Seperti yang dikatakannya kemarin, sesuai dari ingatan masa lalunya. Kurang dari dua minggu lagi ia akan melangsungkan pernikahan dengan Barra Munandra. Segala cara untuk balas dendam serta menggagalkan pernikahannya sendiri kini telah ia rancang. Tinggal beberapa bukti saja yang harus ia kumpulkan agar rencananya berjalan dengan lancar.
"Pernikahan mu kurang dari dua minggu lagi sayang, seharusnya kamu pergi ke salon untuk merawat diri." Nila ibunya Nayla mengingatkan anaknya itu, Nayla memang kadang pelupa.
"Iya Mah, Nayla pergi kok." Nayla tersenyum, menjadi gadis penurut yang memang merupakan jati dirinya dulu. Tapi dalam hati, ia sudah bertekad menjadi pribadi yang lain terutama pada musuh-musuhnya.
"Oh ya, Mah. Elis sudah pulang belum?" Ia mengingat kalau pada kehidupannya yang lama, ia memiliki pengawal perempuan yang disediakan oleh ayahnya.
Terkesan berlebihan menurut Nayla dulu, tapi sekarang ia mengerti maksud ayahnya menyediakan pengawal untuknya.
Ia sangat membenci Elis karena setiap apa yang Nayla lakukan selalu mendapat komentar dari dirinya.
Nayla pergi berpacaran Elis ikut menjadi orang ketiga, Nayla membelikan sesuatu untuk Barra dan Maya Elis berkomentar. Apapun yang di lakukan Nayla, semuanya tidak lupus dari komentar dan nasehat Elis.
Dulu ia sangat jengkel padanya, apalagi wajahnya yang kaku dan datar. Kecantikannya tidak mampu menutupi itu, membuat teman mahasiswa segan mendekatinya. Aura Elis mampu membekukan orang-orang di sekitar Nayla, makanya ia kadang tidak suka berdekatan dengan Elis dan menyuruhnya untuk menjaga jarak di jarak yang aman saja.
"Kenapa? Bukankah kamu sangat tidak menyukainya?" bukan ibunya yang menyahut, tapi ayahnya Arsyad.
"Siapa bilang." Nayla mengelak dengan wajah lugunya. Kedua orang tuanya saling lirik, masih jelas diingatan mereka kalau anaknya ini menangis histeris agar memecat Elis lantaran sudah besar dan tidak mau dikawal seperti anak kecil.
"Jadi Elis sudah pulang belum?" ulang Nayla.
"Belum, rencananya akan pulang ke negara asalnya setelah pernikahan kalian." Beritahu ayahnya.
Elis Edith memang buka warga negara di sini, ia orang prancis yang datang mengabdi pada keluarganya karena telah menolong dan memberikan kehidupan yang layak pada keluarganya.
Nayla mengangguk, tapi sesaat kemudian ia ingat tidak menyimpan nomor pengawalnya itu. Sifat bodoh dan tidak sukanya pada Elis membuat ia mengabaikan itu.
"Ayah nyimpan nomor Elis nggak? Bisa kirim?" Nayla tersenyum polos mendapatkan tatapan tajam dari papanya.
"Bukankah papa sudah kirim waktu itu."
"Hehehhe... lupa nyimpan, Pah."
Papanya sedikit mendengus, lalu berkata akan mengirimkannya nanti. Setelah mereka selesai sarapan, mamanya hanya bisa menggeleng. Tapi walaupun begitu mereka sangat menyayangi anak perempuan semata wayangnya.
*****
Nayla mendengar ketukan pintu dari kamarnya, ia segera membalikkan papan yang dimana papan itu berisi ingatan masa lalunya yang ingin ia rubah, dan beberapa aksi balas dendamnya.
"Sebentar...." Teriaknya dalam kamar.
Papan itu kini kembali bergantung pada dinding dengan gambar kartu dan anime serta agenda rutinitas Nayla untuk menyemangati diri, di sana juga ada beberapa motivasi hidup yang ia tempel.
"Ya...." Pintu kamar itu pun terbuka dari dalam.
"Nona memanggil saya?"
Nayla melihat dari bawah ke atas, perempuan dengan tinggi semampai, kulit putih bersih, rambut pirang sebahu dengan pakaian serba hitam. Cantik, tapi sayang wajahnya begitu kaku.
"Senyum Lis, sudah berapa kali ku mengingatkan mu." Nayla selalu mengingatkan itu pada Elis di kehidupan lamanya, dan sekarang ia juga melakukannya. Betapa dingin dan kaku pengawalnya ini.
Elis yang sudah berulang kali diingatkan, mencoba untuk tersenyum. Mulai mempraktekkan latihan yang sudah hampir satu minggu di apartemennya.
Latihan itu ia lakukan agar bisa mematuhi semua perintah Nayla, bahkan dirinya merasa menjadi orang gila karena terus tersenyum sendiri di apartemennya. Senyum di dapur, senyum di ruang tamu, senyum di kamar, bahkan senyum sendiri di wc pun pernah ia lakukan.
"Kamu senyum Lis?" tanya Nayla menautkan alis. Pasalnya ia tidak melihat gerangan senyum yang tercipta dari bibir pengawalnya.
"Iya Nona, aku sedang tersenyum." Elis menampakkan senyumnya yang tipis, begitu tipis, bahkan Nayla tidak bisa melihatnya.
"Astaga." Perempuan yang berada di daun pintu itu menepuk jidatnya. "Itu bukan senyum Elisss, senyum itu yang lebar dong." Elis mulai melebarkan senyuman.
"Yang natural dong."
Elis tidak tahu senyum natural itu seperti apa, dan akhirnya ia pun memutuskan untuk semakin melebarkan senyumannya saja.
Mata Nayla membelalak, wajah Elis terlihat aneh, sudah seperti joker saja.
"Sudah, sudah Lis, senyum mu aneh sekalian. Lain waktu saja kita bahas, aku akan mencarikan guru privat untuk mu." Nayla melambaikan tangan, Elis kembali pada wajah datarnya yang memang tidak dibuat-buat.
"Sekarang masuklah, ada hal penting yang ingin aku sampaikan." Pintu kamar itu terbuka lebar, Elis mengangguk sesaat lalu masuk ke kamar nonanya. Nayla menoleh ke kiri dan kanan, lalu menutup pintunya rapat.
"Duduklah Lis." Perintah Nayla melirik sofa di kamar. Elis duduk dengan patuh.
Sebelum duduk, Nayla mengambil kerta yang sudah berisi coretan ingatan masa lalu dan beberapa coretan lainnya.
"Aku ingin kamu melakukan semua itu." Ia menyimpan kerta tadi di hadapan Elis, yang langsung diraih oleh perempuan itu.
Elis membacanya satu persatu tulisan itu yang dimana ia harus mengawasi Barra, lalu Maya, mengawasi dimana dan ke mana mereka akan pergi, lalu apa yang dilakukan. Elis mengangguk tanpa menaruh curiga, karena ini pernah ia lakukan. Tujuan Nayla melakukannya agar ia bisa mengetahui dimana dan apa yang dilakukan calon suaminya, karena ia sangat posesif. Lalu Maya ia lakukan untuk mengetahui dimana dan apa kegiatannya agar Nayla bisa cepat mengunjungi dan bertemu dengannya.
Ia pun lanjut membaca, dan tertulis ia harus menyelidiki apa yang dilakukan Barra di Arthama compeny beserta orang-orang yang direkrut. Elis mulai mengernyit. Barra bisa bekerja di sana atas permohonan Nayla pada tuan Arsyad. Dan terakhir ia diperintahkan untuk mencari tahu tentang Abimayu.
Elis tidak bisa lagi menahan penasarannya, ia mendongakkan wajah, melihat Nayla yang tengah menampilkan senyum polos nan lugu.
Sebelum Elis bertanya-tanya apa yang terjadi, pintu kamar Nayla kembali di ketuk dari luar.
"Nay... kamu di dalam? Aku boleh masuk nggak."
Mendengar suara itu Nayla mengepalkan tangannya, sorot matanya tiba-tiba berubah. Ia menarik napas, lalu menghembuskan perlahan. Dan semua perubahan itu tak luput dari pandangan Elis.
"Lakukan apa yang ku minta Elis, dan kali ini lakukan dengan cara berbeda. Awasi mereka setiap jam, menit, dan detik." Suara tegas dari Nayla yang baru kali ini Elis dengar, ia pun mengangguk tanpa membantah.
Nayla kembali menghembuskan napas, mengubah wajah menjadi polos dan lugu. Lalu kemudian membuka pintu kamar itu.
"Akhhhhh... Nay, aku kangen." Maya memekik girang lalu memeluk Nayla, mereka berdua tidak bertemu beberapa hari karena Nayla yang sibuk mempersiapkan pernikahannya, dan Maya yang bekerja.
"Akhhhh... aku juga, padahal kita baru beberapa hari tidak bertemu." Nayla menyambutnya dengan tak kalah heboh, ia memeluk Maya dengan kuat.
"Kamu kira hanya kamu yang bisa bersandiwara?! Aku juga bisa kali!" Nayla membatin, tersenyum menyeringai.
"Hehehhe... ekhh... tapi peluknya jangan kencang juga kali." Maya berkata dengan nada sesak dan tawa dibuat-buat, sungguh terdengar tidak tulus.
"Heheheh, maaf." Senyum polos nan lugu kembali tercipta.
*****
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Fahmi Fahmi
balas dendam cara halus
2024-05-30
1
Nurul Huda
gak perlu kekerasan buat balas dendam calm down.ikuti dulu permainan mereka setelah mereka lengah baru balas dengan lebih parah.coba bermain cantik gak perlu emosi.
2023-08-10
2
Cahaya yani
othooorr q hadir di novel mu krn q pling suka yg transmigrasi ters bals dendam ,seru bca nya..
2023-07-31
2