Secercah Harapan

***

Tak menyangka kalau Mas Agung hendak menemui untuk kedua kalinya langsung bersama keluarga dalam waktu dekat. Untuk melamar dan menjadikanku sebagai pendamping hidupnya.

Bagaimana bisa orang yang belum dikenal lebih jauh itu mempunyai niat yang selama ini kuharapkan. Sementara Iwan yang lebih dulu kukenal masih tetap dengan pendiriannya meminta menunggunya tanpa kepastian.

Sore hari saat Emak sedang sibuk untuk persiapan memasak di dapur. Aku memberanikan diri menghampiri sekalian membantunya memotong sayuran.

Sedangkan Abah kebetulan ikut duduk di kursi sambil menikmati segelas kopi hitam di atas meja yang berada di dapur.

Pikirku, mungkin saat inilah waktu yang tepat untuk berbicara dengan kedua orang yang sudah merawatku hingga kini menjelma menjadi gadis dewasa seperti saat ini. Dengan hati-hati aku pun memulai membuka pembicaraan.

"Mak, minggu depan Mas Agung

mau datang ke sini dengan keluarganya," ucapku.

Tangan Emak yang sedang memotong buncis seketika terhenti saat mendengar penuturanku barusan. Sorot netranya tajam menatapku.

"Lalu, bagaimana dengan Iwan?" tanyanya menyelidik.

Sedangkan aku hanya bisa diam menunduk tak mampu berucap saat ditanya tentang Iwan. Karena sudah sekian kali diriku membicarakan tentang hal yang menjurus ke pernikahan Iwan selalu beralasan supaya aku bersabar menungunya sampai ia lulus dari pesantren, sedangkan waktunya entah kapan.

"Tujuan Agung datang ke sini mau ngapain?" Perempuan yang sebagian rambutnya sudah memutih itu, kembali bertanya.

"Katanya, sih, mau melamar," jawabku pendek.

"Coba pikirkan dulu secara matang sebelum mengambil keputusan! Jangan sampai menyesal di akhir nanti. Lagi pula Iwan, kan, sudah ketahuan latar belakangnya orang baik."

"Iya, Mak, tapi masalahnya Iwan sampai saat ini masih belum bisa ngasih kepastian buat ke arah yang lebih serius." Aku mencoba memberikan alasan.

"Cari calon suami itu harus hati-hati. Jangan asal pilih. Kalau Iwan sudah kelihatan orangnya lagi di pesantren, paling tidak nanti kalau dia sudah lulus bisa jadi ustaz di kampungnya."

Abah yang dari tadi asik dengan kopinya ikut berkomentar.

"Mas Agung juga sarjana agama, Bah," sanggahku berusaha meyakinkan.

"Mau si Sarjana ataupun si Sarnaja, kek, tetap ustazlah yang lebih baik dan lebih ngerti agama. Banyak sarjana yang nganggur yang pintar tapi kebelinger," sangkal Abah masih tetap kokoh dengan pendiriannya.

Aku yang sejak tadi mencoba memberikan pengertian, berharap persetujuan Emak dan Abah serasa putus asa setelah mendengar respon keduanya yang seakan memberatkan Iwan. Laki-laki yang selama ini sering datang ke rumah, tapi tak kunjung memberikan keputusan. Apalagi untuk melangkah lebih jauh ke jenjang pernikahan.

Iwan selalu menyatakan beribu alasan setiap kali kudesak untuk hal yang satu ini. Berbanding balik dengan Mas Agung yang menunjukan keseriusannya dengan niat akan langsung melamar dalam waktu dekat.

***

Perasaanku sungguh dilema. Satu sisi ingin sekali segera menikah seperti teman-teman yang lain. Sisi lain, tidak mungkin menikah dengan pilihan sendiri tanpa mendapatkan restu dan ridho dari orang tua. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya menjalani rumah tangga tanpa doa dan restu dari orang yang telah melahirkan dan membesarkanku. Apalagi dalam urusan yang sangat sakral, yaitu sebuah ikatan pernikahan yang suci.

Hari-hari yang kujalani terasa tidak bersemangat seakan ada yang hilang. Padahal baru beberapa hari kemarin aku merasakan hati yang berbunga-bunga karena sudah ada seorang ikhwan yang telah berani mengungkapkan niat suci untuk meminang dan mengajakku ke arah hubungan yang lebih serius dan halal. Bukan yang hanya sekedar memberikan harapan palsu dengan janji-janji yang tidak pasti seperti Iwan.

Oleh karena itu aku begitu yakin dan mantap akan menerima Mas Agung sepenuhnya.

"Kenapa, sih, Din, lo dari tadi kok, kelihatannya murung dan diam terus. Kek ada galau-galaunya gitu, deh," seloroh Lyra saat melihatku berdiam diri dari semenjak keluar kelas tadi. Kini kami berdua sedang berada di ruangan perpus mengisi waktu jam istirahat pelajaran pertama.

"Gak ada apa-apa, kok, Ra. Gue baik-baik aja." Aku menjawab pertanyaan Lyra sekenanya.

" Yakin, nih, gak akan cerita sama gue? Biasanya juga tanpa ditanya juga sudah nyerocos duluan," sindir Lyra melirikkan kedua bola mata belonya ke arahku.

Dengan berat hati akhirnya aku pun menceritakan semua kegundahan hati yang membuat dilema dalam menentukan pilihan. Di antara harus tetap menunggu Iwan sampai waktu yang tidak pernah terlihat kepastiannya atau menerima Mas Agung yang sudah siap untuk melamar dalam waktu dekat tapi belum mendapatkan respon dan izin dari orang tua.

"Owalah ... bener, kan, kalau lagi galau?" ujar Lyra melempar kulit kacang yang sedang kami makan ke arahku.

"Makanya jadi cewek, tuh, jangan kemaruk, tahu!" sambung Lyra.

"Siapa yang kemaruk? kalau gue kemaruk, tuh, dua-duanya gue terima keles, bukan dipilih salah satunya," elakku menyangkal  tuduhannya.

"Lha, itu buktinya punya calon suami, kok sampai dua cowok begitu? Gue aja yang cantiknya kek Ria Rheeces gak gitu-gitu amat. Eh, betewe, bagi dong atu, tuh yang namanya Mas Agung buat gue aja, Dhin. Lo, tahu sendiri, kan, kalau sampai saat ini gue masih jomblo." Lyra masih menggodku dengan celotehannya.

"Emang lo kira apaan kali, pake minta dibagi-bagi macem permen saja." Aku mendengkus kesal.

Tidak lama bel tanda masuk sekolah pun berbunyi. Kami pun bersiap untuk masuk ke kelas masing-masing untuk memberikan materi pelajaran selanjutnya kepada anak-anak berusia SD.

***

Setelah berusaha melupakan perdebatan kemarin dengan Emak dan Abah. Entah dapat angin segar dari mana tiba-tiba Emak seolah bisa menyelami perasaan anak gadisnya yang sedang dilanda bimbang.

"Iwan sudah tahu belum kalau minggu depan akan ada laki-laki lain yang datang ke rumah untuk melamar kamu?" Perempuan yang kulitnya sudah mulai banyak kerutannya itu bertanya penuh selidik. Menghampiriku saat sedang berada di dalam kamar.

"Sudah, Mak, tapi jawabannya diserahkan sepenuhnya pada Dhinil, tanpa ada tanda-tanda mau mempertahankan."

"Yasudah, Emak hanya bisa mendoakan siapapun yang jadi calon pendampingmu, mudah-mudahan itu yang terbaik. Karena kita hanya bisa berencana dan berharap, sedangkan yang berhak menentukan segalanya hanya yang Maha Kuasa," ujar wanita yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu itu dengan bijak.

Tak bisa digambarkan bagaimana bahagianya hati ini saat mendapatkan restu dan doa dari orang keramat. Aku menyerukan rasa syukur kepada Sang Maha Pembolak-balik hati.

Namun, terbersit dalam hati keraguan yang mendera saat ingatan tertuju kepada sepasang adik-kakak, Ifa dan Iwan. Selama ini hubunganku dengan Ifa masih sangatlah dekat dan akrab. Tempat mencurahkan setiap masalah atau sekedar ngobrol tentang banyak hal baik melalui pesan ataupun telepon.

Begitu pun dengan Ifa. Aku sudah dianggapnya sebagai calon teteh iparnya sendiri. Sepertinya Ifa yakin sekali kalau aku nanti akan jadi istri dari kakaknya.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!