Cinta Tanpa Tapi
***
Bagi gadis yang usianya sudah di atas dua puluh lima tahun harapan terbesar dalam hidupnya yaitu bisa mendapatkan jodoh impian dalam waktu yang dekat. Begitupun yang diharapkan olehku. Yang saat ini bekerja sebagai guru honorer SD di kampung halaman tercinta.
Sinar mentari membakar kulit menemani langkahku menyusuri jalan yang tak beraspal.
Kiri kanan jalan sejauh mata memandang dihadapkan dengan pemandangan hamparan luas pesawahan yang berwarna kuning keemasan dengan padi yang mulai siap dipanen.
Kuayunkan langkah dengan terburu berharap bisa cepat sampai rumah dan bisa segera beristirahat.
Usai makan siang dan merebahkan diri di atas pembaringan, sejenak meluruskan tulang punggung dan rasa penat aku pun beranjak dari kamar menuju rumah Lyra, sahabatku yang terhalang oleh satu rumah. Sekedar untuk curcol dan berhaha hihi ria.
Saat asyik ngobrol ngaler ngidul dengan Lyra, aku dikejutkan dengan dering ponsel dari dalam saku rok panjang yang kukenakan.
"Haloo ... Assalamualaikum, maaf, ini dengan siapa, ya?" tanyaku hati-hati.
"Dasar pelakor! Kamu berani merebut calon suamiku, hah!" Terdengar suara tinggi milik seorang perempuan di ujung telepon sana yang membuat jantung berdegup kencang.
Aku tak menyangka sedikit pun kalau Iwan tega membohongi dan membuat kecewa. Baru seminggu yang lalu ia menemuiku di rumah.
Meyakinkan Emak dan Abah kalau dirinya akan datang melamarku langsung setelah kelulusan dari tempatnya menimba ilmu di pesantren salafi tempatnya mondok.
"Maaf, Teh, saya sama sekali gak tahu kalau Kak Iwan sudah mempunyai calon istri."
Aku berusaha menata hati agar tidak tersulut emosi mereda rasa kecewa yang tiba-tiba membuncah di rongga dada.
"Gak usah ngeles, deh, kamu! udah tahu calon suami orang, masih aja dilayanani!"
"Astaghfirullah ... Teh, tidak sedikit pun di hati saya ada niatan untuk menerima ataupun melayani calon suami Teteh, karena yang saya tahu Kak Iwan belum punya calon istri."
Sekali lagi aku memberi penjelasan, lebih tepatnya membela diri.
Karena hati kecilku tak terima, tetiba saja mendapat tuduhan seperti itu dari seseorang yang aku sendiri tidak mengenalnya.
"Horee ... berhasil, berhasil!"
"Kenalin, Teh, aku Ifa. Adiknya Aa Iwan. Aa Iwan sudah cerita banyak tentang Teteh, makanya aku pengen kenal lebih dekat sama Teh Dhinil calon Teteh iparku ini."
Ternyata perempuan itu adiknya Iwan yang sudah sukses membuat emosiku hampir tersulut karena ulahnya.
Semenjak kejadian itu, aku dengannya jadi semakin akrab dan dekat, berinteraksi lewat telepon ataupun sekedar bertukar pesan saling menanyakan kabar satu sama lain.
Seoalah mendapatkan sahabat baru yang bisa diajak curhat dan sharing, begitupun sebaliknya. Kebetuluan usiaku dengan Ifa sebaya dan sama-sama masih menanti calon pendamping yang halal.
***
Malam minggu mungkin bagi sebagian remaja atau bagi yang masih berstatus single adalah malam yang selalu ditunggu kedatangannya.
Namun tidak bagiku, yang lebih suka dan betah menghabiskan waktu dengan mengurung diri di dalam kamar favorit sekedar untuk membaca buku dan mendengarkan lagu nasyid yang menyejukan hati.
Disela-sela asiknya membaca novel karya penulis hebat, Asma Nadia. Perhatianku terusik oleh dering panggilan dari gawai di atas meja, yang ternyata dari Ifa.
"Teh, aku mau minta tolong, bisa ga?"
"Minta tolong apa, Fa?"
"Alhamdulillah Ifa sekarang sudah menemukan calon imam, mudah-mudahan ini yang terakhir dan terbaik. Tapi Ifa ingin tahu apa dia tipe lelaki setia dan baik atau sebaliknya kalau kenal dengan wanita lain."
Ifa memang sudah beberapa kali mengalami kegagalan tiap kali dirinya berniat menuju ke arah pernikahan. Mungkin dikarenakan belum berjodoh atau memang bagian dari ujian hidup.
"Lantas, Teteh harus bantuin apa?" tanyaku masih bingung dengan maksudnya.
"Ifa minta Teteh untuk ngetes dia. Dengan cara Teteh kirim sms atau telepon pura-pura salah sambung, gitu." Ifa mengajari.
"Gak mau lah, Fa. Teteh malu masa cewek duluan yang ngajak kenalan,"
jawabku menolak permintaannya.
"Ayo dong, Teh, bantuin Ifa please!" pintanya, memohon.
Aku pun mengiyakan karena merasa tidak enak hati menolak permintaanya yang setengah memaksa.
"Siapa Fa, namanya?" tanyaku setelah sebelumnya Ifa memberikan nomor telepon orang yang dimaksud.
"Tambah Agung Santoso."
"Itu nama orang apa nama PT. perusahaan, Fa? kok, namanya unik dan asing di kuping?" Sambil terbahak aku bertanya.
"Emang namanya seperti itu, kok, Teh, dari bawaan lahir mungkin," jawab Ifa ikut tertawa kecil.
"Bisa kenal orang itu dapat nemu di mana?" ceplosku, menggodanya.
"Pernah sekampus waktu Ifa dulu kuliah."
"Owh .... !"
"Nanti Teteh coba kirim pesan atau telepon dia."
"Oke, Teh, ditunggu ya, hasilnya."
Setelah Ifa menutup sambungan telepon, aku pun mulai melancarkan aksi apa yang barusan diintruksikan oleh Ifa.
Dengan memakai alamat dan nama samaran yang telah disarankan sebelumnya oleh Ifa kukirim pesan singkat ke nomor telepon yang bernama Mas Agung.
Pesan pertama yang kukirim tidak ada repon, tapi setelah bebarapa kali ada juga balasan darinya walaupun kesannya acuh.
Saat sedang berbasa-basi dengan memperkenalkan diri terlebih dulu,
tanpa sengaja dan diluar kendali kesadaranku pesan singkat yang seharusnya untuk laporan ke Ifa malah dikirim ke nomor Mas Agung.
Setelah kejadian itu hubungan persahabatan antara aku dan Ifa menjadi renggang. Ifa marah dengan keteledoranku yang membuat hubungan dirinya dengan Mas Agung jadi kurang baik, karena Mas Agung merasa tersinggung jadi bahan percobaan kami--aku dan Ifa-- yang dianggap sudah mempermainkannya.
Ifa meminta agar aku tidak lagi menghubungi Mas Agung, aku pun mengiyakan.
Satu tahun sudah tidak berkomunikasi dan bertanya kabar dengan Ifa. Aku fokus dengan kehidupan sendiri di tengah
penantian panjang yang tak bertepi.
***
Cuaca di siang hari terasa sangat panas menyengat. Setelah pulang dari sekolah tempat mengabdikan diri, aku berniat untuk merebahkan diri di dalam kamar sekedar meluruskan badan dan menghilangkan rasa penat di telapak kaki, setelah sebelumnya makan siang.
Baru saja selesai melipat mukena yang kukenakan usai melaksanakan kewajiban salat Zuhur tiba-tiba gawai berdering pelan, segera kuraih benda pipih itu. Dengan ragu kugeser tombol jawab.
"Haloo ... Assalamualaikum, maaf ini sama siapa, ya?"
"Owalaah ... udah lupa tho, sama saya?" jawab suara bass seorang laki-laki dewasa cukup mengagetkanku.
"Emang ini siapa? nomornya gak ada namanya?" tanyaku, penasaran.
"Mas Agung."
"Mas Agung?" Bibirku mengulang jawabannya, beribu tanya dalam hati ada apa gerangan tiba-tiba lelaki itu menghubungiku.
"Iya, Dhinil, gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, Kak, kabarku baik dan sehat."
Tidak menyangka sudah sekian lama ternyata dirinya masih menyimpan nomor ponselku.
"Gimana sama Mang Iwan? sudah ada rencana untuk menuju pelaminan?"
Sebutan Mang, Mamang, biasa dipakai oleh santri laki-laki dan Bibi untuk santri perempuan yang sedang mondok di pesantren salafi di daerah Banten dan Jawa Barat.
"Alhamdulillah, niat sih, ada untuk menuju ke sana tinggal nunggu waktu yang tepat aja."
"Kapan tuh, waktunya?"
"Hanya Allah yang tahu."
"Belum ada kepastian dong, kalau begitu? Semoga dimudahkan jalan menuju ke arah sana."
"Aamiin, Kakak sendiri kabarnya gimana sama Ifa?"
"Kakak tidak berjodoh dengan Ifa."
"What .... ? "
"Oya, Dhinil punya akun Facebook, gak?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Ada, emang kenapa, Kak?"
"Boleh tahu nama akun Facebooknya, apa?"
"Iya, Kak, boleh kok."
Sambil tiduran di dalam kamar, aku mencoba membuka akun sosial berwarna biru. Kulihat ada beberapa permintaan pertemanan salah satunya akun Facebook bernama Tambah Agung Santoso.
[Ini ya, ternyata yang namanya Dhinil? dewasa juga ya orangnya.]
Satu pesan masuk via inbok darinya setelah beberapa menit Facebooknya kukonfirmasi.
[Kenapa gitu, Kak?]
[Enggak, kelihatannya dewasa, mukanya kelihatan keibuan.]
[Waah ... padahal Dhinil belum jadi ibu, lho, Kak.]
[Tapi, calon ibu, tho?]
[Aamiin ... semoga disegerakan.]
***
Saat aku mulai merasa bosan dan jengah dengan penantian jodoh yang tak kunjung pasti.
Mas Agung mengabari bahwa ia akan bertandang ke rumah kakak perempuannya yang sudah berkeluarga yang kebetulan satu daerah denganku. Sekaligus meminta izin untuk datang dan bersilaturahmi ke rumah yang jaraknya sudah lumayan dekat dari rumah kakaknya itu.
Aku terperangah. Ada apa dengan ini semua? Lalu bagaimana dengan pasangan adik-kakak, Ifa dan Iwan?
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Nissa
Keren ceritanya beda dari yg lain
2023-01-19
0