Bab 5

Kriiing... kriiing... kriiing...

Deru nyaring dari alarm mungil di atas nakas terus berdering tanpa henti. Dentingannya mengusik kesunyian, menggema dan memantul di setiap sudut kamar yang remang, seolah mendesak dua insan yang masih terlelap dalam dunia mimpi untuk segera membuka mata.

Namun, sepasang suami istri baru itu tetap enggan beranjak dari hangatnya pelukan selimut tebal. Matahari sudah mulai menembus kelambu yang menutupi kaca jendela kamar pribadi mereka, sinarnya menari-nari di permukaan kulit, mencoba menyentuh dan membangunkan sang pemilik ruangan.

"Jam berapa ini?" gumam pelan seorang wanita muda dengan suara parau khas orang baru bangun. Ia setengah sadar, mengucek matanya, mencoba mengumpulkan kembali kesadarannya.

"Aaaaaaaa!"

Teriaknya sontak memecah keheningan. Matanya membelalak saat menyadari ada sebuah tangan yang melingkar santai di atas perutnya.

Untung saja kamar Nara telah dilengkapi peredam suara. Jika tidak, mungkin seluruh penghuni rumah akan berlarian ke kamar mereka, mengira terjadi sesuatu yang darurat.

"Kenapa sih, Kak Nara? Pagi-pagi sudah teriak-teriak kayak orang kesurupan. Ganggu tidurku aja," gumam Kiano malas, masih setengah sadar, sebelum kembali menarik selimut dan tidur dengan cuek.

Nara melotot. "Kamu bilang kenapa? Yang ada aku yang harusnya tanya, kenapa tanganmu itu lancang banget bisa-bisanya nempel di perutku?!"

Nada suara Nara meninggi. Wajahnya berkerut, tak bisa menyembunyikan kekesalan. Tapi Kiano tak bergeming. Ia hanya menggumam tak jelas dan memalingkan badan, kembali ke alam mimpinya.

Merasa diabaikan, amarah Nara memuncak. Dengan kasar ia menyibak selimut, berdiri seketika, menghentakkan kakinya ke lantai granit abu-abu yang dingin. Mulutnya tak henti mengomel, melontarkan umpatan kesal.

"Dasar cowok," gerutunya, lalu melangkah keluar kamar, meninggalkan Kiano yang kembali terlelap seperti bayi kenyang susu.

...****************...

Beberapa saat kemudian

Nara berdiri di balkon kamarnya. Tangannya bersidekap di dada, pandangannya menerawang jauh. Rumah besar dan mewah tempatnya tinggal kini tampak kembali tenang, seperti sebelum hari pernikahan. Seluruh penghuni telah kembali pada rutinitas masing-masing.

Tatapannya berhenti pada pintu pagar besi hitam nan kokoh di kejauhan. Ingatannya kembali menyeretnya ke masa lalu—sebuah potongan kenangan yang manis sekaligus menyesakkan.

Seorang pria muda berdiri gagah di balik pagar itu. Seragam klub sepak bola ternama membalut tubuhnya, senyumnya mengembang hangat ke arah seorang gadis berkuncir dua—dirinya yang dulu, masih polos dan penuh harap.

"Selamat pagi, Princess. Sudah siapkah Anda mengikuti kegiatan saya hari ini?"

Tanyanya lembut, sembari membungkuk layaknya pangeran sejati yang menawarkan tangannya.

Nara muda menggenggam tangan itu, dan mereka pun melangkah bersama, bahagia. Namun kenangan itu lenyap secepat ia datang, tergilas kenyataan. Nara kembali ke dunia nyata, tersadar dalam kesepian yang perlahan menghujam.

Senyumnya yang tadi merekah, lenyap begitu saja. Berganti duka dan getir yang sulit dijelaskan.

Setelah mandi dan berdandan rapi, Nara melangkah ke taman belakang. Di sana, sang kakek sedang duduk tenang sambil menyeruput teh tawarnya.

"Selamat pagi, Kek," sapa Nara ramah, lalu memeluk pria tua itu dengan hangat.

"Pagi juga, cucuku. Tidurmu nyenyak?" balas Wardhana sambil tersenyum.

"Alhamdulillah, Kek," jawabnya singkat.

"Kiano mana? Kamu sendiri saja?"

"Dia masih tidur, Kek," jawab Nara sambil duduk di sebelah sang kakek.

Wardhana mendengus pelan. "Dasar anak zaman sekarang," gumamnya sambil menggeleng.

Keduanya pun larut dalam obrolan ringan khas keluarga. Namun kemudian Wardhana mulai menasihati, suaranya tenang tapi sarat makna.

"Kamu jadi istri yang baik ya, Nak. Jangan pernah melawan suami, seperti Nisa yang selalu hormat pada Andika."

Nara menunduk. "Tapi Kek, pernikahan ini cuma sementara. Kiano hanya menggantikan kakaknya. Kalau Vano sudah kembali, aku akan kembali padanya."

Wardhana menatap cucunya dalam-dalam.

"Nak, kakek tidak ingin memaksamu. Tapi kamu juga tahu, perceraian memang dibolehkan, tapi sangat dibenci oleh Allah. Apa kamu tega dibenci oleh-Nya?"

Kata-kata sang kakek menusuk. Nara terdiam, menahan napas.

Tiba-tiba, suara nyaring seorang wanita memecah percakapan.

"Kamu bilang apa barusan, Nak? Memangnya ini sinetron di channel ikan terbang?" seru sang mama, muncul dari arah dapur dengan wajah serius.

"Mulai sekarang, berdamailah dengan keadaan. Lupakan pria brengsek itu dan terimalah Kiano. Sudah cukup kamu terluka."

Nara tak mampu berkata-kata. Diamnya adalah tanda tunduk—bukan karena patuh, tapi karena tak ada lagi ruang untuk membantah.

Setelah keheningan panjang, Nara bertanya pelan, "Kek, apakah tawaran bekerja di yayasan kakek masih berlaku?"

Wardhana menatap heran. "Kamu serius? Bukankah dulu kamu selalu menolak?"

"Dulu, iya. Tapi sekarang aku butuh sesuatu yang bisa mengalihkan pikiranku. Aku ingin bekerja, Kek. Aku lelah terus di rumah."

Wardhana masih ragu. "Bukankah dulu kamu bilang ingin menjadi ibu rumah tangga seutuhnya setelah menikah?"

"Itu dulu, Kek. Sekarang semuanya sudah berbeda."

Nara menunduk, tampak lesu dan rapuh.

"Tolong bantu aku, Kek. Aku butuh ini."

Melihat cucunya yang bersungguh-sungguh, Wardhana akhirnya mengangguk.

"Baiklah. Tapi kamu harus bersungguh-sungguh. Jangan main-main."

Nara langsung memeluk sang kakek erat.

"Terima kasih, Kek. Aku janji tidak akan mengecewakan."

...****************...

Setelah seluruh penghuni rumah kembali tenggelam dalam rutinitas harian mereka, suasana di dalam rumah megah itu berubah hening. Tak ada lagi suara langkah kaki yang berseliweran di lorong-lorong panjang, tak terdengar lagi percakapan atau derit pintu yang membuka dan menutup. Yang tersisa hanya dua insan muda yang kini harus menjalani kehidupan rumah tangga dalam situasi yang tak biasa: Nara dan Kiano.

Nara duduk bersandar di sofa empuk ruang keluarga, matanya fokus menatap layar televisi besar yang sedang menayangkan drama Korea favoritnya. Ekspresinya serius, seolah sedang menyelami konflik emosional para tokoh di layar kaca. Namun ketenangan itu buyar saat Kiano muncul tiba-tiba dari arah tangga, berjalan ringan dan penuh gaya khas anak muda, lalu melambaikan tangan tepat di depan wajah Nara.

“Haiii…” sapanya riang, mencoba menarik perhatian sang istri.

Nara mendesah pelan, lalu menepis tangan itu dengan wajah kesal. “Ganggu aja. Ini lagi seru, tahu!” protesnya, matanya tetap terpaku pada adegan di layar.

Kiano mengusap perutnya yang kosong sambil memonyongkan bibir. “Kak, aku lapar. Bikinin aku mie instan pakai telur, dong. Yang kuahnya banyak,” pintanya dengan nada manja, seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan.

Nara menoleh sekilas, tatapannya datar. “Mie instan? Di rumah ini nggak ada yang namanya mie instan,” jawabnya tanpa basa-basi.

Kiano melongo tak percaya. “Serius? Masak rumah sebesar ini gak nyimpen stok mie instan? Itu makanan rakyat, tahu gak?” Ia menggelengkan kepala dramatis, seolah tak habis pikir.

Nara mengangkat bahu. “Kakek gak ngebolehin kami makan mie instan. Katanya nggak sehat, banyak pengawet.”

Kiano tampak semakin merana. “Terus aku makan apa dong? Ini perut udah nyanyi-nyanyi dari tadi,” ucapnya sambil mengelus-ngelus perutnya yang kosong.

“Ya makan nasi lah. Di meja makan udah disiapin sama Bi Sari. Banyak pilihannya, kamu tinggal pilih yang kamu suka.”

Wajah Kiano langsung berubah sumringah. Matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang baru saja diberi tahu akan pergi ke taman bermain. “Banyak makanan? Wah, mantap! Tapi…” nada suaranya melambat dan ekspresinya berubah memelas, “Ambilin dong, Kak. Aku nggak enak ambil sendiri. Ini kan rumah kamu, bukan rumahku.”

Nara menatapnya lama, tak percaya dengan permintaan itu. Ia menghela napas panjang, menahan rasa jengkel yang mulai naik ke permukaan. “Ya ampun, repot banget sih punya suami ABG begini…” gumamnya lirih, nyaris seperti mengeluh pada diri sendiri.

“Ambil sendiri kenapa sih? Tuh, dapurnya ke arah sana.” Ia menunjuk ke arah dapur dengan malas, berharap Kiano mengerti maksudnya.

Namun, Kiano tetap berdiri di tempatnya dengan wajah memelas dan tangan terlipat di depan dada, menolak bergerak.

Tak ingin memperpanjang debat tak penting, akhirnya Nara berdiri dari sofa dengan enggan. Dengan langkah malas dan bahu yang sedikit turun, ia berjalan menuju dapur, meninggalkan Kiano yang langsung mengekor di belakangnya, mengikuti seperti anak bebek yang setia mengejar induknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!