Kiano telah lebih dahulu duduk di hadapan seorang pria paruh baya berjubah putih dengan peci hitam bertengger rapi di kepalanya. Wajah tenangnya menandakan bahwa dialah penghulu yang akan memimpin prosesi sakral ini. Di tubuh Kiano melekat sempurna busana adat Jawa lengkap, serasi dengan Nara yang mengenakan kebaya senada. Meski sebenarnya baju itu dipesan untuk Vano, sang kakak yang kini entah di mana rimbanya, namun karena postur mereka nyaris serupa, Kiano tetap bisa memakainya—hanya saja, kainnya lebih ketat di tubuhnya yang lebih berisi, menonjolkan otot-otot muda yang tampak mencolok di balik kain.
Ia duduk menunduk, nyaris tak berani menatap sosok penghulu di depannya. Jemarinya saling meremas satu sama lain, lidahnya tak henti berkomat-kamit membaca doa atau mungkin sekadar mencari ketenangan dalam kegugupan.
“Silakan duduk, Nona,” ucap sang penghulu kepada gadis muda yang berdiri canggung di samping ibunya. Dengan langkah pelan, Nara mendekat lalu duduk di sisi Kiano. Seolah tersengat listrik, Kiano langsung mendongak, dan untuk pertama kalinya, mereka benar-benar bertatapan sebagai sepasang calon suami istri.
“Ca… cantik,” gumam Kiano, lirih, nyaris seperti bisikan angin. Tatapannya tak berkedip, menatap wajah Nara dengan kekaguman yang tak bisa disembunyikan.
“Sudah siap kita mulai?” tanya penghulu, menatap mereka berdua. Keduanya mengangguk pelan, bersamaan. Di belakang, orang-orang terdekat mereka tersenyum haru.
“Semoga ini awal yang indah untukmu, sayang,” batin Nisa, ibunda Nara.
Karena sebelumnya Andika, ayah Vano dan Kiano, telah menjelaskan bahwa calon mempelai wanita adalah seorang yatim piatu, maka penghulu langsung memimpin ijab kabul tanpa wali dari pihak wanita. Mereka lalu berjabat tangan dengan khidmat.
“Mohon perhatian, Bapak dan Ibu tamu undangan. Prosesi ijab kabul akan segera dimulai,” ujar panitia dengan suara lantang melalui pengeras suara. Seisi ruangan mendadak senyap, seolah udara pun ikut menahan napas.
Dengan penuh wibawa, penghulu memulai, “Bismillahirrahmanirrahim… Saudara Kiano Putra Erlangga, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Kaynara Milea Wardhana binti almarhum Indra Wirawan dengan maskawin berupa seperangkat alat salat dan emas seberat 99 gram dibayar tunai.”
Dengan satu tarikan napas dan tangan yang menggenggam erat, Kiano menjawab mantap, “Saya terima nikah dan kawinnya Kaynara Milea Wardhana binti almarhum Indra Wirawan dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
Penghulu menoleh kepada para saksi, “Bagaimana, para saksi?”
“Sah,” jawab dua pria saksi dengan tegas.
“Alhamdulillah,” gumam para tamu yang hadir, serempak dan penuh rasa syukur.
Kiano, yang sejak tadi menahan napas karena tegang, akhirnya bisa menghela dengan lega. Hangatnya embusan napas itu sampai terasa menyentuh pipi Nara di sampingnya.
Alhamdulillah, dalam satu kali ucap, bocah ingusan itu—begitu keluarganya sering menyebutnya—mampu melafalkan ijab kabul dengan lancar. Ketegangan yang menyelimuti ruangan pun perlahan menguap, digantikan oleh senyum dan kebahagiaan yang merekah di wajah para anggota keluarga.
Doa pun dipanjatkan oleh penghulu, menutup prosesi sakral dengan khidmat. Kini tiba waktunya Nara mencium tangan suaminya sebagai simbol penghormatan. Namun, tubuh Nara hanya duduk diam, terpaku. Wajahnya lesu, pikirannya melayang entah ke mana, hingga suara lembut sang ibu menyentaknya kembali ke dunia nyata.
“Cepat cium tangan suamimu, sayang,” bisik Nisa, tepat di telinganya.
Tersadar, Nara menoleh pelan. Ibunya mengangguk penuh pengertian, memberi isyarat bahwa ini saatnya.
Dengan langkah ragu, Nara menunduk. Tubuhnya yang mungil dan ramping bergerak perlahan mendekatkan diri pada Kiano. Tangannya menjabat tangan suaminya, lalu mencium punggung tangan itu dengan gerakan ringan namun sarat makna.
Kini giliran Kiano. Ia harus membalas dengan mencium kening istrinya. Meski masih muda, dunia asmara bukanlah hal baru baginya. Tapi hari ini, dia tak berkutik. Yang berdiri di depannya adalah kekasih kakaknya, seseorang yang dulu ia kenal bukan untuk dirinya. Dan kini, wanita itu menjadi istrinya.
Dengan keraguan yang menggelayut, Kiano mencium kening Nara sekilas saja. Namun aksi setengah hati itu memancing protes dari seorang pria yang berdiri sambil mengangkat kamera.
“Cepet banget, bro. Baru juga mau dipotret, kok udah selesai?” seru pria itu—sepupu mereka—yang juga bertugas sebagai fotografer hari itu. Ketampanannya nyaris menyaingi Kiano.
“Ulangin, ya. Pelan-pelan sampai kejepret,” tambahnya sambil tertawa, menampakkan gigi gingsulnya.
Kiano mendengus pelan, berusaha menahan rasa jengah. Jika boleh jujur, ia ingin mengeluh sepuasnya, tapi itu mustahil di hadapan banyak orang.
“Berdiri,” ucapnya kepada Nara, lebih terdengar seperti perintah.
Tanpa sadar, Nara menurut. Mungkin karena tatapan Kiano, atau karena dirinya sendiri yang masih limbung. Kini mereka berdiri saling berhadapan, hanya sejengkal jarak di antara mereka. Hidung hampir bersentuhan, napas mereka beradu. Dengan kedua tangan bertumpu di bahu Nara, Kiano perlahan menunduk dan menyentuhkan bibirnya di kening sang istri. Tak ada kata, hanya diam yang menggema dalam hati keduanya.
Cekrek—suara kamera membuyarkan segalanya. Mereka spontan menjauh, wajah memerah, jantung berdetak tak karuan.
Prosesi ijab kabul selesai sudah. Kini mereka duduk berdampingan di pelaminan, menjadi raja dan ratu sehari. Namun, tiada obrolan. Hanya keheningan yang menebal di antara mereka. Pikiran masing-masing sibuk bergulat dengan penolakan yang tak terucap.
“Seandainya kamu yang ada di sini bersamaku, melaksanakan ijab kabul seperti rencana kita dulu. Mungkin aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia ini,” batin Nara, menahan gejolak hati.
“Seandainya kamu gak kabur, Bang... Aku gak akan seperti ini. Menikah secepat ini, dengan wanita yang bukan aku cintai. Kalau kamu berani balik, aku pastikan semuanya akan kubalas,” geram Kiano dalam hati, mengepalkan tangan penuh dendam.
Waktu berlalu. Satu per satu tamu undangan memberikan ucapan selamat.
“Selamat ya, Mbak Nara dan Mas Kiano.”
“Semoga langgeng sampai nenek-kakek.”
“Semoga jadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah.”
“Semoga cepat dapat momongan.”
Namun keduanya hanya mampu membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis. Hati mereka belum siap menerima doa-doa yang indah itu, karena cinta belum sempat tumbuh, bahkan sebelum bibitnya disemai.
Setelah seluruh tamu pulang dan ruangan mulai sepi, hanya tersisa keluarga inti dan beberapa pelayan. Nara segera bangkit, meninggalkan Kiano yang masih duduk terpaku. Tanpa sepatah kata, tanpa menoleh, ia melangkah menuju kamar, tubuhnya lelah dan lengket oleh keringat serta tekanan emosi.
“Kamu kok sendirian di sini?” suara lembut menyapa, disusul bayangan seorang wanita mendekat. Nisa, sang ibu mertua, kini duduk di samping Kiano.
“Eh, tante… eh, maksud saya, mama Nisa. Kak Nara baru masuk ke dalam,” jawab Kiano gugup.
“Nah, begitu dong. Jangan panggil saya tante, panggil mama Nisa seperti Nara. Dan jangan panggil istrimu ‘kak’. Sekarang dia itu istrimu, masak suami manggil istri ‘kakak’,” ucap Nisa sambil tersenyum hangat.
Kiano menggaruk kepalanya yang tak gatal, malu sendiri. “Iya, maaf… Mama Nisa.”
“Kamu pasti capek. Istirahat aja dulu di kamar Nara, kamarnya di lantai atas. Ada namanya tertulis di pintu,” kata Nisa lembut.
Kiano hanya mengangguk pelan. Satu langkah baru saja dimulai, meski hati mereka belum berjalan bersamaan. Tapi waktu akan menjawab: apakah pernikahan ini hanya sebuah peristiwa yang dipaksakan, atau takdir yang diam-diam menyulam cinta dari luka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments