Aku berbaring dengan membelakangi Tian. Yah ngambek karena di goda seperti itu oleh suami ku.
Tian hanya menggelengkan kepala nya melihat tingkah ku seperti anak kecil itu dan mencoba untuk memejamkan mata.
Lama aku menunggu agar Tian membujuk ku. Namun tiada respon dan Tian membiarkan aku begitu saja.
Jelas aku semakin kesal dengan tingkah Tian itu.
"Ini suami macam apa sih, orang ngambek di pujuk kek. Malah di biarin begitu saja" Cerutu ku dalam hati.
Aku pun mengalah dan berbalik melihat Tian apa kah dia tidur atau bagaimana.
"Tian, kamu kenapa?" Tanya ku panik melihat laki-laki berambut ikal itu kembali gemetaran. Keringat dingin kembali membasahi tubuh nya yang kekar.
"Tian, apa candu mu kambuh lagi?" Tanya ku langsung mencoba mencari obat penenang. Namun sayang obat tersebut telah habis dan aku pun lupa untuk membeli nya lagi.
"Ya Allah Tian maaf kan aku obat nya habis" Ujar ku panik sambari memegang wajah nya yang pucat.
"Aduh bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu harus bagaimana?" Ujar ku dengan cemas. Yah otak ku benar-benar tidak bisa bekerja saat ini. Aku bingung harus berbuat apa kepada Tian.
"Fitri, boleh aku menggunakan obat itu? Sudah dua tiga hari aku melawan rasa candu ini. Tapi hari ini sudah semakin parah dan aku tidak bisa menahan nya lagi" Ujar Tian terus menggigil.
Aku tersentak mendengar apa yang di katakan Tian. Ternyata sudah selama itu dia menahan rasa candu nya. Kenapa aku tidak tahu? Pantas saja obat penenang nya habis lantaran terus di konsumsi sama Tian. Dan jika aku tahu obat nya habis pasti aku akan membeli nya lagi. Pikir ku.
"Tidak mungkin aku memberikan obat terlarang itu. Lagian aku juga tidak mempunyai obat itu sama sekali" Pikir ku.
"Apa kamu lupa dengan janji mu Tian?" Kata ku berhati-hati takut jika Tian mengamuk saat aku salah ucap. Maklum saja orang lagi kambuh pasti mudah saja mengamuk nya bukan.
"Tapi Fit.... " Ujar nya tidak melanjutkan kata-kata nya melainkan suami ku itu langsung berlari menuju kamar mandi dan mengunci diri dari dalam.
"Tian, Tian buka pintu nya" Terik ku dari luar menangis sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar ku itu.
"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus pergi membeli obat penenang nya. Tapi tidak mungkin aku meninggalkan Tian dalam keadaan seperti ini" Pikir ku serba salah. Aku mondar-mandir di depan pintu kamar mandi itu.
"Apa aku meminta bantuan kepada abang ku atau kakak ku ya? Gak-gak aku gak mau, nanti apa kata mereka terhadap Tian. Pasti mereka akan berpikir buruk bahwa Tian tidak bisa berubah. Dan apa yang mereka takutkan selama ini akan jadi kenyataan. Gak, aku tidak mau membuat keluarga ku cemas." Batin ku terus bergejolak.
"Terus aku harus bagaimana?" Air mata ku terus mengalir berusaha mencari jalan keluar untuk masalah ini.
Kembali aku mengetuk pintu kamar mandi itu meminta Tian membuka nya.
Namun, tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar mandi. Aku semakin panik dan cemas.
"Apa yang terjadi kepada Tian di dalam sana? Apa jangan-jangan dia bunuh diri atau apa gitu?" Ujar ku semakin panik.
Terlintas oleh ku untuk mencari kunci cadangan kamar mandi yang ada di dalam laci meja yang tak jauh dari pintu kamar mandi itu.
Aku segera membongkar laci meja itu dan mendapati kunci cadangan yang ku cari.
Dengan cepat aku membuka pintu kamar mandi itu.
Hal yang sama ku lihat saat acara pernikahan ku dulu. Dimana Tian memeluk lutut nya di sudut kamar mandi. Tubuhnya basah akan keringat yang terus bercucuran namun ia menggigil kedinginan sewaktu itu. Aku berlari mendekati Tian. Aku memegang wajahnya yang pucat matanya menatapku dengan tatapan kosong. Aku memeluk tubuhnya yang bergemetar itu.
"Fit, izin kan aku" Ucap nya pelan setelah beberapa lama terdiam.
Aku melepaskan pelukanku. Aku kembali menatap matanya yang Sayu itu seakan-akan memastikan apa yang ia inginkan.
"Fit, aku benar-benar tidak tahan lagi. Aku ingin memakainya sekali saja untuk yang terakhir kali nya. Aku tidak bisa menahan nya lagi Fit. Izin kan aku, aku mohon" Kata nya memohon kepada ku. Aku berdiri dari duduk ku dan berlahan mundur menjauh dari nya.
"Bukan kah kamu sudah berjanji tidak akan memakai barang haram itu lagi?" Kata ku.
"Tapi aku sudah tidak tahan lagi Fitri. Aku bisa mati jika begini" Kata nya masih dalam menggigil. Aku terdiam tidak bisa menjawab. Baru saja aku bangga kepada nya karena telah berusaha untuk berubah. Kini malah dia kembali ke tabiat nya yang membuat aku bingung harus bagaimana.
Apa aku harus membiarkan nya memakai barang itu? Atau membiarkan nya seperti ini? Sungguh membuat ku sangat kebingungan.
"Fitri, aku mohon, aku mohon" Kata nya bertekuk lutut di hadapan ku memohon agar aku mengizinkan nya memakai barang itu.
"Please Fitri. Aku mohon, tolong aku" Tambah nya lagi sambil mencium tangan ku agar memberikan nya izin untuk batang haram itu.
Sungguh tingkah nya itu membuat mu merasa iba dan tidak tega. Setelah pergolakan batin ku, aku pun mengangguk pelan mengizinkan nya untuk memakai barang itu meski dengan berat hati. Yah karena saat itu aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Otak ku benar-benar buntu saat itu.
Tidak menunggu lama lagi. Tian pun langsung berlari keluar kamar mandi dan mengambil sebuah kotak kecil yang berisi serbuk berwarna putih yang terletak di bawah tempat tidur kami.
Seperti orang terlepas dari beban setelah dia memakai barang haram itu. Tenang, damai dan tertidur pulas saat selesai memakainya.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang ku lihat barusan. Otak ku benar-benar sulit untuk mencerna dan mengartikan apa yang sebenar nya terjadi.
"Tian, sejak kapan dia masih menyimpan barang haram itu? Apa selama ini dia masih memakai nya? Dan kenapa aku tidak tahu tentang hal ini?" Batin mu terus saja bertanya.
Melihat nya tertidur pulas, aku pun mendekati suami ku itu dan duduk di bibir kasur tepat dimana suami ku tertidur pulas.
Aku mengelus-elus rambut nya yang hitam ikal itu.
Tampa terasa air mata kembali berlinang di kelopak mata ku dan jatuh mengenai tangan suami ku itu dan membuat nya terbangun dari tidur nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments