"Udah Yah, jangan paksa Jova untuk menikah dengan anak orang kaya itu. Ibu juga takut kalau dia akan sengsara nantinya. Biar ibu ikuti saran dokter saja untuk jual ginjal ibu yang sebelah, kan ibu sehat tidak merokok, tinggal cari yang beli maka hutang-hutang kita lunas."
Deg!!!
Jantung Jova seolah berhenti, kala mendengar penuturan ibunya. Gadis itu mengangkat wajahnya perlahan, dan pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata sang ayah. Ada tanya dari pandangan mereka.
"Ibu apa yang Ibu katakan? Apa Ibu tidak tahu apa bahayanya menjadi pendonor ginjal? Andai berhasil kita dapat uang setara dan badan tetap bisa sehat, dan kalau gagal, ibu akan jadi pesakitan seperti Jini, belum resiko nyawa. Ayah tidak akan membiarkan hal itu terjadi," bentak Janu dengan suara yang meninggi.
Lagi, air mata Jova tidak bisa dibendung. Ketika sang ibu mereka rela mengorbankan ginjalnya untuk membayar hutang-hutang keluarga. Lalu dia sebagai anak tidak bisa berkorban untuk keluarganya.
"Kita akan jual rumah ini untuk membayar hutang-hutang ayah," ucap Janu dengan suara yang bergetar.
Ini adalah rumah peninggalan kakek, dan nenek mereka. Bahkan kalau dijual pun belum tentu akan lunas hutang-hutang mereka.
"Jova mau menikah dengan anak juragan Guntoro, Yah, Bu," ucap Jova yakin, tanganya mengusap air mata yang menetes di pipinya dan mencoba membuat garis lengkung di bibirnya dengan samar, bahkan senyum yang terpaksa tidak bisa menyembunyikan kesedihanya.
Lasmi menatap Jova dengan tatapan yang dalam. "Ibu, dan Ayah tidak mau membuat kaliana menderita, dengan menanggung hutang-hutang kami," balas Lasmi. "Kalian anak-anak kami sepatutnya kami melindungi dan mencukupi kebutuhan kalian, bukan meminta kalian untuk melunasi hutang kami. Hutang ini tanggung jawab kami."
"Jova ikhlas Ibu, bukanya Ayah tadi berkata kalau kita ada Tuhan yang pasti akan melindungin kita dimanapun kita berada? Lalu kenapa Jova harus ragu dengan bantuan Tuhan. Ibu tenang saja Jova akan baik-baik saja." Kini gantian Jova yang menatap Lasmi dengan yakin.
"Andai ayah punya pekerjaan yang tetap seperti orang lain, kalian pasti tidak menderita seperti ini. Semua ini karena ayah yang tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga kalian harus ikut menderita seperti ini."
"Yah, bukanya Ayah selalu berkata pada kami agar kami selalu percaya akan takdir. Sekarang Ayah jangan berkata seperti itu, Ayah dan Ibu cukup doakan Jova agar ini adalah takdir Tuhan yang terbaik untuk kita semua."
Jova melihat ada garis bahagia di wajah kedua orang tuanya. Meskipun tidak dipungkiri hatinya sendiri gamang. Gadis itu bahkan tidak bisa melihat ada warna di masa depannya, ia hanya melihat satu warna yaitu kegelapan.
Jova kembali menyunggingkan senyumnya. "Kalau gitu, Jova masuk kamar dulu Bu, Yah, mau mandi cape."
Gadis itu beranjak dari duduknya, dan mengayunkan kaki menuju kamarnya.
"Yeh, akhirnya bisa nikah juga," gumam Jova, dengan merentangkan tanganya, ini adalah cara Jova agar orang tuanya menganggap kalau dirinya tidak terpaksa melakukan ini semua, meskipun lagi-lagi memang dirnya terpaksa melakukan ini semua.
Namun, biarlah ia berkorban untuk keluarganya. Sudah sepatutnya ia membalas bakti kedua orang tuanya.
Lagi, Jova harus dikejutkan dengan wajah sedih Jini, bahkan Jova melihat aliran air mata di pipi mulus sang adik.
"Maafkan Jini, Kak. Gara-gara Jini yang sakit, Kakak jadi nanggung ini semua," isak Jini, pandangan matanya tidak berani menatap Jova.
"Hai... Kakak ikhlas melakukanya, kakak tidak pernah menyalahkan Jini, sekarang yang Jini harus lakukan adalah Jini semangat untuk sembuh. Jangan buat kami sedih dengan Jini yang seperti ini. Apa yang aku lakukan ini tidak gratis. Ingat kamu harus bayar lunas dengan kesembuhamu," ucap Jova dengan mengusap rambut sang adik yang dengan sengaja di potong menyerupai laki-laki. Dengan alasan gerah dan nyaman dengan rambut pendeknya.
Meskipun berambut cepak dia tetaplah gadis feminim yang cantik.
"Tapi gimana kalau ternyata apa yang Kakak sudah lakukan dan juga Ayah dan Ibu lakukan untuk kesembuhan Jini, tapi Allah tidak juga mengangkat sakit Jini?" tanya gadis kecil itu dengan senyum getirnya.
"Kakak tahu perjuangan kamu sampai detik ini sudah sangat luar biasa, tetapi ayolah semangat terus sampai kamu sembuh. Kita sama-sama berjuang gimana? Kakak berjuang di rumah tangga nanti dengan keluarga baru kakak, dan kamu berjuang untuk sembuh," tawar Jova dengan suara semangat, agar Jini juga semangat lagi.
"Baiklah Jini terima tantangan Kakak, tapi bagaimana kalau ternyata Jini yang kalah dan tidak pernah akan sembuh?" lirih Jini, kadang dia yang merasakan sakit juga lelah untuk berjuang terus menerus.
"Kakak akan marah, marah banget, bahkan kakak juga akan menyerah untuk berjuang," balas Jova, tanganya menarik tubuh Jini gadis yang saat ini usianya menginjak lima belas tahun lima, dan lima bulan lalu dokter mendiagnosa sakit gagal ginjal.
Sejak saat itu perekonomian keluarga mereka jungkir balik, bahkan Jini harus berhenti sekolah padahal seharusnya di tahun ini ia lulus dari sekolah menengah pertama.
Takdir Tuhan memang tidak bisa ditebak. Jini memang sering sakit-sakitan bahkan sejak kecil daya tahan tubuhnya lemah, tetapi baru di ketahui sakitnya setelah semuanya parah.
Keluarga Jova pun harus berhutang ke sana ke mari untuk biaya Jini berobat, hingga datanglah bantuan dengan dalih suka rela dari juragan Guntoro, padahal mereka tinggal di desa yang berbeda, meskipun masih satu kota. Dengan alasan kepepet Janu pun menerima pinjaman tanpa bunga tanpa syarat dari juragan kaya raya itu.
Meskipin Janu dan Lasmi juga curiga bahwa rasanya sangat mustahil orang kaya seperti Guntoro meminjamkan uangnya cuma-cuma. Belakangan baru diketahui kalau mereka menginginkan Jova anak sulung mereka sebagai istri dari anaknya yang dikenal perjaka tua, yang bernama Felix.
"Tapi Kakak juga janji yah, kalau Kakak akan berjuang demi kebahagiaan Kakak," lirih Jini, tangan kecil yang kurus mengusap sisa air matanya.
"Siap adik kecil." Jova meberikan simbol hormat dengan badan yang tegap. Jini pun terkekeh samar melihat kakaknya yang bersemangat itu.
"Kita berjuang bareng." Jini membentuk simbol semangat dengan membentuk sebelah tanganya membetuk sikut.
"Siapa takut."
Ini adalah janji mereka untuk berjuang, dan tentunya untuk saling mendukung, memberikan kekuatan satu sama lain.
Pandangan Jova menatap langit-langit rumahnya yang sudah banyak lubang di mana-mana, ini adalah rumah peninggalan dari kakek dan neneknya dulu, sehingga sudah tidak aneh lagi ketika terdapat banyak lubang di atap rumah mereka.
Merenovasi rumah adalah impian orang tuanya yang sudah lama diucapkan, tetapi sampai detik ini mereka belum bisa mewujudkanya. Meskipun apabila musim penghujan tiba, bocor sudah menjadi hal yang biasa. Mereka akan menggunakan wadah untuk menadahi air yang masuk lewat celah-celah atap rumahnya.
Tubuh Jova dimiringkan, melihat tubuh adiknya yang sedang tidur di sampingannya. Jini sebenarnya ada kamar sendiri, tetapi sejak sakit orang tua mereka meminta Jini untuk tidur bersama Jova, dengan alasan takut terjadi apa apa.
"Besok keluarga Guntoro akan datang untuk menentukan hari pernikahan, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima perjaka tua itu sebagai suamiku," gumam Jova dalam kesunyian malam. Malam ini ia bahkan tidak bisa tidur, pikiranya melalang buana entah ke mana, memikirkan perjodohan ini.
Mulai dari membayangkan laki-laki yang akan menjadi suaminya yang jaraknya lima belas tahun denganya. Laki-laki tua dan galak ada dalam bayanganya. Hingga gadis itu bergidig sendiri membayangkan laki-laki yang akan menjadi suaminya. Belum galak dan pasti sangat menyebalkan, bau badan, dan ngorok kalau tidur.
Jova menggosok-gosok wajahnya dengan kedua telapak tanganya.
"Amit... Amit..." Ia menepis pikiranya yang membayangkan sosok mengerikan itu. Hingga pagi menjelang ia baru bisa memejamkan matanya.
Di tempat berbeda.
[Kalau kamu mau tanda tangan Bapak. Besok jam tiga sore kamu harus sudah ada di rumah. Bapak sudah mendapatkan calon istri buat kamu. Tidak ada alasan, dan tidak ada penolakan.] Itu adalah pesan yang barusan dibaca oleh Felix.
Brakkk... Felix membanting ponselnya.
“Sumpah demi apa pun kalau bukan karena butuh tanda tangan Bapak, aku nggak mau nikah apalagi karena perjodohan,” geram Felix.
Tidak berbeda dengan Jova, Felix juga membayangkan hal yang sama, bagaimana rupa wanita yang akan jadi istrinya.
“Gadis kampung, pasti pendek, jelek, item, rambut seperti mie, dan norak,” gerundel Felix. “Amit-amit, nasib gue buruk amat.”
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Bidadarinya Sajum Esbelfik
heeeeyyy Felix.. aqu mmang dr kampung. pendek rambut ikal. tp nggak jelek kok😂😂😂😂
2023-02-22
2
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
macem mana, imaginasi memang luar biasa 😅
2023-01-18
1
As Cempreng tikttok @adeas50
akankah Felix menjadi orang yang dicintai Jova? penasaran. semangat kaka🥰
2023-01-18
6