Di saat-saat momen dengan Alana, Ardha harus pulang karena ada pekerjaan di kantornya, padahal ia masih ingin bersama Alana hingga acara Alana dengan teman-temannya selesai. Ia hanya bisa berfoto bersama dengan Alana, dan mengobrol sebentar.
“Lan, aku minta maaf, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, tidak apa-apa kalau aku pulang?”
“Iya, Pak Ardha, tidak apa-apa, ini juga saya mau pulang,” jawab Alana.
“Mau aku antar?” tawar Ardha.
“Tidak usah pak, saya sudah pesan taksi kok,” jawab Alana. Padahal dia belum memesan taksi, ia tidak mau tempat kost barunya diketahui oleh Ardha.
“Apa kamu sudah memesan taksi, Alana?” tanya Aninggar.
“Sudah budhe, tadi Alana sudah pesan,” jawab Alana.
“Ya sudah kalau sudah pesan taksi, saya pamit dulu,” pamit Ardha. Alana hanya mengangguk saja.
Ardha juga tahu, kalau Alana tidak mau diketahui di mana dirinya tinggal sekarang. Ardha bisa saja nanti mengikuti taksi Alana, tapi dia hari ini benar-benar ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Alana mengajak ibu dan budhenya pulang, setelah foto-foto bersama dengan temannya, tapi panggilang seseorang menghentikan langkah Alana.
“Alana!” panggil Fatih.
“Mas Fatih?”
“Siapa lagi, Lan?” tanya Arofah.
“Sepupunya Pak Ardha, Bu,” jawab Alana.
“Sepertinya akan ada persaingan antar sepupu ini?” ujar Aninggar.
“Budhe bilangnya ih, saingan apa sih?” ucap Alana.
Fatih menngajak mama dan papanya turun dari mobilnya, Alana mengernyitkan dahinya melihat papa dan mamanya Fatih juga ikut bersama.
“Lan me—mereka siapa?” tanya Arofah.
“Oh itu papanya Mas Fatih, kalau sebelahnya mungkin mamanya,” jawab Alana.
“Me—mereka orang tuanya?” tanya Aninggar gugup.
“Iya, budhe, sepertinya itu mamanya Mas Fatih, kalau papanya sih sudah pernah bertemu tiga kali sepertinya,” jawab Alana.
Fatih dan kedua orang tuanya menghampiri Alana. Alana mengulas senyum melihat Fatih datang dengan kedua orang tuanya.
“Alana, selamat, ya?” ucap Fatih dengan memberikan bunga dan kado untuk Alana.
“Terima kasih, Mas,” ucap Alana.
“Ke mana saja, Lan? Kamu tiga bulan ini sepertinya menghindar, apa karena Alka?” tanya Fatih.
“Mas Fatih pastinya lebih paham bagaimana,” jawab Alana.
“Iya, aku paham, Lan,” ucap Fatih. “Lan ini mama dan papa, kamu sudah kenal dengan papa, kalau ini mama yang dari kemarin penasaran sama kamu.” Fatih memperkenalkan mamanya pada Alana.
Nadia melihat Alana tanpa mengedipkan matanya, hatinya bergemuruh, entah karena apa, ia seperti melihat cermin, Alana begitu mirip dengannya, tidak ada bedanya, hanya Alana masih terlihat sangat muda. Ia mengingat dirinya saat wisuda dulu, dandanan Alana begitu persis dengan dirinya.
“Mama ... ini lho Alana, kok malah melamun?” ucap Devan.
“Ah ... i—iya, Pa. Benar kata papa, aku merasa sedang bercermin, dan menatap diriku sendiri saat masih muda,” ucap Nadia dengan gugup, lalu menyimpulkan senyumannya. Hatinya masih bergemuruh, ingin sekali dia memeluk Alana, entah kenapa dia menginginkan itu, rasanya baru saja mengenal Alana, tapi dia seperti sudah mengenal Alana cukup lama.
“Salam kenal, Tante. Saya Alana, Mas Fatih sering cerita dengan Alana tentang Tante yang katanya mirip denganku,” ucap Alana.
“Benarkah? Wah cumlaude ya? Selamat ya? Ini tante ada oleh-oleh buat kamu, semoga kamu suka.” Nadia memberikan hadiah untuk Alana.
“Terima kasih, Tante,” jawab Alana.
“Ini dari om, semoga kamu suka, om kan sudah janji sama kamu, mau memberikan hadiah saat kamu ulang tahun. Selamat ulang tahun, meski terlambat, dan selamat dengan prestasi yang kamu capai, Alana,” ucap Devan.
“Terima kasih, Om Dev,” jawab Alana. “Oh iya, kenalkan ini ibu saya, dan sebelahnya budhe saya.” Alana memperkenalkan ibunya dan budhenya pada Fatih dan kedua orang tua Fatih.
“Oh salam kenal, saya Nadia, mamanya Fatih, dan ini suami saya, Devan.” Nadia memperkenalkan dirinya pada ibunya Alana.
“Oh, i—iya. Salam kenal juga, saya Arofah,” ucap Arofah. “Ini kakak ipar saya, Aninggar,” lanjutnya.
“Salam kenal,” ucap Aninggar.
“Sebentar, sepertinya saya pernah melihat ibu di mana, ya?” tanya Devan pada ibunya Alana.
“Oh benarkah? Ta—tapi sepertinya bapak salah orang,” jawab Arofah dengan gugup.
“Iya, mungkin, Bu. Ya sudah lupakan. Tapi, saya benar-benar pernah melihat ibu, tapi lupa di mana, sudah lama sepertinya. Bertemu ibu rasanya seperti dejavu,” ucap Devan.
“Mungkin papa ketemu orang yang mirip dengan ibunya Alana mungkin?” ucap Fatih.
“Iya, benar, mungkin Om Dev hanya bertemu dengan orang yang mirip ibu saya,” ucap Alana.
“Lan, itu taksinya, kan? Ayo pulang?” ajak Arofah.
“Bu, baru saja sebentar. Padahal kami mau mengangajak ibu, Alana, dan budhe mampir ke restoran saya. Anggap saja ini merayakan Ulang tahun Alana, dan merayakan wisuda Alana dengan nilai terbaik,” ucap Devan.
“Waduh, tidak usah repot-repot, Pak Devan,” ucap Arofah.
“Iya, Om, tidak usah repot-repot,” ucap Alana.
“Tidak baik lho menolak rezeki? Ayo sekali-kali juga.” Devan sedikit memaksa, karena dia penasaran dengan ibunya Alana, Devan yakin pernah bertemu dan mengobrol cukup lama dengan ibunya Alana, tapi lupa di mana.
“Iya, Fah, kamu jangan menolak rezeki. Ya kan sesekali tidak apa-apa ya kan Pak Dev?” ucap Aninggar.
“Iya benar, Bu. Ayo pakai mobil saya saja, tidak apa-apa batalkan taksinya, nanti biar saya yang bilang,” ucap Devan.
“Ta—tapi Pak Dev?”
“Bu ... saya juga pengin ngobrol banyak dengan Alana, mau ya, Bu? Kan sesekali?” ucap Nadia.
“Ya—yasudah, tidak apa-apa,” jawab Arofah.
“Ayo ke mobil saya, Bu,” ajak Nadia. “Papa duduk di depan sama Fatih, ya? Mama pengin ngobrol dengan Alana,” pinta Nadia.
Devan hanya mengangguk, dan tersenyum. Ia melihat istrinya sangat senang berkenalan dengan Alana. Tapi, entah kenapa Devan tidak ada rasa untuk segera memastikan hubungan Fatih dengan Alana, melainkan ia ingin lebih mengerti siapa Alana, apalagi dia seperti sudah pernah melihat ibunya Alana.
Nadia terlihat langsung akrab dengan Alana, pun Alana. Ia terus bercerita pengalamannya semasa kuliah di kota dengan Alana. Sesampainya di restoran mereka langsung duduk di tempat yang sudah disiapkan Devan. Devan meminta karyawannya menyiapkan meja untuk makan siang, ia juga meminata karyawannya menyiapkan beberapa menu makanan yang paling enak di restorannya.
“Ayo Alana, silakan kamu mau pilih makanan apa. Ini semua makanan yang paling enak di restoran kami,” ucap Nadia.
“Terima kasih sekali, om sama tante sudah mengajak kami ke sini,” ucap Alana.
“Iya, kami merepotkan sekali,” ucap Arofah.
“Ibu, tidak apa-apa, ini memang sudah saya rencanakan sejak kemarin, kalau Fatih mengajak kami ke wisuda Alana, memang mau mengajak makan siang di restoran kami,” ucap Devan.
Ibunya Alana terlihat sangat gelisah sekali, entah kenapa, dia begitu gelisah sekali apalagi saat Devan bilang pernah melihat dirinya.
“Alana tinggal di desa mana?” tanya Nadia.
“Di Desa Gilimurti,” jawab Alana.
Arofah sebetulnya ingin mencegah Alana menjawab di mana asal desanya, tapi Alana sudah keburu menjawabnya.
“Gilimurti?” Devan tiba-tiba ingat nama desa tersebut.
“Iya, Om, saya tinggal di sana dengan ibu,” jelas Alana.
“Oh ya, om tahu, om pernah ke sana, dulu sekali, saat mencari anak om yang hilang, mungkin kalau ditemukan sudah seusia kamu,” ucap Devan.
Devan tidak mau berbasa-basi lagi, Devan sudah yakin, dia pernah bertemu ibunya Alana di desa tersebut, saat iku turun dengan polisi dan tim pencarian.
“Mas Fatih pernah cerita dengan saya, Om,” ucap Alana.
“Benar begitu, Fatih?” tanya Nadia.
“Iya, aku pernah cerita sama Alana, kalau adikku hilang saat kecelakaan, entah masuk ke jurang, hanyut di sungai, atau bagaimana. Maaf, Fatih menceritakan ini dengan Alana, Ma,” ucap Fatih.
“Tidak apa-apa, memang seperti itu kenyataannya. Anak tante hilang saat usia kurang lebih enam bulan. Ya tante tidak tahu sekarang bagaimana, tidak ditemukan anak tante, polisi juga gagal menemukan, sudah dua puluh tahun lebih tidak ada tanda-tanda penemuan anak tante. Tante hanya berharap, semoga anak tante di luar sana, bertemu dengan orang yang baik, kalau pun sudah tidak ada, semoga dia bisa mendapat tempat yang indah di surga, meski jasadnya tidak bisa kami temukan,” ucap Nadia.
“Tante, maaf jadi bikin tante sedih,” ucap Alana dengan menggenggam tangan Nadia lalu memeluk Nadia. Ada rasa hangat saat Nadia memeluk Alana, pun Alana merasakan hal yang sama. Seperti nyaman sekali memeluk Nadia.
Arofah melihat mereka sedekat itu hatinya sakit. Ia tidak tahu harus bagaimana, bicara jujur, atau menyembunyikan selamanya.
“Kenapa bisa seperti ini? Kenapa harus bertemu dengan mereka lagi? Maafkan ibu, Alana. Itu adalah mamamu. Mereka orang tuamu, dan Fatih adalah kakakmu,” ucap Arofah dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Zahraa
ituu depan mu tuh orang tua asli kamuuu Ayleen
2023-02-08
0
Zahraa
TUH KANNN... IHH Gemesss dehhh segeraaa tauuu kasiann Ayleen gatau ibu bapak nya:(
2023-02-08
0