Elnara menuruni anak tangga, ia tampak sangat cantik mengenakan kemeja lengan panjang. Sebuah buku besar berada dalam pelukannya. Tas punggung menggayut di pundak. Ia terbiasa memakai tas punggung saat ke kampus, jarang menggunakan tas selempang.
Ia menuju ke ruangan makan untuk meraih susu yang tadi sudah dia sediakan. Namun susu di meja yang tadi dia taruh itu sudah tidak ada. Dia tadi sengaja membuat susu panas, lalu meninggalkannya supaya dapat menyeduhnya saat sudah berubah menjadi hangat.
Selesai mandi, ia menjemput susunya, tapi hilang. Hari ini adalah hari pertama ia kembali ke rumah setelah menjalani liburan yang dipenuhi dengan suka duka. Banyak dukanya karena ada Cindy yang terus- terusan mengganggu.
Sudah ada Emir yang duduk di sana menyantap sarapan. Cindy juga mengisi meja makan. Yona tengah membuat minuman hangat.
“Ma, lihat segelas susu cokelat milikku di sini tadi?” tanya Elnara menunjuk meja.
“Tidak, Nak. Mama tidak melihat susu.” Yona menjawab dengan senyum lebar.
Mustahil pula segelas susu itu lenyap tanpa bekas. Saat Elnara melangkah maju, barulah ia melihat gelas bekas susu cokelat yang ternyata sudah habis. Gelas kosong bekas susu cokelat berada tepat di dekat lengan Cindy yang tengah makan roti bakar. Bocah itu terus mengunyah tanpa peduli dengan elnara yang sejak tadi kehilangan susu.
Oh rupanya bocah itu yang menghabiskan susu. Tak heran, memang begitu tingkahnya. Cindy tahu kalau Elnara sering membuat susu saat pagi hari, dan dia sengaja menghabiskannya. Padahal menurut informasi dari Yona, Cindy itu kurang menyukai susu. Makanya Elnara tidak pernah membuatkan Cindy susu. Elnara hanya membuat susu untuk dirinya sendiri serta minuman hangat untuk sang suami. Sedangkan Yona jarang minum begituan. Dia hanya akan minum saat ingin saja.
Seperti pagi ini, Yona tampak membuat teh hangat. “Ya sudah, sekalian mama buatin susunya ya buatmu.” Yona membuatkan susu hangat untuk Elnara, membuat Elnara jadi merasa terhormat.
“Ini diminum. Kalau kemanisan atau kurang manis, kamu bisa atur. Okey?” Yona menyuguhkan ke meja.
“Makasih, Ma.” Elnara meneguknya. Rasanya pas. Ia duduk di sisi suaminya.
“Yun, kamu lihat susunya ELnara nggak? Atau jangan- jangan kamu yang minum ya?” tanya Yona pada asisten rumah tangga yang tengah mengangkut piring bersih yang baru saja dia cuci menuju rak piring. Senyum Yona mengembang saat menanyakan itu.
Yuni tertawa kecil. “Ibu ada- ada saja. saya mah mana berani minum kalau tidak disuruh. Lah itu kan susunya Mbak El diminum sama Non Cindy! Tuh gelas bekasnya masih ada.” Yuni menunjuk gelas di sisi Cindy, jelas masih tampak bekas susu cokelat di gelas itu.
“Duuuh… Oma ribet banget sih, Cuma susu doang pun diributin?” ketus Cindy.
“Loh, bukannya kamu kurang suka sama susu ya?” Yona tersenyum.
“Udah ah, kan susunya udah bikin yang baru. Trus kenapa masih diributin? Kamu lain kali kalau bikin minuman tuh jangan untuk sendri doang. Bikin untuk aku juga.” Cindy menatap Elnara sinis. Kemudian ia menghambur pergi.
“Duuuh… dari dulu Cindy memang tidak berubah.” Yona mengedikkan pundak.
“Memangnya Cindy sukanya minum apa? Besok biar aku buatkan minuman kesukaan dia,” ungkap Elnara.
“Tidak perlu,” sergah Emir.
Elnara sontak menoleh ke arah suaminya. “Kenapa?”
“Dia sudah besar. Dia tidak perlu dilayani seperti ratu. Nanti ngelunjak. Biar dia bikin sendiri minuman untuknya.
Elnara tersenyum. Ada kemajuan. Ia mendapat pembelaan sekarang.
“Hei, kamu cantik pagi ini!” Emir menatap Elnara yang tengah tersenyum simpul.
Sontak senyum Elnara pun lenyap, berganti dengan rona merah semu di pipi halusnya. Semenjak kejadian di vila waktu itu, elnara entah kenapa merasakan ada perubahan dalam dirinya. Bahkan ia tersipu saat dipuji oleh Emir.
Yona melirik Elnara dengan senyum.
“Aku pergi ke kampus dulu.” Elnara berpamitan. Ia tak mau terlalu lama di sana karena itu hanya akan membuatnya merasa tersipu. Dan ia sudah mendapati Hamish berdiri di depan rumah, tepat di samping mobil inventarisnya. Ia lalu membukakan pintu bagian belakang sambil berkata, “Silakan!”
Elnara geleng- geleng kepala. Lagi- lagi ia diantar oleh Hamish berangkat ke kampus.
“Apakah Emir menyuruhmu mengantar jemput aku?” tanya Elnara saat mobil sudah melaju di jalan raya.
“Ya. Saya tidak mungkin berani bertindak tanpa perintah Pak Emir.”
Elnara tersenyum kecil sambil memegangi bandul kalung yang dibelikan oleh Emir.
Sesampainya di kampus, Elnara langsung memasuki gedung. Ia disambut oleh Afsa yang sudah menunggu di koridor. Kembarannya itu nyender di dinding dnegan kedua tangan terlipat di dada.
“El!”
Elnara menoleh, menghentikan langkah menghadap Afsa. “Bagaimana kabar ibu? Baik?”
“No no. jangan bicara hal lain dulu. Aku sedang ingin bertanya, kamu diantar oleh suruhan Emir lagi ke kampus, hm?”
“Ya. Kamu tadi mungkin melihatnya.”
“Dan kamu suka?”
Elnara hanya menghela napas.
“Dan ini apa?” Afsa menatap fokus ke dada Elnara yang menggantung sebuah kalung berkilau. Ia menyentuh bandul kalung tersebut. “Ini pemberian Emir?”
“Ya.”
“Oh… Pantas saja kamu tidak mau membalaskan dendam ayah, rupanya sudah mendapat sogokan begini.” Afsa menatap sinis.
“Afsa, aku nggak perlu mengulang kalimatku, bahwa aku pun berperang melawan kebencianku pada Emir. Tapi kan kamu sendiri yang menginginkan aku menikah dengannya, otomatis aku harus patuh pada suami.”
“Halah, alasan! Kamu senang sekali mendapat uang tutup mulut darinya supaya dia bebas dari tuntutan. Kalau kamu mengaku sayang sama ayah dan ingin pembunuh ayah dihancurkan, maka kamu harus tunjukkan bahwa kamu tidak mau menerima suapan dari si pembunuh itu.”
“Emir bukan pembunuh. Semua itu musibah.”
“Hebat kamu ya, mulai membela pembunuh itu!”
“Kamu nggak pernah bisa mengerti, Afsa. Ini soal moral, nurani dan kepatuhan.”
“Kalau kamu beranggapan bahwa pemberian Emir bukanlah sogokan, maka berikan kalung itu padaku. Aku mau pinjam. Apakah kamu bersedia melepaskan kalung itu untukku? Aku hanya meminjamnya, bukan meminta. Aku tidak bisa memakai kalung mahal seperti itu akrena tidak ada yang membelikan aku kalung mahal. Inilah saatnya aku bisa meraskaan bagaimana rasanya memakai kalung mahal.”
“Nggak masalah. Pakailah.” Elnara melepas kalung itu tanpa beban.
“Setelah ngampus, pulanglah ke rumah! temuilah ibu.” Afsa berlalu pergi membawa kalung itu.
Elnara berpikir sebentar. Apakah benar ibunya ingin bertemu? Elnara menelepon Linol.
“Bu, apakah ibu menyuruhku pulang?” tanya Elnara.
“Ya. Ibu berpesan pada Afsa untuk menyuruhmu pulang. Dia sudah sampaikan padamu?”
“Ya. Baiklah, selesai kelas, aku akan pulang.” Elnara berjalan menuju kelasnya.
Elnara tidak tahu sesuatu hal buruk yang sedang direncanakan oleh Afsa.
Elnara bahkan tidak tahu kalau Afsa pulang sebelum kelas usai. Afsa buru- buru pulang ke rumah, ia menukar pakaian yang serupa seperti yang dikenakan oleh Elnara, juga menukar tas supaya sama seperti yang dikenakan Elnara.
Selama ini, barang- barang milik Afsa dan Elnara semuanya sama, tidak ada satu pun barang yang berbeda dari keduanya, baik itu gelang, anting, lipstick, lemari dan apa pun itu, semuanya sama. Maka tidak sulit bagi Afsa menyamar menjadi Elnara. Afsa kemudian mendatangi rumah Emir untuk melancarkan aksinya balas dendam dan menghancurkan Emir. Kali ini tujuannya lebih ekstrim, ia tak mau bila Elnara berbahagia bersama dengan pembunuh itu. Pun ia tak mau bila Elnara malah menjadi ratu dan diperkaya oleh Emir. Kehidupan Elnara yang kemudian akan terlihat wah, itu membuat Afsa merasa dijajah.
Wellcome, Emir!
Afsa melangkah memasuki rumah megah itu dengan seringaian kecil.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Rustan Sarny Apul Sinaga
kasih tanda buat emir dong, biar bisa bedain elnara dan afsa thor, gedeg aku sama afsa
2023-07-27
0
sari
dasar
2023-02-26
0
⏤͟͟͞͞RL𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
smoga ketahuan,smoga emir bisa bedain
2023-02-22
0