“Wah siapa ya pagi-pagi sudah bertamu,” ucap Imas sembari membuka warungnya. Ia melihat sosok gadis berseragam sekolah.
“Cari siapa Neng?” Imas menanyai gadis seusia putranya.
“Bu Imas, Saya diminta Mama untuk mengantar uang pesanan kemarin yang belum dibayar. Apakah yang kemarin mengantar pesanan itu anak Ibu? Maaf kalau lancang.” Lirih gadis itu yang tak lain adalah Vania. Sambil memilin roknya menunggu jawaban.
“Oh, Neng anaknya Bu Anne. Iya kemarin anak saya yang mengantar, Neng kenal sama Ardian?”
Wajah Vania mendadak merona, saat ditanya demikian. Seakan sedang melakukan pendekatan dengan orang tua bocah tengil itu.
“Nggak Bu, hanya saja sering ketemu saja.” sambil menyerahkan uangnya Vania pun pamit untuk segera berangkat ke sekolah. Namun, belum jauh kakinya melangkah gadis itu berbalik badan dan menanyai Ibu kandung Ardian. Entah mendapat keberanian dari mana Vania hingga berbuat demikian.
“Bu, Apa anaknya sudah punya pacar? Ehm maksud Vania, teman dekat yang spesial?” setelah mengatakan hal tersebut Vania menahan nafas. Dalam hati ia berharap bisa menarik kembali setiap ucapannya yang telah terlontar. Melihat Imas hanya terdiam, Vania semakin takut untuk melangkah pergi.
“Ehm, setahu Ibu ketiga anak Ibu belum memikirkan hal seperti itu, masih jauh Neng! Apalagi Ardian yang baru kelas X, Abangnya saja yang sudah kelas XII masih fokus belajar. Maklum, anak orang nggak punya harus belajar dan bekerja lebih giat,” imbuh Imas, dan mendapat anggukan dari Vania.
‘berarti kemarin bukan pacar Ardian dong, syukur deh!’ batin gadis dengan behel itu. setelah mengetahui hal penting tersebut, Vania melenggang ke sekolah dengan hati riang.
“Kalau begitu Vania pamit dulu Bu, Mama juga mengucapkan terima kasih.” Gadis itu membungkukkan sedikit badannya dan Imas pun tersenyum.
“Neng,” panggil Imas.
Vania yang seperti mendapat kesempatan untuk dapat ngobrol lebih banyak dengan Ibu Ardian merasa senang, dan menyembunyikan senyumnya yang tak dapat ia tahan.
“Iya Bu Imas, ada apa?”
Imas menahan tawa, namun jika tak disampaikan, kasihan melihat gadis cantik itu.
“Neng mau kemana? Kok pakai seragam sekolah?”
Terdengar suara obrolan cukup lama, kedua anak Imas pun keluar karena penasaran. Siapa tamu yang berkunjung pagi-pagi di Hari Minggu. Gavin dan Ardian berdebat di depan pintu. Imas yang melihatnya pun tertawa.
Vania bingung menjawabnya, tentu saja berangkat ke sekolah memangnya mau kemana lagi.
“Vania mau berangkat ke sekolah Bu.” Jawaban gadis itu membuat Gavin dan Ardian tertawa, begitu juga dengan Imas yang segera menghentikan tawa kedua putranya.
“Sekolah di Hari Minggu?” ketus Ardian.
Kini tatapan Vania tertuju kepada cowok tampan yang hanya mengenakan bokser dan kaos rumahan. Dengan rambut yang berantakan khas bangun tidur, menambah pesona ketampanannya. Satu lagi bocah tinggi dengan kulit bersih dan mulus, bahkan wajahnya lebih cantik dari pada dirinya jika Vania menilai.
Vania malu, ia menepuk jidatnya. Padahal semalam ia berencana untuk menenangkan diri di rumah. Malah ia meminta uang kepada Mamanya untuk sengaja dia antarkan langsung ke rumah Cowok tampan itu.
‘Astaga, otak gue rusak kali ya, kena guyur air hujan semalaman.’ Vania sudah tak dapat menyembunyikan wajahnya, juga tak dapat menjawab pertanyaan dari Ardian.
“Hehe... hehe... Maaf Bu, Vania permisi.” dan gadis itu pun berlari meninggalkan rumah Ardian, sosok siswa populer yang menjadi idamannya. Sepertinya kali ini Vania harus benar-benar bersembunyi dalam goa, untuk menyelamatkan harga dirinya. Sudah berulang kali Ardian memergoki dirinya dalam keadaan kacau. Vania takut jika Ardian berpikiran macam-macam tentangnya.
“Sepertinya pindah rumah adalah hal bagus, haha...” hibur Vania.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Vania mengingat kembali kejadian tak menyenangkan setelah kegagalan lomba kemarin. Di sekolah gadis itu kembali menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya. Akibat tidak bisa membawa nama harum untuk sekolah, Vania diminta untuk mengerjakan piket kelas selama sebulan penuh.
Beruntungnya, Vania memiliki keberanian untuk melawan mereka satu persatu. Maya, teman se-penderitaan pun berani mendukung gadis cupu itu.
“Gila Lo Van, dapat ilmu kebal dari mana Lo sampai berani nantangin mereka semua?” Maya membetulkan kacamatanya yang melorot dari hidungnya.
“Hah! Lo tahu May, gue muak sama sekolah kita ini. Gue menang lomba atau kalah sekalipun, mereka semua nggak akan pernah berhenti nyakitin perasaan gue! Jadi buat apa gue harus capek-capek mikir demi sekolahan juga anak-anak yang lain yang nggak ada feedback buat kita, ya nggak?”
Daarrr!!
Suara penghapus yang dilemparkan ke papan tulis, mengejutkan kedua siswi cupu bin culun itu. Suara langkah sepatu pantofel mendekat ke arah keduanya. Vania dan Maya saling pandang, ternyata arahnya dari belakang punggung mereka.
Glek!
“Mampus, jangan menoleh Van, jangan!” pinta Maya. Gadis yang duduk di sebelah bangku Vania menundukkan pandangan, dan tiba-tiba...
“Aduh..duh... sakit..sakit..” teriak Vania. Rupanya yang melempar penghapus tadi adalah wali kelasnya yang secara kebetulan lewat. Mendengar penuturan Vania, rasanya kurang pantas jika seorang siswa berpendidikan mengatakan kalimat itu, dan akibat perbuatannya dirinya mendapat sanksi dari wali kelasnya.
“Vania, kamu tahu kesalahan kamu?” Vania masih belum menyadari kesalahannya hingga wali kelasnya menjelaskan semuanya. Gadis itu pun tertunduk malu.
“Mulai hari ini sampai seminggu ke depan kamu harus mengerjakan piket kelas, juga mengumpulkan tugas-tugas siswa kepada Ibu, mengerti! Ini pelajaran buat kamu,” omel wali kelasnya. Maya pun tak kalah terkejut, jika Vania gadis paling cerdas di kelasnya mendapat hukuman dengan cara seperti itu.
“May, anak-anak satu kelas jangan sampai tahu ya! bisa tengsin gue!”
“Siip!” Maya menunjukan jempolnya kepada temannya itu.
Slap!
Vania pun tersadar kembali setelah mengingat kejadian demi kejadian itu setibanya memasuki halaman rumahnya.
“Ternyata gue itu nggak pintar-pintar amat, gara-gara satu kejadian otak gue jadi korslet permanen kayaknya, semakin illfeel lah si Ardian sama gue, hwaaa... mama...” rengek Vania.
Pukul 18.30 Ardian sudah nampak keren dan wangi, Gavin lah yang sering dibuat takjub oleh pesona Abang keduanya. Kadang Gavin mengikuti apa yang Ardian lakukan, seperti bersolek misalnya, Mengenakan pomade, deodoran juga cara menyisir rambut yang kekinian. Gen keluarga Ardian adalah bibit unggul, ketiga bersaudara itu memiliki wajah yang nyaris sempurna, hidung mancung dan bibir berwarna pink alami.
“Bang, Lo udah ganteng banget mau kemana?” tanya Gavin sambil memindai penampilan Ardian dari atas ke bawah.
“Ada deh, Abang ada urusan penting. Nanti kalau ditanya Abang Vicky, Ayah atau Ibu bilang aja Bang Ardian lagi belajar kelompok, Oke!” sambil merogoh saku celananya, selembar uang berwarna biru kini sudah berpindah tangan.
“Thanks Abang ganteng, hehe...”
Selama perjalanan Ardian menyiapkan diri. Semakin dekat jarak yang ia tempuh dengan rumah Dista, semakin berdebarlah jantungnya. Ia tak bisa membayangkan akan duduk dalam satu jok motor berdua, berdekatan dengan gadis itu.
“Hah...”
Hembusan nafas gugup dari Ardian saat tiba di halaman luas rumah Dista. Ternyata sosok yang yang dinanti benar-benar tepat waktu.
“Hai Di, kamu baru sampai, Ayo masuk! aku buatkan minum dulu ya,” ucap Dista. Ardian yang terpesona melihat Dista, yang begitu manis dan elegan membuat pria tampan itu semakin terpana.
“Boleh,” jawab Ardian singkat, yang sejurus kemudian duduk di teras menunggu Dista kembali. Mereka berdua tampak serasi dalam balutan pakaian formal dan manis. setelah meneguk minuman yang Dista suguhkan, Ardian memuji gadis itu.
“Kamu sebenarnya nyata nggak sih Dis?”
Gadis 167 senti dengan dress berpotongan A dengan bahu terbuka. Menampilkan bahu indah milik gadis itu. dress yang berwarna senada dengan kemeja formal yang dikenakan Ardian, membuat mereka berdua tertawa.
“Hah, kamu pikir aku hantu? Kamu lucu deh. Oh iya Di, baju kita kok bisa samaan sih warnanya?” senyuman dista membuat Ardian berdesir. Ingin rasanya segera menjadikan gadis itu miliknya.
“Mungkin kita berjodoh Dis, hehe...”
“Ah kamu bisa aja, yuk berangkat. Sudah di tunggu sama Anggi.”ajak gadis itu.
Mereka berdua berangkat dengan mengendarai motor. Tanpa diminta Dista pun memeluk pinggang Ardian erat. Namun sebelumnya, Ardian melepas jaketnya untuk menutup tubuh gadis itu. Padahal Dista ada mobil di rumah, namun ia ingin menikmati suasana Kota Jakarta malam hari dengan kekasihnya, meski statusnya hanya pura-pura.
“Di, nggak apa-apa kan kalau aku hanya pegangan saja?”
“Dengan senang hati, kalau bisa yang erat ya! aku takut kamu diambil pria lain Dis!” canda Ardian. Keduanya menikmati perjalanan itu dengan sangat manis. Sama seperti yang Ardian ucapkan sebelumnya, mereka berdua layaknya sepasang kekasih sungguhan. Dari tatapan dan senyuman keduanya menyiratkan arti lain yang tersembunyi.
Hingga sesuatu yang tak diharapkan terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments