Satu hari sebelum pernikahan.
“Nona, tuan Barra dan nona Maya mengunjungi hotel itu lagi.” Beritahu Elis, ia baru saja mendapatkan informasi dari bawahannya dan langsung memberitahu Nayla.
“Ah, bagus-bagus.” Nayla mengangguk dengan wajah semringah. Kini ia tengah merawat kuku jarinya.
“Apa Anda tidak cemburu dengan tuan Barra dan nona Maya?” tanya Elis hati-hati, pasalnya nona nya ini santai sekali. Jika perempuan lain, pasti sudah melabrak mereka, mengamuk sejadi-jadinya, saling jambak, adu jotos, padahal baru pacar loh, lah ini? Calon suami, menikah besok, nona nya malah terlihat senang mendengar berita tersebut.
Nayla tidak langsung menjawab, “Oh ya Lis, jangan panggil lagi batu bara dengan tuan Barra, Sulastri alias Maya dengan nona Maya. Mereka tidak pantas, mereka itu lebih baik dari kamu tahu, lebih tinggi derajatnya dari kamu.” Jelas Nayla kini mulai mewarnai kuku nya.
Elis tersenyum tipis mendengar istilah nama mereka, namun tak terlihat karena ditutupi oleh wajah datarnya.
“Eh, sebenarnya kita semua sama ya... tidak ada yang lebih tinggi atau sebaliknya, lebih rendah. Semua kan sama di mata Sang Kuasa. Hanya amal perbuatan aja yang membedakan.” Nayla terlihat bijak, Elis manggut-manggut. “Jadi kamu panggil aku juga pake nama aja, kita kan sama. Risi juga aku dipanggil nona.” Imbuh Nayla, Elis kali ini tidak mengangguk, bukan karena tidak setuju, tapi ia merasa segan hanya memanggil nama saja.
“Oh ya, kenapa pembahasannya jadi melebar gini ya? Padahal tadi bahas masalah cemburuan.” Nayla terdiam lagi.
“Jadi?” sebelah alis Elis terangkat.
“Kamu lihat aku cemburu nggak?” Elis menggeleng. “Nah, itu kamu tahu jawabannya.” Jawab Nayla sekenanya.
Elis mendesah pasrah, sepertinya Nayla tidak berniat memberi jawaban.
Nayla terkekeh melihat kepasrahan Elis, ia menjadi tidak tega. Dan memutuskan untuk menjawab agar Elis bisa tidur nyenyak nanti malam, ‘kan nggak lucu kalau Elis begadang hanya untuk mencari jawaban itu. Lalu, esoknya mata panda di hari pernikahannya. Oh my God. Sungguh tidak bisa dibayangkan.
“Baiklah Lis, sepertinya kau sungguh penasaran dengan jawaban ku.” Elis menjadi bersemangat mendengar jawabannya.
“Dulu aku memang bodoh, terlalu mencintai batu bara sampai menutupi mata kaki, eh mata hati maksudnya dan terlalu memercayai Sulastri sebagai sahabat setiap, sahabat selamatnya. Dan sekarang aku sudah mendapatkan ‘ilham', dan tersadar dari kebodohan itu. Menyimpan satu ruang hati, jika sewaktu-waktu aku dikhianati makan tidak akan terlalu sakit.”
“Rumit,” gumam Elis, Nayla menepuk jidatnya.
“Bahasa sederhananya, aku tidak terlalu memercayai mereka lagi 100 persen. Tetapi hanya 90 persen, 10 persen nya ku siapkan untuk dikhianati agar tidak terlalu sakit kemudian....” Elis manggut-manggut, sedikit mengerti.
“Dan 10 persen itu kita gunakan untuk melakukan sesuatu yang bisa kita lakukan, menjalani hidup dengan baik untuk saat ini dan masa depan.” Elis mengangguk, akan mengingat dengan baik nasehat nona nya.
“Oh ya, semua persiapan sudah matang ‘kan?”
“Sudah, Nona. Anda tinggal melihat hasilnya besok.” Untuk kedua kalinya, Elis melihat senyum smirk di bibir Nayla. Ia jadi ikut tersenyum, walaupun tak mengerti rencana akhir nona nya. Yang intinya ia lebih suka melihat Nayla yang seperti ini ketimbang dulu yang terlalu polos, lugu, pasrah, dan mudah dimanfaatkan.
*****
Di ruang rawat inap Abimayu, kini laki-laki itu tengah disuapin oleh adiknya, Ayu Dyah Bhaskara. Di ruangan itu hanya ada mereka berdua dalam keheningan.
“Sebenarnya kakak bisa sendiri, kamu tidak perlu bolos sekolah seperti ini.” Suara lirih Abimayu, menatap adiknya.
“Aku tidak bisa membiarkan kakak sendiri, bolos sehari dua hari tidak apa-apa, lagi pula aku bisa meminjam catatan teman.” Respon Ayu, menyuapi kakaknya dengan telaten. Abimayu mengusap kepala adiknya dengan sayang, lalu ruangan itu kembali hening lagi.
“Aku sudah menelpon mama dan papa, memberitahu keadaan kakak.” Ayu memecah keheningan dengan suara lirih, tenggorokannya seolah tercekat mengatakan itu.
Abimayu memejamkan mata, kedua orang tuannya terlalu sibuk mengurus urusan mereka masing-masing di negara orang. Mamanya sibuk dengan group sosialitanya, sedangkan papa mereka sibuk dengan pekerjaan cabang perusahaan mereka yang dibangun di sana. Mereka sangat sibuk, pulang satu kali sebulan, bahkan tidak sama sekali. Abimayu dan Ayu saling mengasihi satu sama lain, saling menjaga, saling memberikan perhatian di tengah ketiadaan perhatian dari kedua orang tuanya.
“Seharusnya kemarin sudah datang, tapi katanya ada pekerjaan mendesak. Jadi tidak jadi datang, tidak tahu juga kapan datangnya.” Suara Ayu semakin lirih, bahkan hampir tak terdengar.
Abimayu menghela napas panjang, ia sudah menduga hal tersebut. Makanya tidak terlalu berharap pada kedua orang tuanya. Ada dan tidak adanya mereka berdua sama saja menurutnya. Tapi tetap saja, secercah harapan itu muncul. Harapan mendapatkan perhatian dari keduanya.
“Ku kira dengan kejadian ini bisa menggerakkan hati mereka.” Harapan Abimayu patah berkeping-keping, ia melihat kakinya yang masih diperban. Sedangkan Ayu, gadis itu menunduk.
“Oh ya, kamu melihat Maya?” Abimayu mengalihkan pembicaraan, ia tidak ingin Ayu terlalu memikirkan kedua orang tuanya yang tidak jadi pulang.
“Empat hari yang lalu kak Maya menemani kakak sampai aku datang, kemarin dia juga datang, tapi kakak sedang tidur. Dia tidak ingin mengganggu kakak yang sedang istirahat, lalu memutuskan untuk kembali ke tempat kerja. Dan sekarang aku tidak lihat lagi.” Jelas Ayu, Abimanyu pun mengangguk mengerti.
Maya Sulastri, perempuan yang ditanyakan keberadaannya itu tengah bergandengan tangan bersama Barra memasuki hotel yang biasa mereka kunjungi, lalu melakukan check-in.
Dan tanpa mereka sadari ada seseorang yang selalu mengikutinya, orang itu memakai baju santai, dilengkapi dengan topi dan masker. Tampilannya tidak terlalu mencolok, mirip saja dengan kebanyakan orang. Maka Barra dan Maya sedikit pun tak terbesit kan kecurigaan padanya.
Maya dan Barra memasuki lift lantai tiga, orang itu mengikutinya. Beberapa kamera pengawas yang sangat kecil sudah terpasang di bajunya di berbagai sisi. Apapun yang dilakukan Barra dan Maya tertangkap jelas di kamera pengintaian. Sedangkan orang itu berpura-pura sibuk dengan benda pipihnya, sesekali memberikan laporan pada Elis.
Dalam lift yang bergerak dengan tenang, hening, tiba-tiba diriuhkan oleh suara aneh. Orang itu mendongak sedikit, melihat keadaan. Dan alangkah terkejutnya ia, mendapati dua manusia yang ia awasi tengah berciuman mesra dan saling menuntun di depannya.
Di depannya yang seorang jomblo, mereka sangat tidak tahu tempat dan situasi. Ingin ia berteriak menghentikan mereka, tapi itu hanya angan saja karena inilah adegan yang membuat bayarannya melimpah.
Oke, pengintai itu berdehem pelan. Lalu memasang handset di kedua telinganya. Suara aneh itu sedikit tersamarkan oleh lagu yang ia putar.
Lift kini berhenti dan sudah mencapai lantai tiga, lorongnya terlihat sepi. Barra dan Maya menghentikan adegan ciuman mereka sejenak, lalu berjalan keluar diikuti lagi oleh pengintaian tadi dalam jarak amat, tak mencurigakan.
Sampai di depan pintu, mereka kembali mengulang adegan yang membuat kepala panas. Ya, panas untuk sang pengintai. Tapi, walaupun begitu ia tidak menyerah. Motivasi uang berwarna merah dengan jumlah yang tak sedikit sudah menutupi matanya membuat ia kembali bekerja secara profesional.
Maya dan Barra hilang di balik pintu kamar hotel, dan apa selanjutnya kalian pasti tahu jawabannya. Pengintai tadi segera pergi, pekerjaannya sudah selesai. Kini ia bisa bernapas lega, kepalanya kembali dingin. Ia merasa seperti berada di atmosfer yang panas tadi, dengan bisikan-bisikan syaiton yang hampir saja membuat tertarik melakukan hal serupa. Eh, tapikan dia jomblo.
*****
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Naaila Qaireen
Kata penguntit... sudah jadi suka duka tugasnya, kak 🤭
2023-10-27
2
niktut ugis
kasihan Thor si pengintai 😌
2023-10-26
2
ria aja
ayo nay kasih abimayu juga
2023-04-17
0