Elnara sedang membuat ramuan di dapur, ramuan sesuai yang dicatat oleh Emir di kertas. Itulah minuman yang rutin diminum oleh Emir setiap hari.
Enak sekali pria jahat itu menyuruhnya menjadi babu, memperlakukan istri seperti pembantu, aku dijadikan istri hanya untuk merawat dirinya yang cacat. Padahal jelas- jelas dia adalah orang yang merugikan kehidupan ayahku, bahkan dengan kejam membuat surat pernyataan damai tanpa sepengetahuanku.
Elnara meracik bahan minuman dengan gerakan kasar. Sesekali menyentak barang apa saja yang dia letakkan ke meja. Sesekali pula mengusap air mata dengan lengan tangan.
Batinnya gondok sekali. Rasanya ia ingin membantah perintah Emir, namun tak kuasa. Dia paham bagaimana harus bersikap pada suami.
“Halo El! Sedang membuat minuman untuk Emir ya?”
Suara itu bersumber dari arah belakang.
Elnara menoleh sesaat setelah mengusap wajahnya dengan cepat supaya air matanya tidak kepergok.
Elnara mengangguk menatap wanita yang usianya sudah lima puluh Sembilan tahun namun wajahnya masih seperti usia empat puluh tahunan. Tampilannya sungguh fashionable, modern.
Ada wanita lain di sisi wanita itu yang tak kalah fashionable.
“El, aku adalah Yona, ibu mertuamu.” Wanita itu berkata dengan ramah.
“Oh. Aku kurang suka mengenali keluarga Emir,” sahut Elnara berusaha memberanikan diri untuk menunjukkan sikap tak senang. Siapa tahu Emir akan langsung menalaknya begitu ia menunjukkan sikap buruk.
“Aku suka gayamu!” Tak seperti yang diharapkan, Yona justru tersenyum dan menyentil lengan Elnara.
“Jeng, itu menantumu dari keturunan apa? Bapaknya pengusaha apa? Atau berasal dari pejabat ya?” tanya temannya Yona yang berhasil membuat Elnara mendelik. Keluarga Ghazanfar pasti tahu bahwa keluarga Elnara adalah keluarga yang baru saja bangkrut dan bahkan ia berada di rumah itu juga karena untuk menebus hutang.
Satu hal yang membuat Elnara tak habis pikir bahwa ia dijadikan taruhan oleh ibunya. Jika Elnara berhasil menjalani rumah tangga itu, maka imbalan yang Linol dapatkan adalah kebebasan dari tuntutan. Sedangkan jika Elnara malah kabur dari pernikahan itu, tentu Linol akan menanggung akibatnya.
“Ah, tidak masalah dari mana asal usul menantuku, yang penting dia baik.” Yona memperlihatkan senyum kepada Elnara. “Mama mau ke depan dulu. Kamu bebas di rumah ini. Semuanya milikmu. Selamat bersenang- senang! Ayo Jeng kita ke depan.”
Wanita itu berlalu pergi bersama dengan temannya.
Elnara meletakkan gelas berisi racikan minumannya ke nampan. Bersiap membawanya kepada Emir.
Baru selangkah ia meninggalkan dapur, langkahnya itu terhenti ketika berpapasan dengan seorang gadis remaja yang usianya kisaran tiga belas tahun. Setinggi dada Elnara. Rambutnya diikat satu di ubun- ubun, mengenakan seragam SMP. Jam segini ia baru pulang karena mengikuti kegiatan les.
Semasam- masamnya muka cemberut yang tampil di wajah Elnara, ternyata lebih masam lagi muka yang ditampilkan oleh gadis kecil itu.
“Oh… kau yang bernama Elnara? Mama baruku ya?” ketus gadis itu.
Rupanya dia adalah anaknya Emir. Dan anaknya itu sudah sebesar ini? Artinya Elnara memiliki anak tiri sebesar itu? Judes lagi.
“Aku nggak sudi punya mama baru. Jangan harap kau bisa mendapatkan papaku! Huh!” Gadis itu mengangkat dagu dengan angkuh. Lalu dengan gesit menyambar gelas di nampan dengan sekali ayunan tangannya.
Prang!
Gelas jatuh ke lantai. Pecah.
Ya ampuuun… minuman racikan yang susah payah sudah dibikin oleh Elnara pun tumpah begitu saja. Elnara menatap tajam pada gadis itu.
“Hei, kamu!” Belum selesai Elnara bicara, gadis kecil itu sudah berlari pergi.
Tak lama kemudian Yona muncul.
“Ada apa, El?” Yona menatap pecahan gelas beserta ramuan yang juga tumpah ke lantai berwarna kekuningan.
“Minuman yang aku racik tumpah,” jawab Elnara dingin.
“Ya sudah. Kamu istirahat saja ke kamar gih. Tidak apa- apa. Biar mama membuat yang baru.”
Elnara sebenarnya ingin menunjukkan sikap jutek, tapi keramahan mama mertua membuatnya tak ingin durhaka. Ia pun berlalu pergi tanpa harus menunjukkan sikap tak menyenangkan.
Malam ini Elnara tidak tahu harus tidur dimana, sejak tadi ia tidak sudi memasuki kamar yang katanya adalah kamar pengantin, tentu kamar untuknya dan untuk Emir.
Setelah beberapa menit ia menghabiskan waktu di samping rumah hanya untuk menghirup udara segar, angin malam yang dingin menusuk kulit membuatnya beranjak masuk.
Kini Elnara berdiri tegak di depan pintu kamar, tangannya menjulur memegang knop, namun kembali dia tarik tangannya mundur.
Di dalam mungkin sudah ada Emir. Apa jadinya saat ia harus bertemu pria yang merasa tanpa dosa itu lagi? Rasanya Elnara ingin menggulai pria itu.
Bingung, akhirnya Elnara malah mondar- mandir di depan kamar Emir.
"Halo, El. Hayooo…masih gugup kan untuk malam pertama?" Yona datang dengan segala sikap ramah tamah dan keceriaannya yang tak luntur. Senyumnya lebar sekali.
Elnara diam mematung. Masih enggan untuk membalas senyum. Keluarga Ghazanfar rasanya seperti membawa petaka baginya hingga ia merasa kesal.
"Jangan grogi. Rileks saja ya. Bawa santai, anggap saja kamu mau masuk wc, bukan mau masuk kamar," sambung Yona masih dengan senyum lebar. "Kalau Emir nakal, kamu bisa cubit ketiaknya. Wajarlah gugup, pengantin baru memang begitu."
Elnara tidak menanggapi.
"Nah, ini minuman racikan untuk Emir." Yona menyodorkan gelas berisi air hangat kuku berwarna kekuningan.
Elnara menerimanya.
"Emir itu orangnya memang agak kaku dan dingin, tapi lama lama dia pasti bakalan santai kok. Aslinya Emir itu asik. Ya sudah, kamu masuk sana." Yona masih berdiri di situ.
Melihat Yona yang tak kunjung pergi, terpaksa Elnara memasuki kamar.
Emir sudah ada di kamar itu, duduk di kursi roda, menatap kedatangan Elnara dengan sorot matanya yang gelap.
Elnara meletakkan minuman itu ke meja dengan ekspresi yang kaku dan dingin. "Ini untukmu," ucap Elnara tanpa menatap Emir.
"Berikan padaku!" Emir menyorongkan telapak tangannya.
Elnara kembali mengangkat gelas itu dan menyodorkannya kepada Emir.
Pria itu meneguk sampai habis. "Lain kali berikan minuman itu sebelum jam delapan."
"Sebenarnya sebelum jam delapan minumannya sudah selesai dibuat, tapi gelasnya dipecahkan oleh anakmu."
"Cindy?" Emir menyebut nama putri semata wayangnya.
Elnara tidak menjawab. Tak peduli siapa nama bocah menyebalkan yang galak itu.
"Dan kamu membuat minuman itu lagi?" tanya Emir.
"Enggak. Mama yang membuatnya lagi."
"Bisakah kamu menatapku saat bicara denganku?"
Elnara diam. Masih menunduk. Batinnya sedang menahan rasa yang berkecamuk, pria itu adalah pelaku yang telah melenyapkan ayahnya. Dan sekarang seakan tanpa dosa malah menindas hidupnya. Bagaimana Elnara tidak merasa jauh lebih marah?
"Aku bicara denganmu, kamu masih bisa mendengar kan?" sambung Emir.
Elnara akhirnya mengangkat wajah, bersitatap dengan mata gelap Emir.
"Apakah masih pantas kamu melihat tatapan mataku? Orang yang sudah melenyapkan ayahku dan bahkan mengelabui aku supaya aku bisa menandatangi surat damai." Gigi Elnara menggemeletuk. "Selain ibuku memiliki hutang padamu, apakah ini alasanmu memaksa aku menjadi istrimu? Dengan aku menjadi istrimu, maka kamu merasa bisa menjadi pengganti ayah yang menafkahi aku? Kamu juga merasa bahwa kasus akan selesai dengan aku menjadi istrimu, begitu?"
"Kurasa kau tumbuh di keluarga yang paham dengan ilmu agama. Dan pastinya tahu bahwa sejak ruh dihembuskan ke rahim, maka di sana Tuhan sudah menentukan garis jodoh, rejeki dan maut. Lalu kenapa masih mengumpat pada ketetapan itu?"
"Kematian ayah memang sudah takdir. Tapi perilakumu yang mengelabui aku itu tidak benar."
"Apa pun yang akan kamu lakukan tidak akan mengembalikan ayahmu ke pelukanmu." Emir mendengus. "Siapkan air hangat untukku!"
Tanpa membantah, Elnara bergegas ke kamar mandi untuk menyiapkan keperluan Emir.
Malam itu, Elnara lelah sekali karena mendapat tugas yang tak putus dari Emir. Mulai dari mencuci kaki Emir dengan air hangat, mengelapi tubuh pria itu, membantu buang air, menggantikan pakaian, juga membantu pria itu naik ke kasur untuk tidur.
Tepat ketika membantu buang air, Elnara harus memalingkan wajah supaya tidak melihat benda yang bisa saja membuatnya menjerit hebat.
Kini Emir sudah berbaring di kasur dan diselimuti.
"Pijiti kakiku!" titah Emir.
Elnara terpaksa menaiki kasur, memijiti kaki Emir meski dengan perasaan jengkel. Entah sudah berapa jam Elnara memijiti kaki pria itu hingga tanpa sadar ia tertidur di sisi Emir.
***
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
acih aja
no coment...nikmati alur nya aja 😁
2023-09-06
0
sari
walaupun kamu terpaksa,tapi kamu patuh pada suamimu El
aku salut padamu
2023-02-26
1
⏤͟͟͞͞RL𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
pak duda tohh🤭🤭🤭😅😅
2023-02-21
0