"Kak Zian? Ini benar-benar kak Zian. Astaga, kakak sama saja seperti kak Raden yang tidak pernah pulang." Rani nampak senang, ia menyentuh tangan Zian untuk memastikan bahwa pria di hadapannya bukan ilusi semata.
"Ah, kak Zian benar-benar berbeda. Aku tidak bisa mengenalimu!" Rani cemberut, menggemukkan pipinya.
"Ya ya. Kita bisa mengobrol sepuasnya, tapi kita harus ke dalam dulu," balas Zian tersenyum.
"Ahahaha, Tuan rumah macam apa aku? Mari, silahkan masuk!" Rani mengantar Zian masuk ke dalam rumahnya.
Yah, itu rumah yang kecil, tapi nyaman dan bersih.
"Silahkan duduk. Aku akan membuatkan minuman."
Zian mengangguk dan duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Ia melihat-lihat kondisi rumah dari sahabatnya itu.
"Tidak jauh berbeda sejak aku terakhir ke sini."
Setelah sepuluh menit, Rani muncul dari belakang dengan membawa nampan, yang di atasnya secangkir teh.
"Ini, kak. Maaf, ya, seadanya!" Rani duduk di seberang Zian.
"Apa, sih? Tidak usah merepotkan! Sajikan saja yang ada." Ia mulai meminum teh itu sedikit untuk tanda syarat.
Setelahnya, ia mulai mengutarakan maksud dari kedatangannya. Yah, tentu saja silaturahmi, tapi Zian juga punya maksud lain.
"Rara, ini soal ibumu."
Ekspresi Rani berubah sendu, ia memeluk erat nampan yang tetap dipegangnya.
"Ah, itu ...."
"Bagaimana keadaannya?" tanya Zian. Ia merasa ada yang tidak beres.
"Beliau kini sedang tertidur. Kondisi tubuhnya semakin hari menjadi semakin lemah. Di sisi lainnya, aku tidak tau harus berbuat apa?!" Rani mencengkram kuat nampan itu.
"Kak Raden tidak bisa dihubungi, kerabat lain pun begitu."
'Eh? Bukannya aku sudah mentransfer sejumlah uang? Digunakan untuk apa uang itu?' bingung Zian dalam hati.
"Ra, bukannya kalian punya uang?" Zian memberanikan diri untuk bertanya tentang hal itu.
"Heh? Uang apa?" Gadis itu malah memiringkan kepalanya.
"Aku sebelumnya sudah mentransfer uang ke rekening Bibi untuk digunakan berobat! Hei, uang itu tidak dipakai?"
"Oh, uang yang pengirimnya tidak jelas itu?"
"Pengirim yang tidak jelas?" Alis Zian berkedut atas pernyataan Rani.
"Aku tidak berani menggunakannya. Pengirimannya tidak jelas, aku cuma takut jika itu modus baru para lintah darat untuk menjebak. Eh? Tapi, karena itu ternyata pemberian dari kak Zian, aku jadi lega."
Zian sontak menepuk dahinya sendiri. "Hehe, salahku. Harusnya aku menggunakan rekening pribadi, bukan milik militer. Maaf, ya, Rara." Zian sedikit menunduk pada Rani.
"Kenapa minta maaf. Aku yang harusnya berterima kasih. Tapi, uang sebesar itu dapat dari mana?"
"Ada lah. Namanya juga rizki dari Tuhan."
Rani mengangguk.
"Rara, bolehkah aku melihat keadaan ibumu?" pinta Zian.
"Kak Zian selalu diizinkan. Tapi, jangan terlalu berisik, ya! Biar ibu istirahat." Rani menunjukkan kamar ibunya.
Zian mengangguk, ia melangkah masuk ke kamar yang ditunjukkan oleh Rani, bersebelahan dengan ruang tamu.
"Bibi?" panggil Zian dengan lembut. Yah, tindakan bodoh. Rani sudah berkata bahwa ibunya sedang tidur.
"Kak Zian, apakah ibu sudah bangun?" tanya Rani.
"Bukan. Aku cuma menyapa, hehe." Pria itu tersenyum kecut.
"Eh? Rara, sebetulnya aku punya sebuah obat yang katanya sanggup menyembuhkan segala penyakit?!"
"Hah? Beneran?" Rani kaget bukan main, ia kemudian ikut masuk ke dalam kamar.
"Mana obatnya?"
"Huh, tenang! Ibumu nanti bisa bangun. obatnya ada di dalam tas." Zian mengeluarkan jus yang telah tercampur dengan bunga tiga kelopak warna.
Rani mengerutkan kening setelah menyaksikan rupa obat yang katanya ampuh pada segala penyakit.
"Jus mangga?"
"Sudah dicampur sama obatnya."
"Oh."
"Tolong angkatan kepala Ibumu. Tapi, hati-hati, jangan sampai bangun! Aku akan meminumkan jus ini padanya."
Rani menuruti perintah Zian, gadis itu dengan sigap memapah kepala ibunya dengan lembut. Setidaknya kepalanya kini lebih tinggi dari badan.
'Semoga ini bekerja?!' Zian meminumkan jus mangga itu.
Ibunya Rani hanya meneguknya sedikit.
"Setelah ini gimana?" tanya Rani yang kembali merebahkan kepala ibunya di bantal.
Ditanya pertanyaan semacam itu, Zian tentu tidak paham. Jadi, pria itu asal menjawab.
"Kita tunggu."
"Apakah perlu diminum secara berkala? Berapa kali sehari?" tanya Rani. Ini pertanyaan normal.
"Umm, yah .... mungkin Bibi harus minum jus ini lebih banyak?!"
"Benar begitu?" heran Rani. Ia kemudian menuruti perintah Zian.
'Huh, harusnya efeknya sudah bekerja?' pikir Zian bingung. 'Apakah memang harus minum lebih banyak?'
"Uhuk ... uhuk!" Ibunya Rani mendadak batuk yang semakin lama menjadi parah.
Rani yang tidak mengetahui apa pun otomatis menjadi panik. Sementara Zian cuma diam dan menunggu sesuatu yang terjadi pada ibu dari sahabatnya itu.
"Bu, ibu? Kak Zian, apa yang terjadi?"
"Tenang, keadaan Bibi pasti pulih dengan segera?!"
"T-tapi, tapi ...."
"Uhuk!" Bibi memuntahkan sesuatu.
"Ibu?" teriak Rani.
Sesuatu keluar dari mulutnya, itu adalah cairan berwarna hitam kental. Zian juga pernah memuntahkan cairan semacam itu.
"Uhuk ... uhuk! R-rani? Dan ... Z-zian, kau kah itu?" Bibi membuka mata dan langsung bisa mengidentifikasi orang-orang di dekatnya.
"Ibu!" Rani reflek memeluk ibunya. "Apakah ibu tidak apa-apa?" Gadis itu menangis jeri.
"Bibi sudah merasa baikan?" tanya Zian.
"Ya, aku merasa lebih baik. Maaf, sudah membuat cemas semua orang." Bibi mengangguk. "Dan Rani ... kau tidak perlu sedramatis ini? Ibu sudah agak lebih baik." Ia mengelus rambut hitam dari putrinya itu.
"Apa tidak boleh mengekpresikan rasa bahagia ini? Ibu bisa bangun lagi?!" Rani menambah tenaga pada pelukannya.
"Ini keajaiban! Dan ...."
Rani hampir membuat dada ibunya sesak.
"Dan keajaiban itu datang dari kak Zian." Rani melepas pelukannya dan melirik Zian.
"Benarkah?" tanya ibunya dengan takjub.
"Tak perlu diragukan lagi. Kak Zian meminumkan jus mangga yang telah dicampur obat rahasia. Yah, pasti harganya sangat mahal. Dan asal tau saja, kak Zian juga yang mentransfer uang untuk kita?!" Rani kebablasan dalam bicara.
"Apakah semua itu benar, Zian?"
"Tentu——"
"Biarkan Zian yang menjawab, anakku!"
"Hehe, oke deh."
Saat merasa Rani bisa mengunci mulutnya sebentar dan memilih membersihkan selimut yang kotor, Zian mulai menjelaskan semuanya.
".... aku melakukan ini demi membalas budi pada Raden."
"Zian ... kau tidak perlu segitunya! Kami merasa sangat——"
"Tidak! Ini masih belum seberapa. Huh, sekarang tinggal meminum jus mangga itu, satu sendok makan (tiga kali sehari)."
Mata ibu teman
seperjuangannya itu pun penuh dengan haru dan rasa terima kasih.
"Raden beruntung sekali punya kenalan seperti dirimu."
"Aku yang harusnya berkata begitu."
"Umm, kak Zian. Sepertinya akan ada sedikit masalah. Kakak jangan berlama-lama di sini. Para berandalan yang ingin menggodaku pasti kembali dan membalas kak Zian," peringat Rani.
"Oh, mereka? Heh, tenang saja. Aku tidak punya alasan untuk takut sebagai tentara."
"Mantan tentara?" Rani membenarkan.
"Yah, bolehlah. Jaga saja ibumu!" Zian pun keluar dari rumah mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Sri Astuti
ini kisah fantasi
2023-10-17
0