Tubuh Jova langsung lemas ketika mendengar ucapan Felix, di mana ia mulai saat ini harus menjadi perawat pribadinya sebagai pertanggung jawaban atas kesalahan yang bukan kehendaknya. Wanita itu tahu betul kalau laki-laki saat ini sedang terbaring dengan luka di kakinya sengaja ingin membuatnya stres.
Berkali-kali Jova menghela nafas untuk menghilangkan ketegangan. Tidak menjadi perawat laki-laki itu saja hidup Jova sudah susah. Apalagi sampai jadi perawatnya semakin serasa tercekik hidupnya.
"Arzen kamu pulang urus kekacaun yang wanita ini lakukan," ucap Felix, hal itu berhasil membuat Jova kembali tersentak kaget. Rasanya ingin protes dengan apa yang dia dengar.
"Baik Tuan, semuanya akan saya bereskan." Arzen menatap Jova yang sejak tadi menatap Arzen. Laki-laki itu tahu betul kalau Jova sedang berusaha meminta bantuan pada Arzen. Namun, Arzen berpura-pura tidak tahu apa-apa agar semuanya cepat selesai. Andai Arzen ikut campur nanti malah urusanya semakin panjang dan bisa saja berimbas pada Jova.
Arzen yang bukan satu, dua tahu kerja mengabdikan diri pada Felix tahu betul bagaimana sifat laki-laki itu. Kadang baik tidak ada yang menandingi, tetapi kadang jahat melebihi firaun.
'Sejak kapan aku membuat kekacauan, bukankah aku hanya di suruh dan itu Bu Dewi yang memintanya, kenapa malah aku yang jadi dipersalahkan,' batin Jova. Arzen pun pergi kembali melanjutkan pekerjaanya dan Jova kini hanya tinggal berdua, tinggal bersama Felix, dalam satu ruangan meskipun luas, tetapi terasa sangat sesak.
"Apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu. Terima kasih gitu. Berkat adanya aku kini kamu tidak ada di tempat ini. Pasti kalau tidak aku yang menolong kamu, kamulah yang ada di rungan ini." Suara Felix memecahkan lamunan Jova yang sedang menatap Arzen yang sudah mulai meninggalkan dirinya hanya berdua dengan suaminya, sekaligus bos besarnya.
Jova menghirup nafas dalam, dan menghembuskanya pelan. "Saya ucapkan banyak terima kasih Tuan, berkat kebaikan Anda saya terhindar dari marabahaya itu." Suara yang dibuat selebut mungkin supaya terkesan sangat menghormati.
"Yah, aku tidak masalah karena aku memang orang baik."
Jova rasanya ingin muntah saat ini juga. Ingin hilang dari ruangan ini, benar-benar hidupnya seolah terasa semakin lama, satu jam dalam ruangan yang sama dengan Felix itu serasa satu tahun.
Detik berganti menit, hingga menit berganti jam, Jova hanya diam saja seperti patung, dan Felix pun sibuk dengan ponselnya entah sedang kerja atau sedang bermain game, Jova tidak perduali, pekerjaanya hanya menjaga Felix dan memperingatkan waktu makan, minum obat dan istirahat.
"Tuan kini waktunya minum obat." Alarm tanda minum obat telah berbunyi. Felix menatap Jova dengan tatapan yang sengit.
"Aku nggak mau minum obat!"
Jova tercengang. "Hah... gimana ceritanya sakit tidak minum obat?" tanya Jova dengan bingung, dan tentunya suara yang cempreng ke luar juga.
"Aku nggak bisa menum obat," dengus Felix dengan memalingkan wajahnya, sontak saja Jova tertawa dengan renyah bahkan mungkin suara tawanya terdengar sampai lorong luar rumah sakit.
Wanita itu pun tetap tertawa dengan terkekeh, meskipun Felix sudah memelototonya.
"Setop!! Apa kamu mau dipecat," ancam Felix dengan mata nyalang.
"Ampun suhu."
"Aku pikir suhu taunya cupu." Jova kembali tertawa, kali ini tawanya di balik telapak tanganya.
"Jova..."
"Ah, maaf Tuan, saya hanya bercanda, lagi pula bercanda dan tertawa itu sehat, jadi kalau mau sehat banyak-banyaklah tertawa seperti saya, jadi sehat terus," bela Jova, sembari bibir bawahnya digigit sebagian agar tidak kecolongan, bisa-bisa di pecat betulan dirinya.
Felix kembali menatap dengan tatapan yang super tajam. "Apa kamu sudah bosan bekerja?" Pandangan mata Felix masih terus menatap Jova tanpa kedip, seolah wanita itu sedang di kuliti oleh Felix.
Buru-buru Jova menggelengkan kepalanya dengan kencang dan yakin. "Mana mungkin Tuan, saya adalah wanita yang matre sehingga saya memimpikan memiliki uang yang banyak, dan caranya adalah dengan bekerja giat dan benar, agar gajih saya naik."
"Ok kalau gitu aku akan potong gajih kamu, setiap aku lihat kamu tertawa, dan aku akan naikan gaji kamu setiap kamu patuh dan nurut dengan ucapan aku."
Jedueerrr... Suara petir kembali menyambar tubuh Jova yang sedang duduk di samping Felix.
"Tuan, tapi masa Anda tega melakukan ini semua, bahkan saya baru terpikirkan bahwa gaji saya yang dua juta akan di kirimkan untuk ke dua orang tua saya, dan yang satu juta akan saya gunakan untuk kebutuhan saya sendiri tapi kenapa Anda..." Ucapan Jova pun terhenti ketika tangan Felik diangkat ke atas menandakan bahwa laki-laki itu tidak mau dibantah bicaranya.
"Stop!!! Kalau berani protes potong lagi sampai lima puluh persen." Felix terlalu candun melihat wajah Jova yang seperti orang bingung itu hanya diam dan mematung tanpa bicara sepatah kata pun.
Sesuai peritah bosnya yang meminta diam Jova pun memilih diam, dan meletakan obat-obat yang ada di tangnya, dengan langkah yang lemas Jova berjalan ke arah sofa dan memilih duduk, mengambil ponselnya dan kembali melanjutkan menulis novel di aplikasi online.
Masa bodo laki-laki itu tidak mau minum obat atau apalah, sakit dia ini yang merasakan. Jova terlalu sakit hati dengan sikapnya, apa yang Jova katakan dan lakukan pun akan selalu salah.
"Pembenci akan tetap menjadi pembenci, meskipun yang di benci melakukan seribu kebaikan, karena kerusakan ada pada hati mereka, bukan pada orang yang di benci."
Itu sebabnya Jova lebih baik diam, karena seorang yang sudah benci akan selalu membenci sekalipun yang di benci tidak melakukan apa apa. Lalu apa untungnya kita berbuat baik pada mereka.
Cukup lama di dalam ruangan rawat yang menyerupai hotel ada dapur, sofa, Tv dan kamar mandi yang super mewah. Jova sebenarnya nyaman untuk merwat orang sakit, terlebih ruangan rawat yang mewah nyaman bukan hanya untuk pasien, tetapi juga untuk yang menjaga.
Jova terus diam, perinsip dia tidak akan berbicara kalau tidak ditanya atau Felix yang tidak meminta bantuan pada dirinya.
"Jojo, bukanya tadi kamu meminta aku minum obat? mana obatnya?" Akhirnya Felix juga yang lebih dulu mengajak Jova berbicara. Hati Jova ingin menjerit dengan kencang, baru juga di senang dengan perlakuan Felix yang cuek, bahkan dua jam dia tidak berkomunikasi dengan Felix otaknya langsung encer menulis cerita tokoh antagonis yang sangat mengesalkan. Dan feel-nya langsung dapat karena ia membayangkan bahwa tokoh itu adalah Felix, bos sekaligus suami dadakanya.
Wanita itu mengangkat wajahnya, mencoba menarik bibirnya hingga membentuk garis lengkung yang indah.
"Maaf Tuan, bukanya tadi Anda yang bilang tidak bisa minum obat?" jawab Jova dengan berhati-hati.
"Terus kalau aku tidak bisa minum obat kamu diam saja tidak mencoba mencari cara untuk aku bisa meminum obat?" Felix menatap tajam pada Jova yang sedang berjalan menuju arahnya.
"Saya sebelumnya tidak berpengalaman untuk bekerja sebagai perawat, katakan apa yang harus saya lakukan." Meskipun Jova sedang marah dan kesal dengan apa yang Felix lakukan yang menurutnya sangat semena-mena, tetapi Jova mencoba berbuat sabar. Hanya sabar yang bisa membuat dia bisa mengimbangi sifat keras kepala Felix.
"Kamu carikan aku pisang untuk minum obat, karena aku hanya bisa minum obat dengan pisang," ujar Felix dengan nada yang ketus.
"Pisang? Sekarang?" tanya Jova bingung juga, dia seumur-umur baru tahu ada orang minum obat pakei pisang.
"Tidak, tahun depan. Ya sekarang Jojo, kalau nunggu nanti-nanti yang ada aku semakin parang sakitnya." Kedua mata Felix langsung melebar sempurna.
"Pisang apa yang harus aku beli? Dan uangnya mana?" Jova mengulurkan tanganya.
"Untuk pisang kamu tanya saja pisang yang buat minum obat, aku tidak tahu nama pisangnya, dan untuk uang pakai uang kamu dulu aku tidak bawa uang," ucap Felix dengan santai.
Jova pun langsung merogoh saku celananya, tas dan dompetnya di simpan di dalam loker dia tidak sempat membawanya karena ia pikir akan kembali lagi ke tempat kerja, tetapi sepertinya dia tidak akan tahu kapan ia akan kembali ke tempat kerja.
Sementara pasien yang dia rawat saja sangat menyebalkan. Dan pastinya sangat lama untuk sembuhnya, belum manja dan keras kepala. Huh... nasib.
Wanita itu menunjukan lembaran rupiah berwarna hijau satu lembar dan satu lembar lagi berwarna coklat, yang menandakan ia hanya memiliki uang pecahan dua puluh lima ribu rupiah.
"Saya tidak membawa tas dan dompet, tas dan dompet saya tertinggal di loker dan saya hanya punya uang segini apa uang segini cukup untuk membeli pisang yang Anda maksud."
"Kamu tolong ambil dompet aku di tas itu. Ambil satu kartu yang bewarna hitam." Felix menunjuk tas kerjanya yang ada di atas nakas cukup jauh dari dirinya.
Jova pun mengikuti apa kata Feli. Wanita itu tidak mengambil kartu sesuai yang Felix katakan, tetapi mengambil tasnya.
"Ini tas Anda dan soal kartu Anda ambil sendiri, saya takut nanti akan ada barang yang hilang malah saya di tuduh yang tidak-tidak."
Felix mengambil tasnya dan memberikan satu kartu pada Jova. "Pegang ini, kamu ambil uang untuk membeli pisang dan pegangan selama di rumah sakit. Nomor pin-nya nanti aku kirim ke nomor ponsel kamu."
"Ini uang yang di dalam sini ada berapa, baiknya Anda cek dulu, dan nanti saya ambil berapa sisa berapa di deposit Anda. Saya takut nanti Anda akan menuduh saya menggelapan uang-uang Anda. Saya tidak mau di kira mencuri. Lebih baik di cek dulu ada berapa saldonya dan nanti dikurangin uang yang saya ambil, sisanya biar jelas." Sesuai dari pengalaman yang sudah-sudah Jova tidak mau di tuduh yang tidak tidak. Apalagi kalau tuduhanya mencuri. Amit-amit deh.
"Udah kamu ambil saja, ribet banget."
Jova pun ikut kemauan Felix lagi, dari pada protes, akan makin panjang.
Namun, tetap Jova tidak kehilangan akal untuk antisipasi, dia mengecek saldo dulu sebelum mengambil uang tunai lalu mengambil dengan nominal satu juta. Bagi Jova satu juta sudah banyak toh kalau lebih bisa di kembalikan lagi dan setelah tarik tunai ia kembali mengecek saldo uang yang ada dalam kartu sakti bosnya itu.
Selanjutnya tentu mencari apa yang Felix mau pisang sunpride, setelah itu ia kembali ke rumah sakit. Tidak pakai lama karena ternyata di sekitar rumah sakit ada toko buah dan juga ada mesin tarik tunai.
"Ya salam, kebiasaan deh, kita mah jalan saja buru-buru kepanasan ini malah tidur," gerundel Jova.
Demi kedamaian bersama Jova pun tetap mendiamkan suaminya yang masih pulas tertidur. Saat laki-laki itu tidur maka waktu yang tepat untuk Jova kembali merangkai kata demi kata membuat sembuah cerita lanjutan dari novelnya.
"Ya Tuhan, kira-kira aku di tempat ini berapa hari yah, gimana dengan cemong nanti di rumah, pasti dia nyariin aku. Biasanya ada teman bermain ini tidak ada pasti cemong kesepian," gumam Jova bahkan ia jadi tidak bisa berpikir ketika teringat anak asuhnya sendirian di rumah.
Namun, sedetik kemudian Jova memiliki ide. "Ah mungkin saja kalau malam hari aku akan tetap pulang ke rumah dan yang menjaga di rumah sakit asisten Arzen." Kini hatinya pun sedikit tenang. Obat capenya selama ini adalah cemong.
Seperti biasa ketika Jova ada masalah, Arzen adalah teman yang cocok untuk membagi masalahnya, hingga dia menemukan solusinya.
Namun, baru saja Jova hendak mengetik pesan untuk Arzen, Jova di kagetkan dengan suara ringikan dari arah ranjang pasien, yah pelakunya adalah Felix. Wanita itu yang terkejut pun beranjak untuk mendekat ke arah Felix, dengan hati yang cukup was-was, karena ia berpikir Felix merasakan sakit, tetapi sepertinya dia bukan meringik karena sakit.
"Mah, Mamah, kenapa pergi Mah. Aku di sini tinggal sama siapa kalau Mamah pergi? Mamah Felix tidak bisa hidup tanpa Mamah, Papah sudah menikah lagi dengan janda kaya itu."
Jova bergeming di samping ranjang suaminya memperhatikan Felix yang nampak gelisah seperti orang yang sedang mencoba menggapai sesuatu, tanganya gerak-gerak tanpa tahu apa yang hendak ia raih, kepalanya juga miring kanan dan kiri.
"Tuan... Tuan..." Jova membangunkan Felix dengan menepuk pundaknya pelan, cukup lama laki-laki itu masih dikuasai oleh alam bawah sadarnya. Sampai akhirnya Felix perlahan sadar dari mimpi buruknya, keringat di keningnya menandakan bahwa mimpi yang barusan terjadi adalah mimpi yang sangat buruk.
Perlahan Felix membuka matanya dengan pelan, dan mengerjapkanya berkali-kali. "Kenapa kamu ada di sini?" tanya Felix dengan ketus.
Sementara Jova kaget dong bukanya tadi yang minta Jova tetap tinggal di rumah sakit untuk merawatnya adalah laki-laki yang sama dengan yang ada di hadapanya.
Jova yang salah atau justru Felix yang sebenarnya gegar otak, atau amnesia.
"Tuan, bukanya tadi Anda yang minta saya untuk bertukar pekerjaan dan sekarang menjaga Anda, tapi kenapa Anda seperti lupa." Jova mencoba menjelaskan apa yang membuatnya tingga di ruangan yang horor ini.
"Tidak, aku tidak meminta kamu untuk tinggal di sini."
Deg!!
"Ini Tuan Felix yang kesambet, atau justru amnesia alias gegar otak?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Isnaeni
lanjut thor🥰🥰🥰🥰🥰
2023-01-31
1