Pertemuan Pertama

***

[Kakak udah sampe Serang, ini lagi istirahat di rumah Teteh, ke rumah Dhinilnya paling nanti besok aja, ya?]

Chat dari Mas Agung melalui inbok, membuatku panas dingin membayangkan pertemuanku besok akan seperti apa.

[Iya, Kak, gak apa-apa ... Met istirahat aja.]

Aku maklum, perjalanan dari Kebumen-Serang yang memakan waktu hampir 12 jam lebih dengan bus malam itu pasti membuatnya sangat capek dan ngantuk.

Pagi ini sengaja aku bangun lebih awal, setelah melaksanakan salat Subuh langsung bersih-bersih dan beres-beres rumah serapih mungkin untuk menyambut kedatangannya.

Belum selesai merapihkan diri di dalam kamar, kudengar ada suara motor yang berhenti di depan rumah. Perlahan mengintip dari balik gorden jendela kamar, nampak seorang laki-laki berperawakan tinggi mengenakan jaket dan celana hitam panjang serta tas gendong di punggungnya turun dari motor lalu melangkahkan kakinya ke arah rumah tetangga sebelah yang kebetulan terdapat warung kecil di sana.

Samar indera pendengaranku menangkap suara bass laki-laki itu menanyakan sesuatu ke penjaga warung.

"Assalamualaikum, maaf, Bu, numpang tanya, rumahnya Dhinil Khoirunnisa sebelah mana, ya?"

"Owh, kebetulan banget, itu rumah Dhinil yang di sebelah rumah saya," jawab Ibu warung sambil menunjuk ke arah rumah dan terdengar langsung olehku karena sedang menguping dan mengintipnya dari balik jendela kamar.

Jantungku terasa semakin berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Mendadak telapak tangan mirip es batu yang baru diambil dari kulkas rasanya. Senang, malu, gugup, dan gerogi, campur jadi satu menyelimuti hati. Bagaimana ini ....

Beberapa menit kemudian terdengar ada suara yang mengucap salam dari arah depan yang langsung dijawab dan dihampiri oleh Emak.

Setelah berbasa-basi dan menanyakan tujuannya Emak pun mempersilahkan duduk dan membuatkan minum untuk tamu tak diundangnya itu.

Aku masih bersembunyi di balik pintu kamar mengumpulkan keberanian untuk bisa menghampiri ke depan sebelum Emak datang menyuruhku untuk menemuinya. Sekali lagi mematut diri dan memutar badan di depan kaca lemari. Memastikan kalau penampilan sudah rapi sempurna, khawatir jilbab yang kukenakan terlihat menceng pas di depan Mas Agung nanti. Setelah dirasa siap dan berusaha menanamkan rasa percaya diri aku mulai melangkahkan kaki menuju ruang tamu.

"Assalamualaikum ...." Dengan suara sedikit gemetar kuucap salam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada yang dibalas dengan hal serupa olehnya seraya menjawab salam.

"Owh, ini ya, yang namanya Mas Agung?" sapaku berbasa-basi berusaha menutupi rasa gerogi yang sejak tadi mendera.

"Iya, Neng Dhinil, ini Mas Agung" jawabnya mengulas senyum

Sekilas kulihat senyumnya yang membuat hati berdesir aneh. Walaupun warna kulitnya tidak terlalu putih tapi terlihat manis dengan hidung mancung dengan bibir tipis. Aku mengaguminya dalam hati. Berharap ia pun tidak merasa kecewa setelah bertemu langsung denganku.

Setelah beberapa lama ngobrol banyak dengan ditemani Emak dan Abah, suasana diantara kami pun mulai sedikit mencair tidak terlalu kaku seperti waktu pertama tadi.

Usai numpang salat Zuhur di rumah dan menyampaikan maksud kedatangannya kepada Emak dan Abah, selain untuk bersilaturahmi juga agar bisa bertemu dan mengenalku langsung. Mas Agung berpamitan, karena di atas langit sana mulai terlihat awan menggumpal hitam pertanda sebentar lagi akan turun hujan.

***

Setelah pertemuan pertama itu, Mas Agung jadi lebih sering menunjukan sikap manisnya. Ia pandai membuat hatiku berbunga dengan perhatian-perhatian kecil yang diberikannya melalui pesan singkat lewat inbok ataupun SMS.

Hari-hari yang kujalani jadi lebih berwarna dan terasa lebih bersemangat dalam menjalani aktifitas, seolah aku mendapatkan semangat baru untuk menyongsong masa depan yang diimpikan.

Aku hampir lupa dengan Iwan yang kukenal lebih dulu dan sudah sering datang ke rumah juga sudah kenal dekat dan baik dengan Abah dan Emak serta keluarga yang lain. Karena Iwan berniat setelah lulus dari pesantren tempatnya menimba ilmu akan langsung melamar dan menjadikanku sebagai pasangan hidupnya. 

Namun, entah kenapa semenjak aku kenal Mas Agung apalagi setelah bertemu langsung dengan sosoknya hati kecilku jadi lebih berharap banyak kepada lelaki asal suku Jawa itu. Bukan karena melihat dari fisiknya yang lebih terlihat tampan dan gagah dari Iwan, tapi karena sikapnya yang telah berani gentle menunjukkan keseriusan dan berani mengambil langkah untuk membuktikan niatnya.

***

[Assalamualaikum, Dhinil ... boleh nanya sesuatu gak?]

Aku membaca satu pesan via inbok saat sedang scroll melalui akun media sosial berwarna biru berlogo huruf F di sela-sela jam istirahat mengajar.

[Waalaikumsalam, boleh, kok, mau tanya apa emang?]

[Eumh ... Dhinil udah pernah punya janji belum sama seseorang?]

[Maksudnya janji apa nih, Kak?]

[Yaa ... janji untuk menikah dengan seseorang gitu?] tanyanya, to the point. Yang berhasil membuat jantungku bergetar halus, tak menyaka akan mendaptkan pertanyaan mendadak seperti itu.

Aku berusaha menata hati yang entah bagaimana rasanya, sebelum membalas dan menjawab pertanyaan darinya. Agar tidak salah jawab. Dan menyesal di hari kemudian.

[Alhamdulillah sampai saat ini Dhinil belum pernah punya janji dengan seseorang atau laki-laki manapun, apalagi janji untuk menuju hal yang sangat sakral itu.]

Aku mengirim balasan chatnya dengan tangan gemetar dan mendadak badanku terasa panas dingin serta hati yang berdebar persis seperti saat kali pertama bertatap muka dengannya.

[Alhamdulillah juga, berarti masih ada kesempatan dong, untuk Mas Agung melamar?]

Deg! jantungku serasa copot, hatiku melambung tinggi sesaat setelah bola mata ini menatap dan membaca chat balasannya.

'Ya Allah ... ! Mudah-mudahan ini bukan hanya mimpi di siang bolong,' doaku dalam hati. 

Di saat aku mulai lelah dan pasrah dengan penantian panjang ini. Karena di usia yang mulai menginjak dua puluh enam tahun belum juga ada tanda-tanda dipertemukan dengan calon pendamping hidup.

Sedangkan menunggu Iwan sampai datang waktunya untuk melamar kurasa hanya penantian yang semu tanpa ada kepastian.

Padahal aku sudah bosan dan jengah mendengar komentar orang di sekeliling mengenai status yang masih tetap melajang.

Masih terngiang di telinga saat ada salah satu teman yang bilang, "Dhin, lo dikatain perawan tua yang gak laku-laku, tuh, sama ibu-ibu yang lagi ngumpul," kata Mira yang saat itu lagi main ke rumahku bersama Lyra.

Mendengar apa yang disampaikan Mira aku pun hanya tersenyum kecut menanggapinya. Ada rasa nyeri dan rasa minder terselip di dalam hati pada saat itu, tapi aku sendiri tidak bisa berbuat banyak selain melangitkan doa kepada Sang Maha Pengatur agar disegerakan bertemu dengan calon pendamping. Apa mereka tidak tahu, kalau masalah jodoh itu bagian dari rahasia Allah yang tidak satu orang pun manusia mengetahui waktunya akan datang.

Bersambung ....

Terpopuler

Comments

Ketawang

Ketawang

5 th lalu prnah dlm masa sprti cerita ini,..
hidup di kampung,usia 26th blum mnikah,. serasa telinga ini hrus pura" tuli mendengar omongan" dr para netizen.. Padahal mereka tdk prnh tau begitu sakitnya prjlnan cinta yg aq alami😢😭
#Curcol😂😂

2023-02-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!