Melihat Maya lebih memilih teman barunya, Vania kembali. Jujur hatinya tak sanggup menahan sakit. Ia pikir Maya adalah teman satu-satunya yang dirinya miliki. Veli terus menghubungi adiknya yang ternyata mengikuti Boy dan Maya hingga depan pintu masuk teater bioskop. Entah berapa kali panggilan tak terjawab masuk ke dalam notifikasi gadis itu.
“Vania! Kamu kemana aja? Gue nyariin Lo dari tadi, Ayo kita pulang! kita berangkat dua jam lagi dan kita masih terjebak di sini.” Vania mengangguk. Ia terus menatap pintu teater itu, jika saja dirinya yang ada di sana menggantikan posisi gadis itu, pasti akan lain ceritanya.
“Ayo!” Vania mengikuti langkah besar Veli untuk segera keluar dari mall itu. Setiap kali Vania ingin melupakan kejadian itu, nyatanya takdir malah sengaja mempertemukan mereka. Semakin menambah kepahitan dan kebencian dalam hati gadis cupu itu.
“Kenapa Lo nggak bilang, kalau ternyata Lo ada di sana kak? Lo ikutin Gue sampai ke sekolah itu, terus kenapa Lo bohong! Lo nggak bilang terus terang sama Mama kejadian sebenarnya? Bahkan Gue udah nggak punya muka buat datang ke sekolah lagi.” omel Vania panjang lebar.
Wajar saja jika Boy dan Ardian semakin tidak menyukainya. Siapa yang mau wajahnya ditampar dengan alasan yang tidak masuk akal. Lebih tepatnya alasan yang di buat-buat olehnya ternyata dampaknya sampai sejauh ini.
“Itu karena Lo adik Gue Van!” balas Veli singkat.
Kini Vania harus rela pindah sekolah ke Surabaya, dan memulai kehidupan baru di sana. Veli pun menyayangkan keputusan mamanya. Membuatnya dirinya harus terpisah dari adik satu-satunya. Veli bertekad, akan membuat adiknya menjadi gadis yang paling disukai banyak pria. Dan menutup mulut mereka yang telah menghina adiknya habis-habisan.
“Tenang aja Van, Gue akan bantu Lo!”
...
Anne, Vania dan Veli kini berada dalam kabin pesawat yang menuju ke Surabaya. Nenek Vania sangat senang, mendapati cucunya akan menetap di sana. Anne, sudah mengurus kepindahan sekolah putri bungsunya.
Selama ini Vania adalah siswa berprestasi. Hanya karena menyukai lawan jenis, dirinya berubah menjadi orang lain yang tak mampu Anne kenali lagi. Meskipun nilai pelajarannya tidak ada yang turun, tetapi perilaku Vania tak bisa di tolerir oleh Anne.
“Vania, kamu baik-baik di sini! Lupakan bocah nggak tahu diri itu, Lupakan semua kejadian buruk yang menimpa kamu!” Anne begitu keras menasehati Vania akhir-akhir ini.
Vania dan Veli terdiam, keputusan Anne mutlak tak bisa di bantah. Memiliki dua anak gadis dalam masa peralihan remaja membuat Anne memijit pelipisnya dan memasuki kamarnya. Setelah suara mamanya tak terdengar lagi, Veli berniat mengajak Vania untuk berkeliling di Kota Pahlawan itu.
“Kalian mau kemana? Baru sampai sudah mau keluar?” Seorang wanita lansia yang masih nampak bugar meski usianya lebih dari setengah abad.
“Mau ke Pakuwon Nek, refreshing sebentar sekalian mencari kebutuhan sekolah Vania nanti. Iya kan Van?” senggol Veli kepada adiknya yang terus diam saja.
“Iya, Boleh kan Nek? Lusa Kak Veli dan Mama akan kembali ke Jakarta.”
Rumi, Nenek Vania masuk ke dalam kamar tanpa sepatah katapun. Membuat kedua gadis remaja itu bertatapan. Veli merangkul adiknya dan mengatakan jika semua akan baik-baik saja. meskipun canggung pada awalnya, lama kelamaan akan terbiasa setelah beradaptasi di tempat yang baru.
“Kak, Vania takut nggak betah disini.” Vania hampir menangis. Namun saat melihat neneknya kembali keluar dan menghampiri mereka, keduanya mengalihkan pandangan.
“Ini ... Buat jajan kalian! Ingat, jangan pulang terlambat ya! Nenek masih kangen sama kalian.” Rumi menyerahkan lima lembar uang kertas berwarna merah. Senyum Vania langsung merekah mendapati uang itu ditangannya.
“Terima kasih Nek! Janji akan pulang on-time.” Vania mengecup pipi neneknya, membuat Veli membatin.
‘Gilak Vania, secepat itu hatinya berubah! Wah, nggak beres bocah ini!’ Veli menggelengkan kepalanya. Ia berpikir mungkinkah adiknya memiliki dua karkater yang berbeda. Kadang Ia sedih berlarut, kadang senyum-senyum tak jelas. Membuat Veli penasaran dan berniat untuk mencari tahu lebih lanjut nanti. Kini keduanya pun pergi setelah mendapat ijin dari Rumi.
Sebuah taksi online mengantarkan perjalanan mereka mengitari Kota Surabaya. Hati Vania menjadi terhibur meskipun hanya sedikit. Ia masih terngiang bagaimana Ardian tersenyum kepadanya. Padahal itu hanyalah khayalan semata Vania. kenyataannya Ardian tak pernah menatap gadis cupu itu. Sampai saat Veli menyadarkan lamunannya.
Vania yang jarang sekali menghabiskan waktunya di luar rumah merasa takjub, melihat hiruk pikuk kota besar selain Jakarta. para gadis yang fashionable membuat Vania mulai tertarik untuk melakukan hal yang sama. Veli mengetahui, jika ada keinginan yang besar dari adiknya untuk berubah, untuk itu sebagai kakak yang baik Veli akan membantunya.
“Ayo Van! Kita ke salon dulu! udah lama nggak creambath, habis itu kita nonton, ada film horor baru yang sedang tayang.”
Vania yang hanya bisa menurut, saat hair stylist sudah siap merubah penampilannya yang benar-benar membosankan. Berulang kali hair styler itu tertawa melihat tingkah Vania. Keduanya mencari dandanan yan pas untuk gadis 16 tahun itu.
“Ampun kakak, Ini ciyus kakak setiap hari penampilannya seperti ini, adudu... eyke ya udah gemes..mes.. mes... ingin acak-acak rambut nya!” pria kemayu itu membuat Vania tertawa. Kulitnya putih bersih, tampang Oke tapi melehoy membuat Vania yang ingin mengagumi mendadak berubah pikiran. Ia semakin teringat dengan pesona tampan idola sekolah itu saat bertanding basket, siapa lagi jika bukan Ardian.
“Oke ya, kita pilih yang ini!” tunjuk pria kemayu itu kepada Veli. Setelah keduanya sepakat Vania siap untuk di eksekusi.
...
Jreengg...!!
Backsound menyeramkan nyaring terdengar di ruangan besar nan gelap gulita. Begitu mengejutkan para penonton yang ada di dalamnya. Tak terkecuali pasangan Ardian dan Dista juga Boy dan Maya. Mereka duduk dalam baris yang terpisah.
Saat film diputar, Ardian tak menikmati filmnya. Ia Justru asik mengamati gadis ayu di sebelahnya yang tengah ketakutan. Mimik wajahnya menggemaskan memberi hiburan tersendiri, Lalu Ia beralih menatap Boy yang duduk di depannya bersama Maya.
“Aaaa....!!” terdengar jerit penonton yang lain, mengagetkan Boy yang latah.
“Buset, mulutnya kayak toa kelurahan.” oceh Boy. Maya yang nampak mungil saat duduk di sebelah Boy terlihat manis, saat berada dalam ruangan gelap. Namun gadis itu tak banyak bicara karena menikmati film yang mendebarkan itu.
Tiba-tiba ponsel Ardian berdering. Ia lupa mematikan dering ponselnya sebelumnya. Sebuah nomor asing tanpa nama. Ardian tak pernah menyimpan nomor gadis lain selain Ibu dan juga kekasihnya. bahkan teman sekelasnya pun hanya diberi nama berupa nomor absen mereka di kelas.
Merasa terganggu, karena nomor asing tersebut terus menghubunginya, Ardian meminta ijin kepada Dista untuk mengangkatnya. Ternyata berasal dari salah satu gadis yang dulu pernah menjadi kliennya. Si Klien melihat Ardian berada dalam satu gedung teater yang sama dengan dirinya.
“Sayang, Aku angkat telepon dulu ya! sepertinya penting.” Pamit Ardian.
“Jangan lama-lama ya Yang! filmnya seram soalnya.” Pria itu tersenyum sambil mengacak rambutnya.
“Iya, janji nggak lama!”
Setelah keluar dari ruangan gelap, suara di seberang telepon terdengar semakin jelas. Dari arah belakang tampak gadis berpakaian kasual menghampiri Ardian. Pria itu cukup terkejut, mendapati dirinya yang nyaris di peluk seseorang.
“Ardian! sumpah Gue nggak sangka bisa ketemu sama Lo di sini! Gila makin ganteng aja Lo!” reaksi gadis itu seperti melihat idola kesukaannya. Histeris dan hasrat ingin memeluk susah untuk dikendalikan.
Ardian menatap dingin gadis itu dan menanyakan keperluannya. Ardian tak menyukai gadis yang terang-terangan menggodanya seperti ini. meskipun masih muda, nyatanya Ardian adalah seorang pria profesional, yang bisa menjalankan tugasnya tanpa memakai hati.
“Ada apa? Kenapa terus menghubungi Gue?”
“Kenapa akun Gue di blok? Gue kan mau pakai jasa Lo lagi!”
Gadis itu ingin meraih lengan Ardian, namun pria itu menghindar. Ardian merasa telah meninggalkan Dista cukup lama di dalam, takut gadis itu menunggunya.
“Sorry, Gue lagi sama pacar gue! Kalau nggak ada yang - ....”
“Gue ada acara reuni sekolah, Gue hubungi Lo nggak bisa. Lewat aplikasi Lo abaikan dan terpaksa Gue telepon Lo dengan cara seperti ini. Kebetulan Gue melihat Lo masuk ke sini, jadi ya ... sekalian aja Gue bilang sama Lo!”
“Gue nggak bisa!” Ardian menolak dan hendak beranjak pergi. Namun gadis itu menghadangnya dan membuat kesepakatan dengan pria itu. Persyaratan Ardian masih sama tak ada physical touch di antara mereka, juga dilarang menggunakan perasaan. Padahal Ardian sendiri telah melanggar peraturannya sampai Ia menjalin hubungan dengan Dista. Beruntungnya perasaan itu pun berbalas.
“Cuma tiga jam, delapan ratus gimana?” tawar Gadis itu. sejumlah uang yang cukup menggiurkan untuk seorang pelajar sepertinya. Ardian yang terus melangkah mendengar tawaran gadis itu. Namun tak berbalik, Ia menunggu gadis itu melakukan penawaran lagi. Melihat Ardian berhenti namun tetap diam saja, gadis itu menambah biaya berkencannya.
“Tiga jam satu juta, bagaimana? Astaga Ardian Lo benar-benar memeras Gue ya!” lirih gadis itu.
“Gue nggak pernah memaksa, Kalau belum ada kesepakatan ya nggak akan pernah Gue ladenin, Jadi...?” Ardian memastikan.
Gadis itu memejamkan mata. Bisa-bisanya Ia menghabiskan uang yang di tabungnya cukup lama hanya untuk berkencan dengan pria tampan ini. Gadis itu masih menimbang-nimbang membuat Ardian membuang banyak waktunya di sana.
“Gue pergi!!”
“Deal!!”
Gadis itu spontan membuat kesepakatan dan berjabat tangan dengan pria itu. Lusa Ardian akan menjadi pacar gadis itu selama tiga jam dalam acara reuni sekolahnya.
“Gue ingatkan sekali lagi, tak ada physical touch. Kalau Lo melanggar salah satunya, Gue akan tinggalkan Lo saat itu juga.” Ardian mengingatkan gadis itu.
“O-Oke! Gue akan transfer separuhnya, sisanya selesai acara. Alamatnya gue kirim melalui chat nanti!”
“Oke!”
Ardian memasuki gedung itu. Ia melihat kekasihnya yang tengah cemberut karena menunggu dirinya. Ternyata cukup lama Ardian meninggalkan gadis itu. Setelah Ardian kembali duduk, tak berselang lama film yang mereka tonton telah selesai di putar dan Dista tak mengatakan sepatah kata pun.
“Sayang, Maaf ya lama!” Ardian meraih tangan gadis itu, Namun Dista menepisnya.
“Yang...!”
‘Gawat, baru ditinggal sebentar aja udah marah begini cewek gue, Gimana lusa?’ gumam Ardian mengusap wajahnya.
“Ayo Bro! Lo mau ngapain masih di sana?” ajak Boy, ketika semua penonton telah berjalan menuju pintu keluar. Dista dan Maya sudah lebih dulu meninggalkan kedua pria itu.
Ting!
M-banking
[Berhasil, Rp xxx telah masuk ke dalam rekening anda]
‘Yah! Mana udah di tranfser lagi, Kacau!’
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments