"Ah, shitt! Kenapa jadi dia?!" Barra mengumpat, tidak jauh dari tempat kecelakaan. Orang suruhannya salah target, yang seharusnya mobil orang tua Nayla menjadi mobil Abimayu.
Mobil orang tua Nayla yang memang jarang dimiliki itu karena harganya yang fantastis, membuat bawahan Barra dan Maya terkecoh. Ia mengira mobil yang dinaiki oleh Abimayu adalah mobil orang tua tersangka yang harus mereka celakai. Lagi pula waktu dan tempat sesuai dengan instruksi Barra sang atasan. Dan tanpa berpikir panjang, dan melihat plat mobilnya mereka menabrak mobil Abimayu. Kecelakaan hebat pun terjadi di sana.
"Kau mau ke mana Maya?" Barra melihat Maya yang siap pergi, mereka memang datang bersama-sama untuk menyaksikan keberhasilan rencana jahatnya, tapi ini malah sebaliknya.
"Aku akan menyusul Abimayu ke rumah sakit." Beritahunya dan ia pun hilang di balik taksi. Barra tak mencegah, karena itu mangsa kedua mereka. Maya memang harus mencari muka pada pria kaku nan kesepian itu.
Maya turun dari taksi lalu masuk ke rumah sakit tempat Abimayu ditangani, ia segera menuju bagian resepsionis menanyakan dimana Abimayu dirawat.
Petugas resepsionis mengatakan kalau pasien bernama Abimayu Bhaskara masih di ruang ICU dan ditangani oleh dokter. Tanpa membuang waktu Maya menuju ke sana.
Langkah Maya yang tergesa-gesa diintai oleh dua orang, mereka adalah Nayla dan Elis. Keduanya datang hanya ingin mengetahui informasi tentang Abimayu Bhaskara, tapi tahunya malah melihat Maya.
Tindakan tergesa-gesa yang terlihat dari Maya membuat Nayla yakin kalau Abimayu adalah kekasihnya, dan benar dugaannya kalau Maya mengkhianati Barra. Tapi kenapa saat itu Barra bertingkah biasa saja saat ia memberitahu pengkhianatan mereka? Masih menjadi pertanyaan di benak Nayla.
"Bagaimana Nona, apa masih mau melihat laki-laki itu?"
"Tidak usah, ayo kita pergi." Nayla melambaikan tangan, dengan senyum penuh maksud. Ya, setidaknya Nayla tahu Maya mengkhianati Barra demi laki-laki itu.
Maya masih setia menunggu di depan ruang ICU, sudah terhitung tiga puluh menit dari ia datang. Tadi ia juga sudah sempat mengabari keluarga Abimayu.
"Kak Maya." Seorang perempuan masih mengenakan seragam SMA berlari menghampiri Maya dengan air mata berderai. Maya menoleh mendapatkan adik perempuan Abimayu, Ayu Dyah Bhaskara.
"Ayu." Maya bangkit menyambut anak perempuan itu.
"K-kak, bagaimana kakak ku? Apa dia baik-baik saja? Kenapa bisa kecelakaan?" Ayu menangis meraup-raup, dunianya seakan runtuh mendengar kecelakaan kakaknya.
"Yu, tenanglah." Maya mendekap gadis itu. "Kakak mu akan baik-baik saja," ucap Maya bertepatan dengan pintu ruang ICU yang terbuka. Mereka serentak menoleh. Ayu duluan berhambur menanyai dokter itu, Maya mengikutinya detik kemudian.
"Dok, bagaimana keadaan kakak saya?" Ayu mengusap kedua air matanya, berusaha mendengar penjelasan dokter dengan baik.
"Pasien telah melewati masa kritisnya, tetapi—" suara dokter tercekat, berita buruk selalu sulit untuk disampaikan.
"Tapi apa, Dok?" tanya Ayu memburu.
"Tetapi kecelakaan itu menyebabkan cedera pada kaki pasien, sepertinya kakinya terimpit di sela kursi mobil." Mata Ayu membola, air matanya kembali mengalir. Sedangkan Maya, ekspresinya perempuan itu tidak bisa ditebak.
"Pasien telah kami tangani, dan cedera hanya sementara jika pasien mau berobat dan melakukan terapi secara rutin." Penjelasan dokter memberi sedikit ketenangan pada Ayu, ia dan Maya saling mengangguk.
Dokter menyampaikan beberapa hal lagi, dan mengatakan Abimayu akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Mereka juga diminta untuk mengurus administrasi. Maya dan Ayu kembali mengangguk, dokter pun pergi dari sana menyisakan beberapa perawat yang masih berada di ruang ICU.
"Kak, terima kasih sudah mau menemani kak Abi."
"Tidak usah berterima kasih, itu sudah tugas ku." Maya menoleh dan mengusap kepala Ayu. Ayu berusaha menampiknya senyum, bersyukurlah kakaknya memiliki kekasih seperti kak Maya yang baik dan perhatian.
Maya berhenti, ponselnya bergetar tanda ada panggilan. Ayu ikut berhenti. Sedikit Maya mengintip, dan tertera My Honey di sana. Dengan gelagapan ia mematikan panggilan itu.
"Kenapa, Kak?" Anak itu bertanya polos tanpa menaruh curiga. "Kalau ada yang penting, Kakak pergi aja. Sudah ada aku yang menemani kak Abi."
"Tidak apa-apa?"
"Ya, pergilah."
Maya sedikit berpikir, lalu ia pun memutuskan keputusannya. Lagi pula ia sudah dari tadi menunggui Abimayu.
"Benar tidak apa-apa?"
Ayu mengangguk mantap.
"Baiklah, kalau begitu kakak pergi dulu. Kamu jangan lupa menghubungi kedua orang tuamu."
Mendengar kata orang tua membuat Ayu menunduk sesaat, lalu tersadar karena usapan lembut dari kepalannya. Iya pun menjawabnya, "Heem."
"Bye." Maya melambaikan tangan, dibalas Ayu dengan hal serupa.
Setelah tubuh Maya hilang dari lorong, Ayu kembali menunduk dengan wajah sendu. Ia melihat layar ponselnya, sudah puluhan panggilan ia lakukan, dan puluhan pesan terkirim. Namun belum juga ada balasan dari kedua orang tuanya. Dengan langkah gontai, ia kembali menuju ruang administrasi.
*****
Maya melangkah cepat keluar dari rumah sakit, di sana ia melihat seseorang yang sangat dikenali tengah menampilkan senyum terbaiknya.
"Sayang." Panggilnya mesra membuka pintu mobil, Maya malah menatapnya sinis.
"Kenapa kau menjemput ku di sini, kalau adik Abimayu lihat bagaimana." Maya cepat masuk ke dalam mobil.
"Tidak akan." Orang itu yang adalah Barra, membantu Maya memakai seatbelt nya.
"Kau tahu, rencana kita tidak sempurna gagal." Maya mengernyit, tidak mengerti.
"Ya, kau akan lebih mudah mengurus pria itu. Aku malah merasa kita mendapatkan jackpot, kekayaan perempuan bodoh itu tidak ada apa-apa nya dibandingkan Abimayu." Barra tertawa mengerikan, disambut tawa Maya yang baru mengerti akan maksud Barra. Mereka berdua seolah sudah di atas angin, siap meraup harta orang lain dengan cara mudah.
Sedangkan di tempat lain, Nayla menatap tidak percaya pada benda pipih nya.
"Yak! Mereka keterlaluan sekali. Apa lagi Sulastri, dia meninggalkan kekasihnya yang beru saja kecelakaan." Nayla kembali geleng-geleng kepala, tidak percaya. Elis? Wanita itu tetap setia menemani nona nya, diam walaupun bukan dalam keheningan. Karena mereka sekarang berada di warteg, tempat sejuta umat. Nayla memutuskan makan di sana karena makanannya memang enak dan cocok di lidahnya, ketimbang memasuki restoran mewah walaupun ia sangat mampu.
"Makanlah Elis, jangan diam seperti itu. Dan kondisikan wajahmu, orang-orang menatapmu takut." Elis mengangkat bahu, tidak peduli. Nayla menghela napas pasrah, sepertinya ia memang harus menyewa guru privat untuk melatih Elis senyum.
"Oh ya, Lis. Hotel kemarin yang kamu bilang, mereka sering mengunjunginya."
Elis mengangguk, "Iya, Nona."
Nayla tersenyum penuh maksud, "Bagus, dengan begitu rencana kita akan berjalan lancar." Elis mengangguk lagi.
"Kamu suka kejutan Barra Munandra, maka tunggulah kejutan dari ku!" senyum smirk tercipta di bibir Nayla.
Elis tetap diam walaupun bukan dalam keheningan, wajahnya senantiasa datar mengamati sekitar. Sedikit tidaknya ia mulai melihat perbedaan sikap nona nya, tapi tidak masalah, ia lebih menyukai sikapnya yang seperti ini. Senyum polos nan lugu perlahan berganti menjadi senyum smirk. Lagi-lagi Elis suka itu.
"Makanlah Elis." Instruksi Nayla kedua kalinya, barulah Elis mengambil sendok mulai makan dalam diam di tengah keramaian.
*****
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Hasan
jd pengen liat jodohnya elis dah🤣🤣
2023-04-29
3
ria aja
kdisn abimayu juga sih
2023-04-17
1
Nazra Rufqa
Abimayunya kasihan.
2023-02-15
1