“Vinda!” Ardi memanggil salah satu karyawannya.
“Iya, kak Ardi. Ada yang bisa saya bantu?” Vinda berjalan menghampiri Ardi.
Seperti itulah Ardian Rahardja. Ia memiliki gaya kepemimpinannya sendiri. Ia tidak mengijinkan Karyawannya memanggilnya dengan sebutan 'bapak', dengan alasan panggilan itu terlalu tua untuknya. Tetapi, bukan itu alasan sebenarnya.
Ardi merasa bahwa karyawan adalah aset. Oleh sebab itu, ia selalu berusaha dekat dengan para karyawan agar mereka merasa nyaman bekerja di tempat itu. Ia juga ikut mengenakan seragam seperti karyawan yang lain, meski seragam miliknya sedikit berbeda. Semua itu ia lakukan agar tidak ada jarak yang terlalu lebar antara dia dan para karyawannya.
“Apakah kamu melihat Nara? Aku mencari Nara dari pagi, kemana gadis itu?” Ardi berharap Vinda bisa memberitahukan keberadaan Nara.
“Setahu saya, Nara tidak masuk hari ini kak. Saya belum melihatnya dari pagi,” ucap Vinda memberitahu.
“Apakah dia menghubungi salah satu di antara kalian dan mengatakan alasannya tidak masuk hari ini?” Ardi bertanya lagi.
“Sepertinya tidak ada yang tahu, kak. Sebab tadi pagi Lily dan Maria juga mencari-cari Nara serta menanyakan keberadaan gadis itu kepada beberapa teman. Tidak ada yang tahu kenapa Nara tidak masuk hari ini,” imbuh Vinda menceritakan apa yang ia ketahui.
Laki-laki itu merasa tidak tenang sejak mengantarkan Nara pulang ke apartemen Rendra kemarin. Entah mengapa ia merasa sepertinya akan terjadi sesuatu kepada gadis itu. Namun, ia segera menepis perasaannya. Ardi mencoba berpikir positif.
Tidak mendapati Nara bekerja di tokonya hari ini, semakin membuat laki-laki itu tidak tenang. Apalagi tidak ada kabar yang diberikan gadis itu. Ardi sungguh penasaran dengan kondisi Nara sekarang.
“Vinda, apakah kamu punya nomor Nara?” Ardi berniat mengubungi Nara.
“Ada kak. Mari saya catatkan nomor Nara di ponsel kakak!” Vinda mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Nara. Ardi menyerahkan ponselnya dan Vinda menyimpan kontak Nara dalam ponsel Ardi.
“Terima kasih Vinda. Kamu bisa kembali bekerja,” ucap Ardi.
“Sama-sama kak. Mari!” Vinda meninggalkan ruangan Ardi.
--------------------
Hari semakin senja. Sudah lebih dari 20 jam, Nara berbaring lemah tak berdaya. Gadis itu seakan tak ingin bangun kembali. Sejak semalam hingga menjelang sore ini, gadis itu tidak pernah membuka matanya.
Beberapa kali Rendra tertidur di bangku yang ia letakkan di sisi ranjang, tempat Nara berbaring. Tidak bisa dipungkiri, bahwa laki-laki itu sangat lelah. Luka-luka di sekujur tubuh gadis itu membuat suhu tubuh Nara berubah-ubah dan memerlukan penanganan segera.
Kadang kala suhu tubuh gadis itu meningkat, tetapi beberapa kali juga suhu tubuhnya menurun, hingga kulitnya menjadi dingin saat di sentuh. Gadis itu bahkan sudah menggigil dengan hebat sebanyak dua kali. Rendra harus terjaga karena ia takut Nara tidak bisa melewati masa kritisnya.
Sejak semalam, laki-laki itu tidak bisa melakukan banyak hal untuk mengobati Nara. Laki-laki itu sedikit kesulitan meminumkan obat kepada gadis itu, karena ia masih belum sadar. Rendra sudah bertekad, jika dalam 24 jam gadis itu belum sadar, maka ia akan membawanya ke rumah sakit apapun resikonya.
Ting!! Tong!!
Terdengar suara bel pintu. Rendra segera meninggalkan Nara, dan melangkah menuju pintu.
“Mama?” Rendra terkejut melihat kedatangan ibunya.
“Mama menghubungi Nara sejak pagi, tetapi gadis itu tidak mengangkat telpon mama. Dimana dia?” Rani langsung masuk ke dalam apartemen tanpa permisi. Rani juga terheran-heran saat melihat kondisi apartemen Rendra dalam keadaan kacau balau.
“Nara, dia……” Rendra nampak ragu.
“Ada apa Rendra? Kamu tidak mengusirnya kan? Lalu kenapa mukamu babak belur begini?” Rani menyadari pasti ada sesuatu yang tidak beres. Wanita itu segera berjalan ke arah kamar Rendra.
“Tunggu ma! Nara ada di dalam. Sebaiknya mama dengarkan dulu penjelasanku sebelum mama melihatnya,” ucap Rendra berusaha mencegah Rani menemui Nara. Rendra tidak mau Rani salah paham padanya.
Rendra menceritakan semuanya kepada Rani. Rani menangis tersedu-sedu saat mendengar penjelasan Rendra. Wanita itu tidak menyangka bahwa Nara begitu menderita. Anak laki-lakinya tidak bisa menjaga istrinya dengan baik.
Rendra mengakui semuanya. Meski ia bukan pelaku dan tidak pernah merencanakan tindakan pelecehan dan pemerkosaan itu, namun secara tidak langsung, ia juga menjadi penyebab temannya berani melakukan tindakan yang tidak senonoh kepada istrinya.
“Mama ingin melihat menantu mama,” ucap Rani dengan tatapan lesu. Ia bahkan tidak memiliki tenaga untuk memarahi anaknya sekarang. Ia hanya ingin segera melihat kondisi Nara.
“Aku takut mama tidak sanggup melihat kondisinya,” ucap Rendra berusaha menahan Rani.
“Mama ingin menemui Nara,” ucap Rani kepada Rendra sekali lagi.
Rendra tidak bisa menahan ibunya lagi. Rendra membukakan pintu kamarnya dan mempersilakan ibunya masuk. Mata Rani membulat saat ia mendapati tubuh menantunya dalam kondisi lemah dan sangat mengenaskan.
Rani menangis kembali. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihat matanya. Gadis itu terlihat lebih kurus dari pertemuan terakhir mereka. Wajahnya penuh lebam, bekas luka yang belum sepenuhnya kering juga terlihat di bibirnya. Banyak tanda memar disekujur tubuh gadis itu.
“Apa laki-laki itu benar-benar sudah memperkosanya?” Rani sedikit ragu-ragu menanyakan hal itu.
“Entahlah ma! Ada kemungkinan laki-laki jahanam itu belum melakukannya, sebab saat aku datang, aku melihat Mark masih mengenakan pakaian lengkap. Sepertinya, Nara benar-benar mempertahankan dirinya mati-matian.” Rendra menatap Nara sambil memikirkan sesuatu.
“Seharusnya ia tidak perlu melawan sampai seperti itu,” imbuh Rendra kembali.
Rani mengerutkan keningnya. Ia tidak memahami maksud ucapan anak laki-lakinya itu.
“Apa maksudmu dia harus meladeni laki-laki itu?” Rani menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nara.... bukan perempuan suci, ma. A-aku mendengar informasi bahwa ia pernah tidur bersama banyak laki-laki sebelum menikah denganku. Dia pasti sudah terbiasa melakukannya, kenapa dia mengambil resiko yang justru bisa membuatnya kehilangan nyawanya,” ucap Rendra sambil menatap Nara kembali dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan.
Plaaakk!!!!
Terdengar suara tamparan yang menggema di dalam ruangan kamar. Rani baru saja menampar Rendra dengan sekuat tenaga.
“Apa kau sudah menyentuh Nara sehingga kau tahu bahwa dia memang seperti yang kau katakan?” Rani tidak bisa lagi menahan emosinya.
Rendra ingin membuka mulutnya, namun Rani langsung menyela dan tidak membiarkan Rendra berbicara.
“Kau pasti mendengar itu dari Sari. Kau masih berhubungan dengan wanita itu kan?” Rani menyipitkan matanya. Ia bisa menebak dari ekspresi Rendra bahwa semua yang ia katakan adalah benar.
“Bahkan seorang pel*cur sekalipun, tetap tidak akan membiarkan harga dirinya dilecehkan dengan begitu mudah. Mama menyesal meminta Nara bertahan. Mama tidak percaya bahwa anak yang mama didik dengan baik selama ini, tega berkata seperti itu di depan tubuh istrinya yang sedang sekarat. Mama betul-betul malu memiliki seorang anak yang tidak bisa menghargai istrinya sendiri. Mama harap kamu tidak akan menyesal, jika suatu saat gadis ini meninggalkanmu.” Rani menyentuh dadanya dan berbicara dengan penuh emosi sambil terisak.
Setelah meluapkan seluruh emosinya, Rani langsung merasakan tubuhnya melemah dan hampur terjatuh. Rendra mencoba menahan tubuh Rani, namun Rani langsung menepis tangan anaknya itu.
“Tidak perlu memperhatikan mama! Perhatikan saja istrimu ini! Semoga ia masih bisa bertahan. Mama akan pulang, tidak perlu mengantar mama. Jika sampai beberapa jam ke depan Nara belum sadar, mama akan mengirim dokter untuk mengobatinya.” Rani meninggalkan kamar Rendra.
Rendra sebenarnya ingin mengantar ibunya, namun wanita itu benar-benar tidak memperbolehkan Rendra meninggalkan Nara seorang diri di dalam kamar. Rani hendak melangkah menuju pintu, namun ia menyempatkan duduk di sofa ruang tamu sejenak untuk mencari ponselnya yang terselip di dalam tas.
Setelah menemukan ponselnya dan hendak menghubungi sopir agar bersiap di lobby, mata Rani tidak sengaja menangkap suatu benda di atas nakas. Wanita itu sangat penasaran dan ingin melihat benda apakah itu.
“Action cam?” Rani mengerutkan keningnya. Ia kemudian memasukkan benda itu ke dalam tasnya tanpa diketahui oleh siapapun dan segera meninggalkan apartemen Rendra.
---------------
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Rendra masih duduk di samping Nara. Laki-laki itu termenung memikirkan perkataan ibunya. Dia menyadari kesalahannya. Tidak sepantasnya dia berkata seperti itu saat Nara sedang sekarat, sekalipun yang ia katakan adalah benar.
“Nenek,” ucap Nara dengan lirih sambil membuka matanya perlahan-lahan. Rendra yang mendengar suara Nara, langsung menegakkan posisi duduknya, melihat gadis itu, dan menyentuh tangan Nara.
----------------------------
Selamat membaca! Terimakasih atas dukungan teman-teman selama ini. Saya berharap teman-teman tidak akan jenuh mendukung cerita ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Rinisa
next
2023-06-01
0
Winda Uwie
Mnding sama yg lain deh gedeeeeeg sma rendra laki2 macam gtuu,,, ceritanya bagus thoor
2023-01-30
1
Yudith Salawane Hehanussa
❤️
2021-02-28
0