Pengantin Pengganti (Badboy Muridku)

Pengantin Pengganti (Badboy Muridku)

Bab 1

Esok adalah hari yang selama ini dinanti-nantikan oleh Kaynara Milea Wardhana, gadis yang tak hanya cantik jelita namun juga pewaris darah kebanggaan keluarga besar Wardhana. Ia adalah cucu kedua dari Putra Wardhana, seorang maestro bisnis tekstil yang namanya telah menjulang tinggi bukan hanya di bumi pertiwi, tetapi juga di berbagai negeri seberang. Perusahaan keluarga mereka ibarat kerajaan sutra yang tak tertandingi—berlapis kejayaan dan sejarah panjang.

Malam itu, denyut jantung Nara berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena rasa takut, melainkan gemuruh bahagia yang tak sanggup ditahan. Detik-detik menuju hari besar yang ia dan Vano Erlangga, lelaki yang telah bertahun-tahun menambatkan hatinya, rancang bersama dengan impian dan cinta.

Tiba-tiba suara lembut namun bersahaja menyentak lamunannya.

“Ciie… bahagianya si calon pengantin,” ujar seorang wanita paruh baya dari ambang pintu, membuat Nara tersentak dari lamunannya.

“Mama Nisa!” seru Nara begitu mengenali suara itu. Ia segera bangkit dari duduknya dan memeluk wanita itu dengan erat, seolah ingin memastikan keberadaan sosok yang sudah dianggapnya ibu sendiri. Mama Nisa bukanlah ibu kandungnya, namun kasih sayangnya telah menambal luka masa kecil Nara yang yatim piatu sejak usia tiga tahun, saat kedua orang tuanya meregang nyawa dalam kecelakaan maut di tol Cipularang.

“Sudah mau jadi istri, tapi kok masih saja manja begini,” celetuk Nisa seraya membalas pelukan Nara dengan senyum hangat.

Nara hanya membalasnya dengan tawa kecil, memperlihatkan deretan gigi putih yang tertata rapi. Wajahnya berseri, seakan dunia sedang berpihak padanya.

“Gimana rasanya, sayang? Sebentar lagi jadi pengantin, lho?” tanya Mama Nisa sambil membelai pelipis gadis itu.

“Deg-degan banget, Ma... perutku kayak ada kupu-kupu terbang,” jawab Nara lirih namun penuh antusias.

“Hahaha... ya ampun. Santai aja, semuanya akan berjalan lancar. Mama ke bawah dulu, ya. Kamu siap-siap aja,” ujar Nisa, lalu melangkah keluar dengan senyum yang terselip cemas.

Persiapan untuk acara ijab kabul besok hampir rampung. Rumah besar keluarga Wardhana telah disulap bak istana. Tenda elegan berdiri megah, bunga-bunga segar menghiasi sudut taman, dan aroma rempah dari katering mewah mulai tercium. Undangan telah dikirim, para tamu pun telah menyisihkan jadwal penting demi menghadiri peristiwa sakral ini.

***

Malam ini menjadi momen krusial—pertemuan keluarga sebagai pengganti lamaran yang tertunda karena keluarga sang calon mempelai pria baru saja kembali dari perjalanan bisnis luar negeri. Di ruang tamu yang telah dihias dengan nuansa emas dan putih gading, Nara tampak menawan dalam balutan dress maroon panjang. Brokat di bagian lengannya tampak bercahaya saat menyentuh kulitnya yang putih porselen. Riasan di wajahnya ditata sempurna, menyemburatkan keanggunan sekaligus kesederhanaan.

“Wah, cantik sekali calon pengantin kita malam ini,” puji Mama Nisa yang kembali memasuki kamar setelah memantau kesiapan tamu.

“Terima kasih, Ma,” jawab Nara tersipu.

Tapi di balik senyumnya, ada kegelisahan yang perlahan menyeruak.

“Ma... Vano sama keluarganya udah datang?” tanyanya pelan, hampir berbisik, seolah takut mendengar jawabannya sendiri.

“Belum, Sayang. Mungkin mereka terjebak macet. Weekend begini, jalanan pasti padat. Jangan terlalu dipikirkan, ya. Dia pasti datang. Kamu siap-siap dulu, ya,” jawab Nisa, mencoba menenangkan.

Setelah Mama Nisa pergi, Nara melangkah ke dekat cermin. Tatapannya menyelam ke dalam bayangan dirinya sendiri. Tangannya menggenggam ponsel, jari-jarinya gemetar saat membuka pesan-pesan yang telah ia kirimkan sejak pagi—belum satu pun dibalas. Bahkan dibaca pun tidak.

“Di mana kamu, Sayang?” batinnya mendesah dalam keheningan.

***

Sementara itu, di kediaman keluarga Erlangga, ketegangan menggantung berat di udara. Naomi, istri dari pengusaha Erlangga, tampak mondar-mandir di ruang tengah dengan wajah cemas. Darah Jepang dalam dirinya membuatnya terlatih dalam disiplin dan ketenangan, tapi malam ini—kegelisahan tak bisa disembunyikan.

“Pii... Vano di mana? Apa anak buah papi belum menemukan jejaknya?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Belum, Mii. Tapi papi sudah kirim orang ke semua tempat. Kita pasti temukan anak itu.”

Telepon genggam Erlangga tiba-tiba berdering. Suaranya menjadi dingin dan tegas.

“Halo... Ya? Sudah ditemukan? ... Belum? Apa saja yang kalian kerjakan? Saya mau anak itu ditemukan malam ini juga!” Bentakan keras mengakhiri sambungan yang tergesa.

“Anak sialan,” desisnya geram, “Kalau dia membuat malu kita di depan keluarga Wardhana... Aku sendiri yang akan mencincangnya.”

***

Waktu terus berlari. Sudah lewat 45 menit dari waktu yang dijadwalkan. Kekhawatiran berubah menjadi kecemasan mendalam. Nara kini duduk lesu di pinggir ranjang, menggenggam ponsel yang sedari tadi tak memberi tanda kehidupan. Suara operator kembali terdengar—tajam dan tak berperasaan, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi.”

Dengan frustrasi, ia melempar ponsel ke atas kasur. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia menahannya. Tidak malam ini, pikirnya. Ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan para tamu.

Di ruang depan, para tamu mulai berbisik. Suara-suara kecil berubah menjadi asumsi yang tak menyenangkan. Mama Nisa dan suaminya, Andika, berdiri gelisah di dekat pintu. Tatapan mereka tak lepas dari jalan depan rumah, berharap sebuah mobil akan datang membawa kabar baik.

“Di mana keluarga Erlangga? Sudah berapa lama ini molor?” tanya Putra Wardhana dengan nada kesal, berjalan dibantu tongkat kebesarannya.

“Saya tidak tahu, Yah. Saya hubungi mereka juga belum berhasil,” jawab Nisa.

Putra mengerutkan dahi. “Kalau mereka berani mempermainkan cucuku... akan aku hancurkan bisnisnya sampai ke akar.”

Dan saat itu juga, suara mesin mobil terdengar. Sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Tiga orang berpakaian rapi turun dari dalamnya. Erlangga beserta istri dan satu pengawal keluarga berdiri tegak di bawah lampu taman.

“Maafkan kami sudah terlambat,” ujar Erlangga dengan kepala menunduk, berjabat tangan dengan Andika.

Tapi langkah mereka terhenti ketika bertemu tatapan dingin Putra Wardhana.

“Di mana Vano?” tanyanya tajam.

“Ma... maaf, Tuan Wardhana... Vano... tidak bisa datang,” jawab Erlangga terbata, suaranya mengambang antara ketakutan dan rasa bersalah.

Putra mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?”

“Saya akan menjelaskan... setelah acara. Demi menghormati para tamu, izinkan kami menyelesaikan dulu malam ini.”

Akhirnya, acara dimulai... tanpa kehadiran calon pengantin pria. Nara tak sanggup menghadiri momen yang seharusnya menjadi titik awal kebahagiaannya. Ia mengurung diri, dan hanya air matanya yang menjadi saksi.

Acara dipercepat, sunyi, dan penuh keganjilan. Tak ada canda, tak ada prosesi. Hanya formalitas yang berjalan kaku di antara bisik-bisik keraguan.

Setelah tamu terakhir pergi, Andika menghampiri keluarga Erlangga.

“Ikut saya,” titahnya dingin.

Mereka dibawa ke lantai atas, ke ruang kerja Putra Wardhana. Ruang dengan nuansa kayu mahoni, aroma cendana, dan lukisan silsilah keluarga di dindingnya. Di sana, Nara duduk lunglai di sofa, ditemani Mama Nisa yang terus menggenggam tangannya. Putra Wardhana telah duduk di singgasananya.

Saat pintu dikunci, keheningan menegaskan: malam ini, rahasia akan terbongkar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!