. “Papa akan jelaskan semuanya, tapi papa panggil mama, ya? Papa tanya mama, siap atau tidak mama menjelaskan semua ini,” ucap Devan.
“Memang kenapa mama tidak siap, Pa?” tanya Fatih.
“Mama akan jelaskan semuaya,” ucap Nadia yang baru saja keluar dari kamar dengan Acha, dan mendengar semua percakapan Fatih dan Devan.
“Mama yakin?” tanya Acha.
“Iya, mama yakin. Sudah saatnya kalian berdua tahu yang sebenarnya terjadi. Maafkan mama, mama belum berani menjelaskan semua ini pada kalian, karena mama malu, Nak,” ucap Nadia dengan berlinang air mata.
Fatih langsung beranjak dari tempat duduknya, saat melihat mamanya menangis. Pun dengan Shaka, dia juga mendekati mamanya lalu memeluknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments