Sesuai yang di katakan Felix. Bahwa keesokan harinya mereka kembali ke Jakata. Lebih tepatnya Felix yang kembali ke Jakarta, sedangkan Jova sudah jelas ini adalah pertama kalinya dia akan menginjakan kakinya di Ibukota, kota Metropolitan yang terkenal dengan kota dengan penduduk terpadat di dunia menduduki urutan ke 29.
Bahkan untuk membayangkan Jakarta seperti apa, Jova tidak berani. Yang Jova tahu Jakarta terkenal dengan gedung-gudung yang tinggi, itu pun dia tahu dari televisi dan juga ponsel, internet yang banyak memuat artikel dengan kota-kota di Jakarta dan sekitarnya.
Karena hari ini harus melakukan perjalanan yang cukup memakan waktu panjang. Pagi hari Jova mengendap-endap kembali ke kamarnya lalu duduk di samping jendela dengan menunggu adzan subuh untuk melakukan kewajiban dengan mendengarkan suara kokokan ayam yang merdu.
"Sepertinya aku akan kangen dengan suasana seperti ini, di Jakarta nanti tidak akan aku mendengarkan suara kokok ayam dan adzan dari surau seperti sekarang ini. Jova terus menatap keindahan pagi dari balik jendelanya. Setelahnya menatap ke arah ranjang, di mana di ranjang sana ada suaminya yang masih terlelap dalam tidurnya. Masih merangkai mimpi yang indah.
Sebenarnya Jova masih ngantuk terlebih lagi-lagi semalam dia tidak bisa tidur karena membayangkan nasibnya nanti di Jakarta. Hampir dua jam Jova hanya duduk di kursi usang menatap keluar dari jendela kamarnya, hingga suasana gelap beranjak sedikit demi sedikit berganti pagi yang cerah.
Kembali pandangan mata Jova menatap Felix yang mulai menggeliatkan tubuhnya, dan itu tanda-tandanya laki-laki itu akan bangun. Sebenarnya biasanya Jova akan membantu ibunya menyiapkan sarapan dan beberes rumah, tetapi karena sejak tadi Jova merasakan bahwa masih banyak tetangga yang bantu-bantun (Rewang) sehingga wanita itu pun memilih tetap berdiam diri di dalam kamarnya.
Wanita yang baru dinikahi oleh Felix kemari memilih berdiam diri di dalam kamarnya melamun. Eh, bukan melamun, tetapi lebih tepatnya mempersiapkan diri untuk menguatkan mentalnya nanti di Jakarta. Merantau, mungkin lebih tepatnya seperti itu. Banyak orang mengatakan apabila merantau harus punya mental baja.
"Sedang apa loe di situ?" Suara berat dan serak berhasil mengagetkan Jova.
"Mau membangunkan kamu untuk bersiap mandi, bukanya hari ini kita akan pergi ke Jakarta," jawab Jova dengan nada suara yang di perkecil, agar tidak ada yang mendengar ucapan mereka yang tinggi, pasti nanti apabila ada yang mendengar dari luar jadi bahan gunjingan tetangga. kasihan orang tuanya, karena yang pasti kepikiran adalah orang tua dan adiknya.
"Pukul Enam dan lebih baik kamu mandi semakin cepat kamu mandi itu tandanya kita akan semakin cepat pergi dari rumah orang tua saya, bukanya itu yang Anda mau." Jova tahu kalau Felix pasti tidak akan menolak apabila Jova berkata demikian.
Benar saja tanpa protes kini Felix langsung ke luar dengan menyambar handuk dan pakaianya, sementara Jova memilih merapihkan pakaian milik dirinya yang masih lumayan untuk di pakai, terlebih nanti ia juga akan kerja sehingga Jova hanya membawa pakaian yang masih lumayan pantas untuk di pakai bekerja. Tidak usah menunggu lama Jova membereskan pakaian dan barang-barangnya toh Jova juga tidak banyak barang.
Pukul tujuh, Jova dan Felix sudah mulai ke luar kamar, tidak jarang banyak yang meledek terlebih ketika Felix baru bangun tidur dan mandi berkeramas, rambut basah. Ibu-ibu tetangga yang melihatnya ramai saling bisik dan saling tatap pada Jova dan Felix.
Meskipun Jova tidak begitu paham dengan yang di maksud oleh mereka, tetapi Jova tahu kalau mereka sedang meledek dirinya dan suami barunya.
"Kalian mau ke mana Jo, Fel?" tanya Janu ketika melihat putrinya ke luar kamar membawa tas jinjing yang cukup besar berisi pakaianya.
"Mulai sekarang Jova ikut saya Pak, kan Jova sudah jadi istri Felix, jadi kemnana pun Felix pergi Jova akan ikut saya." Felik menggenggam tangan Jova dengan kuat, siapapun yang melihatnya pasti akan berpikir kalau Felix memang benar-benar mencintai Jova. Namun jelas tidak dengan Jova dia malah mengumpat Felix dari dalam hatinya yang sedang berdrama.
"Gila, laki-laki ini benar-benar bisa banget kalau berbohong, ektingnyaa sangat bagus, jangan-jangan dia itu aktor sehingga pinter ektingnya," umpat Jova dalam batinya, rasanya Jova sendiri tidak bisa mengangkat wajahnya, sedih dan juga takut bagaimana hidupnya nanti di Jakarta, terlebih Felix sifatnya sangat menakutkan, berubah-ubah. Jova sampai-sampai memiliki pikiran buruk seperti orang-orang dalam berita yang bernasib buruk dapat suami jahat, ada yang di pukulin sampai masuk rumah sakit, kerja rodi jadi pembantu, malah ada yang sampai meninggoy gara-gara kekerasan dalam rumah tangga, dan malah ada lagi yang anggota tubuhnya di potong-potong. Jova sendiri sampai bergidik ngeri dengan apa yang dia banyangkan sendiri, ih serem.
Janu sedari tadi memperhatikan putrinya yang sedang menunduk. "Jo, apa kamu yakin, dan siap akan ikut suami kamu?" tanya Janu dengan suara yang berat. Tidak bisa dipungkiri bahwa Janu juga merasakan berat dan bersalah ketika anaknya akan mengikut suami barunya, yang Janu sendiri tahu bahwa Jova tidak bahagia dengan pernikahanya.
Perlahan Jova pun mengangkat wajahnya, dan memberikan senyum terbaiknya. "Jova yakin yah, lagi pula Jova yakin dan percaya Mas Felix itu orang yang baik dan bertanggung jawab, jadi Ayah jangan khawatir semuanya akan baik-baik saja." Yah, Jova pun harus merubah panggilanya dengan embel-embel Mas pada Felix di hadapan keluarganya.
Andai di dalam rumah ini tidak banyak tetangga dan hanya ada Jova dan Janu saja, pasti ia akan berlari menghampiri Janu untuk memeluknya, meminta dukungan agar dirinya tetap kuat menghadapi ini semua. Namun karena banyak tetangga apabi terjadi tangisan yang ada akan jadi bahan gosip.
"Kalau begitu Ayah tidak bisa melarangnya, karena memang kamu sudah menikah, dan tanggung jawab ayah saat ini jatuh pada Felix. Ayah hanya bisa mendoakan agar rumah tangga kalian langgeng, dan kalian adalah jodoh sejati yang Allah kirikan, dan bisa menghadapi berbagai masalah dalam rumah tangga." Janu kini bergantian menatap pada Felix, menantunya, yang tanganya sejak tadi menggenggam tangan Jova, tetapi tidak tahu dengan batinya.
"Amin."
"Kita sarapan dulu." Janu sengaja meminta anak dan menantu barunya agar duduk di meja makan, ada yaang ingin dia katakan pada Felix, sebagai orang tua laki-laki yang ingin memasrahkan anak perempuanya pada laki-laki yang menyandang suaminya. Janu tidak bisa berharap terlalu banyak pada Felix, tetapi Janu berharap Felix akan sedikit saja memiliki hati sehingga tidak berbuat kasar pada anak perempuanya.
Felix sekilas melirik pada meja makan yang sederhana. "Kami nanti makan di jalan saja Yah," tolak Felix dengan lembut.
"Sebentar saja Ayah ada yang ingin dibicarakan juga, sebentar saja kok." Dengan suara yang memohon Janu memaksa agar Felix menuruti kemauannya. Lasmi sendiri dari dapur hanya bisa diam. Yah, ibu dua anak itu memang lebih banyak diam sejak kemarin, entah mengapa perasaanya memang dari awal tidak begitu setuju dengan rencana perjodohan ini, tetapi lagi-lagi keadaan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia harus merelak anak perempuannya dijodohkan untuk menebus hutang-hutang mereka.
Felix dan Jova pun akhirnya mengikuti kemauan Janu. Jova melayani suaminya mengambilkan nasi beserta sayur buncis dan tempe serta satu potong ayam kecap, dalam rumah keluarga Jova makanan dengan menu seperti itu sudah sangat mewah.
"Maaf kalau kamu terpaksa harus ikut sarapan dengan kami. Ayah hanya ingin berbicara." Janu diam sejenak, menghela nafas untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. "Ayah titip Jova, kami tahu kamu menikah dengan Jova karena perjodohan, perasaan sesungguhnya kamu, kami tidak tahu, tetapi Ayah hanya ingin kamu perlakukan dia layaknya sebagai sesama makhluk hidup. Kalaupun tidak mencintainya, Ayah mohon jangan bikin dia menderita, jangan sakiti dari fisik ataupun mentalnya. Kalau kamu sudah merasa tidak sanggup lagi hidup dengan anak Ayah, Kami mohon kembalikan Jova pada kami, dengan tangan terbuka kami akan terima Jova." Janu menatap Felix dengan tatapan memohon.
"Ayah tenang saja , saya akan berusaha untuk menjadi suami yang baik untuk Jova." Felix menatap Jova dengan dalam, Jova sendiri melakukan hal yang sama meskipun Jova tidak tahu apa arti dari tatapan itu, tetapi besar harapan Jova kalau Felix akan menepati apa yang dia katakan tadi. Ya minimal jangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga itu yang Jova minta terus menerus dengan Sang Penciptanya.
Janu dan Lasmi sedikit merasakan kelegaan karena janji Felix pada putrinya.
Setelah sarapan Janu serta Lasmi sudah memberikan Wejangan untuk Jova maupun Felix. Kini Jova dan Felix benar-benar pamit. Jini sendiri sedari tadi sudah terisak dalam tangisanya. Gadis remaja itu tidak kuasa menahan sedih ketika harus berpisah dengan kakak satu-satunya.
Tidak ada ucapan dari Jini untuk sang kakak selain doa dan janji agar Jova selalu baik-baik saja.
"Jova, kamu nanti nurut sama suami kamu yah, belajarlah jadi istri yang baik dan patuh pada suami kamu. Karena surganya istri ada dalam suaminya. Maka patuhi dan layani suami kamu dengan ikhlas. Ayah tahu kalian tidak saling cinta, tetapi ayah berharap suatu saat nanti kalian akan saling tahu apa itu indahnya pernikahan, dan bisa saling berkorban untuk meraih surga-Nya.
Jova hanya bisa membalas dengan anggukan kepala, dan isakan samar. Tidak lupa Janu juga lagi dan lagi menitipkan pada Felix. Ini adalah perpisahan pertama diantara mereka sehingga terasa berat bagi Janu dan keluarganya, begitu pun pada Jova.
Perpisahan yang mengharu biru membuat Jova semakin tidak bisa membendung air matanya. Yah, dia akan mulai berperang, berperang dalam kehidupanya yang akan datang.
"Inilah kehidupan yang sesungguhnya baru akan di mulai," gumam Jova, sembari memegang dada sebelah kirinya sesak yang ia rasakan.
"Aku pasrahkan perjalanan hidup ini padamu Rob."
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments