Ini adalah malam yang tenang bagi Elnara. Ia sekarang tengah berada di sebuah vila, sebuah vila yang menawarkan kesan eksotik dengan pemandangan di sekitarnya.
Kenapa dianggap sebagai malam tenang? Sebab ia sudah tidak lagi sekamar dengan Cindy. Bocah itu tidur di kamar lain.
Sudah dua hari mereka menghabiskan waktu di vila itu, pemandangan di sekitarnya sejuk sekali, hampir seluruhnya mempersembahkan tampilan warna hijau. Indah.
Saat pagi, udara terasa dingin, bahkan sampai menjelang tengah hari, udara tetap terasa sejuk hingga kopi panas yang disuguhkan pun hanya butuh beberapa menit saja untuk menjadi dingin.
"Aku mengantuk." Cindy bangkit berdiri.
Elnara, Emir dan Cindy tengah makan malam ditemani lampu- lampu lilin dan hiasan meja yang indah.
Semenjak mendapat teguran dari Emir, Cindy memang tidak berani bersikap kasar lagi pada Elnara, tapi ia tetap sewot dan ketus setiap kali berbicara dengan Elnara. Belum lagi tatapannya yang sinis, menambah paket lengkap kejudesannya.
"Berkemaslah, besok kita akan pulang. Kamu tidak bisa terlalu lama libur dari sekolah," tegas Emir pada Cindy.
"Ya." Cindy kemudian melangkah pergi.
"Mau tambah nasi?" tanya Elnara.
Emir menggeleng. Ia menyudahi makan dengan meneguk jus.
"Apakah Cindy masih bersikap buruk padamu?" tanya Emir sambil mengambil kurk dan bangkit berdiri dibantu oleh benda itu.
"Kalau dia masih bersikap buruk padaku, apakah kamu peduli?" Elnara pura- pura tidak tahu mengenai pembelaan Emir tempo hari.
"Kamu belum menjawabku dan sudah mencoba untuk menanyaiku."
Elnara tertawa kecil. "Cindy memang nggak mencari ulah padaku, tapi dia kan dasarnya memang sewot begitu. Jadi ya tetap saja culas dan sewot setiap kali berurusan denganku. Hanya saja, belakangan ini kelihatan lebih menjaga sikap dari sebelumnya. Biasanya kan dia terus- terusan memulai untuk mencari masalah, tapi sekarang enggak lagi." Elnara mengikuti Emir melangkah menuju kamar. Ruangan cukup luas hingga Emir memerlukan tenaga ekstra untuk menempuh setiap kamar.
Elnara membukakan pintu kamar untuk Emir lalu kembali menutupnya.
"Elnara!" Suara Emir berteriak keras.
"Loh? Kok Emir masih di luar?" Elnara kaget saat menoleh ke belakang, ia tidak mendapati Emir. Dan suara Emir masih di luar. Ia membuka pintu dan nyengir lebar. Tersadar sudah menutup pintu sebelum sempat suaminya masuk. Alhasil ia membuka dan menutup pintu untuk dirinya sendiri, padahal sudah niat membukakan pintu untuk Emir.
"Lain kali lihat dulu sebelum menutup pintu! Kamu hampir saja menghantam hidungku dengan pintu," ucap Emir sambil melangkah masuk.
"Maaf." Elnara meraih lengan Emir, membantu pria itu untuk duduk di samping kasur.
Namun sebelum sempat tubuh gagah itu terduduk dengan sempurna, kaki elnara malah tersangkut kurk dan…
Bruk!
Elnara terjatuh di posisi Pewe, menimpa badan Emir yang terpaksa harus terbaring atas dorongan dada Elnara.
Seperti ada api yang membuat suasana menjadi panas dalam hitungan detik. Embusan napas keduanya saling menyapu, mereka bertukar pandang di jarak sangat dekat. Emir adalah pria normal, sama seperti selayaknya lelaki yang memiliki keinginan.
Entah kenapa Elnara pun malah hanya terdiam, memaku di tempat. Seperti ada benda tak kasat mata mengekang tubuhnya hingga ia masih memaku ketika Emir mendekatkan wajah.
Tuhan… Ini adalah pertama kalinya bagi Elnara merasakan hangatnya asmara dalam ikatan halal. Emir adalah suaminya, halal bagi sang suami menciumnya.
Malam itu, Emir berusaha mendapatkan Elnara dengan melakukan segala upaya layaknya kegiatan sepasang halal, namun Elnara benar- benar kelihatan tegang sekali.
Elnara tak tahu alasan apa yang membuatnya sedemikian kikuk, rikuh, kaku dan gugup. Apakah karena dia belum ingin disentuh karena tidak mencintai Emir, ataukah karena ini adalah pengalaman pertamanya?
Meski hatinya bergejolak oleh keinginan untuk menolak, namun fisiknya tak bisa menunjukkan penolakan karena ia paham bagaimana hukum bagi wanita yang menolak suami.
Dengan mata terpejam, Elnara memohon dalam hati, meminta Tuhan memberikan keajaiban apa saja. Entah tiba- tiba ada badai local yang mengangkat kamar mereka dan memindahkannya ke tepi sungai, atau munculnya sundel bolong yang menembus dinding, atau apa saja yang bisa menggagalkan keadaan itu.
Disaat Elnara memohon dengan rapalan dan harapan konyolnya itu berharap kegiatan malam itu gagal, sesuatu pun terjadi.
Bar bar bar…
Gedoran pintu terdengar sangat kuat dari luar.
“Papaaa!”
Itu Cindy.
Yes. Akhirnya doa Elnara pun terkabul.
“Aku buka pintunya.” Elnara merapikan bajunya. Meninggalkan Emir dengan kulit wajah memanas, memerah semu. Elnara malu sekali. Dari ekor matanya, dia menangkap pandangan Emir yang terus mengikutinya.
“Papaa!” seru Cindy lagi.
“Sebentar!” Elnara menjawab sambil mengancing baju dan merapikan rambut dengan usapan telapak tangan. Ia lalu membuka pintu.
Ekspresi Cindy langsung berubah cemberut begitu tahu Elnara yang membuka pintu. Ia mendengus dan ngeloyor masuk. “Pa, aku takut tidur sendirian. Aku mau di sini juga.”
Nah, bocah itu minta tidur bersama- sama lagi. Elnara heran.
“Oke. Tidurlah di sini.” Emir mengambil kurk dan bangkit berdiri setelah melihat Cindy berbaring di kasur, bersiap hendak menyelimuti tubuhnya.
“Papa mau kemana?”
“Pergi.”
“Pergi kemana?”
Emir melangkah menuju pintu.
“Kenapa aku ditinggal? Aku sendirian lagi dong.”
Emir tidak menjawab.
“Aku ikut pa!” rengek Cindy.
“Sudah. Diamlah di situ. Tidurlah. Besok kita akan pulang dan aku tidak mau kamu punya banyak alasan untuk kau bisa bangun kesiangan.”
Cindy tak berkutik, berbaring cantik di kasur.
Elnara mengikuti Emir keluar meski ia tidak tahu suaminya mau kemana, setidaknya ia memang harus mendampingi kemana pun Meir pergi mengingat suaminya masih dalam keadaan dalam pengawasan.
Sepanjang berjalan di belakang Emir, pikiran elnara terus melayang pada kejadian beberapa menit tadi. Ah, yang tadi itu sangat dekat sekali. Bahkan hampir saja semuanya terjadi.
“Kamu kenapa?”
Elnara mengangkat wajah dan menatap Emir yang menoleh ke arahnya. “Kenapa apanya?”
“Mukamu merah begitu seperti kepiting rebus.”
“Ah, masa?” Elnara memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan wajah memanas itu dari Emir. Bayangan itu membuatnya jadi malu melulu.
“Kita ke luar sebentar.”
Elnara mengangguk. Tak mau banyak tanya. Hatinya sedang kalang kabut gara- gara dipergoki dalam keadaan muka merah semu. Padahal Emir juga tidak tahu apa yang menyebabkan muka Elnara jadi memerah begitu, tapi kok ya malu sendiri jadinya?
Mereka memasuki toko perhiasan setelah menempuh perjalanan menggunakan mobil sekitar lima belas menit dari vila.
“Ini untukmu!” Emir memilihkan sebuah kalung.
Elnara terkesiap. “Itu kan mahal sekali.”
“Pakailah!” Emir langsung memasang ke leher Elnara tanpa kompromi.
Hati Elnara berbunga- bunga. Menatap kalung yang melingkat di lehernya melalui pantulan kaca di depan, ia tersenyum senang.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
sari
di pake El...biar ada bedanya kamu dan afsa
2023-02-26
0
⏤͟͟͞͞RL𝖎𝖓𝖆 𝕯𝖆𝖓𝖎𝖊𝖑🧢
cindy🙄🙄🙄🙄🙄🙄🙄
2023-02-22
0
renita gunawan
waah..el.ternyata. doamu dikabulkan mb'emma.akhirnya emir gagal bermesraan denganmu,gara-gara cindy yang tiba-tiba datang kekamar kalian dan ingin tidur bersama kalian.duh,emir so sweet banget.tapi kalung itu pasti nanti akan membuat cindy dan afsa iri saat melihat dan mengetahui bahwa emir yang telah membelikan kalung itu untuk el
2023-02-11
1