Erlangga dan keluarganya duduk di atas sofa panjang yang empuk, setelah dipersilakan masuk oleh tuan rumah, Putra Wardhana. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar samar. Aroma melati dari sudut ruangan bercampur dengan ketegangan yang menyesakkan.
Wardhana menatap Erlangga dengan mata yang tajam, seolah pandangannya bisa menelanjangi kebohongan.
“Bisa kamu jelaskan alasan Vano tidak hadir malam ini, Tuan Erlangga yang terhormat?” Suaranya datar namun penuh bara.
Beberapa detik keheningan menjerat ruang, tapi begitu tak ada jawaban, Wardhana menghentakkan suara dengan bentakan, “Di mana dia sekarang?!”
Tersentak, Erlangga menjawab dengan nada panik, “Ma-maafkan kami, Tuan. Vano… tidak ada di rumah.”
Nara sontak berdiri, tubuhnya gemetar, matanya merah menahan genangan yang sedari tadi ingin tumpah. “Ma-maksud Om apa? Vano tidak di rumah? Jangan bercanda deh Om. Vano gak mungkin kabur, kan? Tante? Dia berjanji… dia berjanji padaku… ini semua sudah direncanakan. Ini hari pernikahan kami. Hari yang seharusnya bahagia…” Suaranya pecah. Air matanya jatuh, membasahi pipi yang sejak pagi telah dirias dengan harapan.
Andika, ayah Vano, ikut bicara, suaranya rendah dan terengah. “Maafkan kami, Nara. Kami pun tak tahu di mana Vano. Terakhir kami bertemu kemarin pagi… setelah itu, dia menghilang tanpa jejak.”
Erlangga mengangguk perlahan, wajahnya muram, penuh beban. “Kami sudah mencarinya sejak kemarin, bahkan hingga malam ini. Tapi nihil. Kami benar-benar tak tahu ke mana dia pergi…”
Andika menghela napas berat, pandangannya jatuh pada putrinya yang kini menangis di pelukan sang istri. “Maa…” rengek Nara lirih, seolah memohon keadilan dalam dunia yang terasa kejam malam itu.
Nisa, ibunya, merangkul bahunya erat, mencoba menjadi pelindung dalam badai. “Sabar ya, Nak,” ucapnya lembut, meski suaranya sendiri nyaris pecah karena melihat penderitaan putrinya.
Wardhana menghentakkan tongkat kayunya ke lantai. Wajahnya memerah karena emosi. “Lalu bagaimana dengan cucuku?! Apa pernikahannya harus dibatalkan begitu saja karena anakmu yang pengecut itu kabur? Cucuku akan dipermalukan! Apa kalian ingin dia menjadi bahan olokan semua orang?! Jika begini jadinya, Erlangga, aku bersumpah akan menghancurkan perusahaanmu!”
Seketika suasana menjadi sangat tegang.
Namun Erlangga berdiri perlahan, menatap ke seluruh ruangan dengan mata penuh tekad. “Sebentar, Tuan Wardhana. Pernikahan besok… tetap bisa dilaksanakan. Vano memang menghilang, tapi Kiano akan menggantikannya.”
“Aku?!” seru seorang pemuda dari pojok ruangan dengan mata terbelalak.
Semua mata kini tertuju padanya—Kiano. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak pucat dan linglung.
“Iya, kamu, Ki,” tegas Erlangga, menyandarkan tangannya di punggung kursi. “Kamu akan menikah dengan Nara besok.”
“Apa maksud Om?” sela Nara, suaranya kembali gemetar. Ia berdiri, menatap Kiano dan Erlangga bergantian dengan sorot mata penuh luka. “Aku menikah dengan Kiano? Tidak! Tidak mungkin! Aku mencintai Vano, Om! Yang aku harapkan di pelaminan adalah dia, bukan Kiano!”
Perih menjalari dadanya, sesak menyesakkan tenggorokan. Dalam pikirannya, ia ingin sekali memasukkan pria tua di hadapannya itu ke dalam kardus lalu mengirimnya ke kutub selatan, jauh dari kehidupan siapa pun. Bagaimana bisa ia memutuskan pernikahan begitu saja, seolah cinta hanyalah formalitas belaka?
“Jangan ngawur, Erlangga!” bentak Wardhana, nadanya meninggi. “Ini bukan sinetron. Ini pernikahan! Sakral! Kamu pikir mudah menikahkan seseorang tanpa cinta?! Itu seperti memaksa dua orang memakan sayur tanpa garam, hambar dan menyakitkan. Cucu saya akan tersiksa!”
Erlangga tak gentar. Ia menarik napas dalam, lalu berkata mantap, “Ini satu-satunya jalan, Tuan Wardhana. Apa Anda benar-benar ingin pernikahan cucu Anda batal? Ingin dia jadi bahan tertawaan masyarakat? Yang dipertaruhkan di sini bukan hanya nama baik, tapi juga masa depan Kaynara.”
Ia menatap semua orang satu per satu, lalu menambahkan, “Percayalah, Kiano adalah pilihan yang jauh lebih baik. Lebih dewasa, lebih bertanggung jawab. Cinta bisa tumbuh, Tuan Wardhana. Tresna jalaran saka kulina. Cinta karena terbiasa.”
“Papi, aku masih sekolah. Usiaku baru delapan belas tahun, bahkan baru dua hari lalu ulang tahunku. Dan sekarang… aku harus menggantikan Bang Vano menikahi Kak Nara? Dia lebih tua dariku. Ini gila,” protes Kiano, suaranya pelan tapi penuh penolakan.
Kiano Putra Erlangga—si bungsu. Pemuda berparas tampan, kulit seputih susu, dengan hidung mancung dan tubuh tegap atletis. Ia lebih mirip artis Korea dibanding anak konglomerat lokal. Namun dalam hal keberanian dan sikap, jelas Vano adalah tipe yang lebih keras. Kiano adalah anak yang lebih lembut, lebih logis.
Naomi, ibunya, bangkit dari tempat duduknya. Ia mendekati Kiano dan membelai pipinya lembut. “Nak… kamu mau ya bantu Nara? Kasihan dia, sayang. Kalau bukan kamu, siapa lagi?”
“Tapi, Tante… aku gak mau menikah karena belas kasihan orang lain,” potong Nara dengan suara serak. Air matanya masih menetes satu per satu.
Mama Nisa lalu mendekat, membisikkan sesuatu di telinga putrinya. “Nara, Mama mohon… ini semua demi nama baik kita. Kamu tidak mau kan, kakekmu sakit karena menahan malu?”
Dalam diam yang panjang, Nara hanya mengangguk pelan. Hatinya remuk. Tapi ia tahu, hidup bukan hanya tentang cinta. Kadang, hidup adalah tentang pengorbanan.
***
Keesokan Paginya…
Masih gelap, udara dini hari masih dingin menusuk tulang. Sebelum adzan Subuh berkumandang, Nara telah bangun. Matanya berat, namun tidurnya tak pernah benar-benar datang. Hanya gelisah semalaman, bergelut dengan pikiran dan luka.
Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajibannya sebagai Muslimah, ia duduk di depan cermin besar yang berdiri di sudut kamar. Seorang MUA paruh baya, langganan keluarga, telah sibuk merias wajahnya dengan teknik paes Jawa yang rumit.
Ia mengenakan kebaya putih yang anggun, dipadukan dengan jarik bermotif klasik dari desainer ternama. Sebuah sanggul besar dengan balutan melati menghiasi kepalanya. Ia tampak seperti pengantin keraton.
“Sudah siap,” ucap sang MUA dengan senyum bangga. Wajah sembab, hidung merah, dan mata lelah yang semalam bersemayam kini telah tertutupi riasan yang nyaris sempurna. Cantik luar biasa.
“MasyaAllah… cantiknya putri Mama,” puji Nisa dengan mata berkaca-kaca, memandangi keponakan sekaligus putri sulungnya sendiri yang kini telah siap untuk prosesi.
Nara—atau Kaynara, tampak begitu anggun. Paesan di wajahnya sangat pas, mempertegas tulang pipi dan garis halus matanya. Kulitnya yang seputih susu seakan menyala di bawah sinar lampu gantung kristal.
“Apa kamu sudah siap, Kaynara? Semua orang sudah menunggu di bawah,” tanya Nisa lembut.
Dengan ragu, Nara menjawab, “Aku siap, Ma,” suaranya nyaris tak terdengar.
Ruang prosesi sudah penuh. Para tamu duduk berderet di bangku-bangku yang ditata rapi. Saudara, kerabat, dan tetangga hadir menyaksikan pernikahan yang awalnya untuk Vano—tapi kini berubah menjadi cerita lain.
Langkah demi langkah, Kaynara dan ibunya menuruni anak tangga. Lantai rumah bergema lembut oleh derap sepatu pengantin. Semua mata tertuju padanya.
Cantik. Memesona. Tapi matanya tak bersinar.
“Jangan cemberut, Sayang… tampakkan wajah bahagiamu,” bisik Nisa lirih di telinga putrinya.
Nara mencoba tersenyum. Tapi senyum itu seperti lukisan air mata di atas wajah malaikat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments