"Tapi, apakah ayah yakin? Sebaiknya kita lakukan medical check up lebih lanjut. Mungkin kita bisa pindah ke rumah sakit yang memiliki peralatan lebih mumpuni."
Walikota bersikeras untuk menolak permintaan ayahnya. Ia masih cemas akan kondisinya, meski pemeriksaan telah menyatakan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Selain itu, walikota tidak menggubris perkataan ayahnya tentang pria bernama Zian Zaidan yang konon katanya telah berjasa pada ayah tercintanya. Malah sebaliknya, walikota curiga bahwa Zian memanfaatkan kondisi ayahnya yang sakit.
"Aku benar-benar sudah sehat, anakku. Kau tidak percaya pada ayahmu sendiri?!" heran ayahnya dengan muka kaget.
"Bukan begitu. Tapi, kita harus tetap melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Penyakit tidak mungkin sembuh begitu saja tanpa sebab. Apalagi kata ayah ada seorang pria yang mendadak punya tangan ajaib, yang bisa menyembuhkan!?" si Walikota tidak ingin menyerah untuk membujuk ayahnya.
Dokter dan para bawahan walikota hanya menyimak perdebatan antara ayah dan anak perempuannya itu. Yah, begini-begini itu adalah hubungan yang hangat antara keduanya.
Si Walikota tau bahwa dirinya tidak akan mampu menang melawan ayahnya. Jadi, ia mengeluarkan jurus terakhir.
"Ah, oke, oke. Ayah tidak perlu diperiksa lagi. Tapi, ayah harus rawat inap di rumah sakit sampai aku yakin dengan kondisimu."
"Baiklah, aku setuju jika cuma disuruh rawat inap."
Perselisihan di antara keduanya selesai.
"Anakku, soal pria yang sudah menyelamatkanku ... kau harus berterima kasih padanya."
"Ayah percaya padanya. Memangnya apa yang sudah dia lakukan untuk menyembuhkan ayah? Apakah dia cuma mengaku-ngaku agar dianggap berjasa?" Si Walikota masih enggan untuk mempercayai Zian.
"Dengar, ya. Pria itu yang sudah menolongku saat orang-orang tidak ada yang peduli pada orang tua ini. Jika tidak ada dia, aku pasti tidak akan mampu bertahan. Anakku, tolong cari dia dan balas perbuatannya!"
Walikota menyerah, ia memutuskan untuk menerima permintaan ayahnya.
"Di mana rumah pria bernama Zian Zaidan itu? Aku akan langsung memberinya hadiah."
"Dia menolak memberitahukan informasi apa pun tentang dirinya. Kau harus mencarinya sendiri. Aku sudah memberikan kartu namaku, sepertinya dia tidak akan menghubungi lebih dulu." beritahu sang ayah.
Walikota berpikir sebentar untuk mencerna cerita dari ayahnya. 'Ternyata pria itu tidak hendak memanfaaatkan ayah. Dia sepertinya memang orang baik? Tapi, jangan terlalu cepat menyimpulkan!'
Ia memberi isyarat pada bodyguard untuk memberikan telinganya, terus membisikan sebuah perintah.
"Cari pria bernama Zian Zaidan. Awasi dia untuk sementara! Gali semua informasi tentang dirinya!" bisiknya.
Bodyguard berbadan kekar dan berwajah sangar mengangguk. Ia menyingkir dari samping walikota, mencari tempat untuk memberikan perintah pada anak buahnya.
Jaringan bodyguard milik walikota memang sangat besar.
"Tenang saja, ayah. Aku sudah mengurusnya. Pria itu pasti ketemu, bahkan aku akan membawanya ke sini. Jadi, ayah tolong beristirahat lah!"
"Ya, aku tunggu kabar baik darimu, anakku." Pria itu yang merupakan dosen itu pun berbaring di tempat tidur dari ruangan VIP itu.
Semua orang pun keluar dari ruangan untuk membiarkannya istirahat.
"Huh, apa benar ayah sembuh dari penyakit jantungnya." Walikota memerhatikan hasil tes pemeriksaan ayahnya dengan wajah bingung.
"Bagaimana bisa?"
.
.
.
.
"Di sini saja, Pak. Terima kasih." Zian turun dari taksi dan memberikan ongkos. Ia sengaja melebihkannya.
"Ini kebanyakan. Harusnya——"
"Terima aja, Pak." paksa Zian. Si driver pun terpaksa menerimanya. Meski menolak, ia sebetulnya bersyukur telah diberikan uang lebih.
Zian kini sudah berada dekat dengan rumahnya Raden. Itu terletak di pinggiran kota, area yang belum tersentuh pembangunan. Di sini pohon-pohon masih berlimpah dan sungai juga masih jernih. Suasana di pedesaan.
Jalannya tidak memungkinkan untuk sebuah kendaraan roda empat masuk. Itulah mengapa Zian turun sebelum sampai di tujuan sebenarnya.
"Kapan terakhir kali aku berkunjung ke sini?" gumam Zian yang berjalan seraya memerhatikan lingkungan sekitar. Ia menyapa orang-orang yang ditemuinya.
"Merasa nostalgia."
Zian kemudian melihat seorang gadis yang dihadang di tengah jalan oleh tiga orang pria. Di sekitar tidak ada orang selain mereka berempat, termasuk Zian.
"Minggir! Aku mau pulang." perintah gadis itu, ia jelas nampak marah.
"Jangan buru-buru, Rani. Ayolah, bermain-main bersama kami! Ibumu di rumah tidak akan kemana-mana!"
"Kubilang ... minggir!" Gadis itu menerobos paksa.
Ketiga orang itu cuma diam pada awalnya. Namun, ujung-ujungnya mereka menahan tangannya.
"Jangan kurang ajar, ya!"
*Buaghh!
Zian langsung menghampiri mereka dan memberikan bogem mentah kepada salah satunya. Ia langsung menarik gadis bernama Rani itu ke sisinya.
"Apa kalian tuli? Tidak mendengar ucapannya?" teriak Zian. Ia melirik gadis yang berada di sampingnya.
'Hmm, tidak terasa, ya? Rani sudah tumbuh sebesar ini. Dia menjadi cantik,' batin Zian. Rani adalah adiknya Raden. Mereka bertiga sering bermain bersama sewaktu kecil.
"Cih, orang asing! Berani-beraninya mencampuri urusan kami!" berang pria yang ditonjok Zian, sudut mulutnya mengeluarkan darah.
"Beri dia pelajaran!"
Para berandalan itu langsung menyerang Zian.
"Menyingkir lah!" Zian memberitahu Rani agar menjauh darinya.
Zian adalah mantan tentara, kemampuan bela dirinya tidak perlu diragukan. Sedangkan tiga orang berandalan itu hanya para amatiran. Mereka asal menyerang, mungkin asal kena. Mereka idiot menurut Zian. Memalukan.
"Kalian memang seperti anak kecil, ya?!" ejek Zian.
"Apa?"
Mereka marah dan berusaha memukul dengan sekuat tenaga. Zian menangkap tinjunya dengan mudah.
"Aku bisa menghancurkan lenganmu, kalau lagi baik!" Zian menguatkan cengkramannya hingga membuat pria itu merintih kesakitan.
Dua temannya berusaha membantu, tapi dengan segera dihajar dengan telak. Mereka meraung memegangi perut setelah dihantam oleh lututnya Zian.
"Sebaiknya kalian kabur, jika tidak ingin ada tulang-tulang yang patah, hehe." Senyuman lembut, tapi bagaikan iblis.
Para berandalan kelas teri itu kabur terbirit-birit. Zian lantas menghela nafas dan melirik telapak tangannya.
'Aku memang merasa lebih kuat dari pada yang dulu, saat masih sehat!' Zian tersenyum dengan sendirinya.
"Umm, Rani, kau baik-baik saja, 'kan? Mereka belum sempat menyakitimu?" tanya Zian.
Si pemilik nama malah bengong, ia belum sadar atas panggilan seseorang yang telah menyelamatkannya.
"Halo, Rani?" Zian melambai tepat di hadapan wajah gadis itu.
"Ah, iya. Maaf, aku ngelamun sebentar. Eh? Kakak tau namaku?"
Zian hanya tersenyum. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang."
'Hmm, kenapa kakak ini bisa mengenalku?' bingung Rani. Ia mengikuti Zian yang berjalan ke rumahnya.
Gadis itu pasti terkejut, selain mengetahui namanya, Zian ternyata tahu juga soal alamat rumahnya.
"Bagaimana kakak bisa tau alamat rumahku?" Rani akhirnya berani bertanya.
"Eh? Rara, kau sudah lupa denganku? Belum juga 10 tahun!" Zian tersenyum lembut.
"Rara?" Rani merasa familiar dengan nama itu. Ia berpikir sebentar.
"Hah? Eh? Ini beneran kak Zian?" kaget Rani, ia begitu heboh setelah mengingat panggilan itu.
"Yap, lalu siapa lagi?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
car_ les
up
2023-10-15
0