Nginap di Rumah Lyra

***

Lyra menyalakan sepeda motor maticnya. Setelah aku duduk membonceng di belakang, ia mulai menjalankannya perlahan. Beruntung cuaca sore ini terlihat begitu cerah tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan, sehingga perjalanan pun lancar.

Hampir menjelang waktu Maghrib aku dan Lyra baru sampai di rumah masing-masing. Aku langsung menuju kamar mandi untuk mandi membersihkan badan yang terasa lengket oleh keringat.

"Tadi dari mana aja?" Pertanyaan dari Abah yang tiba-tiba membuatku terkejut.

"Gak dari mana-mana, kok, Bah, tadi cuman ikut Lyra ke kampusnya doang bentar," jawabku kemudian.

"Calon pengantin tuh, harusnya gak boleh pergi-pergi ke jauh dulu. Pamali, sandekala," tutur Abah yang lagi duduk di ruang tengah sambil menikmati segelas kopi hitamnya. Tadi siang sebelum berangkat aku sempat berpamitan sama Emak doang karena Abah lagi tidak ada di rumah.

"Iya, Bah, Dihinil kan, sekarang udah ada di rumah. Alhamdulillah tadi gak kenapa-kenapa, kok," ucapku meyakinkan.

Aku tidak berani menceritakan kejadian tadi siang waktu aku dan Lyra jatuh dari motor sampai sempat pingsan dan dibawa ke puskesmas. Karena pasti akan membuat Abah berang dan menceramahiku habis-habisan. Abah yang masih sangat percaya dengan mitos-mitos jaman dulu selalu menentang sikapku yang kadang suka bertolak belakang dengan pikirannya. Seperti melarang ke mana-mana dulu kalau lagi menunggu hari H pernikahan seperti saat ini.

***

Karena sedang berhalangan lagi tidak salat, aku berpamitan pada Emak yang lagi di dapur  untuk pergi ke rumah Lyra.

"Malam ini nginep di rumah gue, ya, Dhin. Anggap aja perpisahan lo nginep bareng gue, secara mulai malam sabtu besok lo, kan, udah ada penjaganya," pinta Lyra setelah aku berada di rumahnya.

"Ceritanya kita perpisahan, ni?"

"Ya ... begitulah, kira-kira. Sekalian kita makan mie rebus bareng untuk terakhir kalinya."

"Terakhir kalinya? Emang kita mau kemana?"

"Ya, terakhir kalinya lo nginep dan makan mie rebus bareng gue sebelum lo melepas masa lajang lo, Dhinil, gitu maksud gue mah." Lyra menandaskan.

"Owh ... Okelahkalobegitu! nanti aku bilang Emakku dulu, ya, tadi bilangnya mau main doang bentar," jawabku dengan pelafalan intonasi yang kental.

Di rumah Lyra hanya ada kedua orang tua dan satu adik bungsu laki-lakinya yang masih duduk di bangku SLTP. Sedangkan ketiga kakak perempuannya sudah berkeluarga dan sudah punya rumah masing-masing.

Yang sepantaran dengankul sebenarnya kakak perempuannya Lyra yang ketiga, yang bernama Fatimah. Karena aku dan Fatimah pernah satu kelas waktu di SD dan sekolah Tsanawiyahnya juga sempat bareng. Berhubung semua teman-temanku yang sepantaran sudah pada menikah dan berkeluarga semua, sehingga aku pun berteman akrab dengan Lyra yang usianya tujuh tahun di bawahku.

Tak jarang aku pun sering sekali mendapatkan omongan-omongan miring dari orang-orang di sekitar karena setatusnya yang masih terus melajang di usia yang sudah lebih dari dua puluh lima tahun.

"Dhin, tahu, gak, lo dikatain perawan tua dan gak laku-laku, lho, noh sama ibu-ibu yang sedang ngegosip di warungnya Bi Icum." Salah satu teman kala itu menyampaikan langsung kepadaku tentang apa yang didengarnya saat melintasi segerombolan ibu-ibu. Setiap kali aku mendengar aduan yang membuat hati perih dan terluka seperti itu aku hanya bisa mengusap dada mencoba untuk terus berdoa kepada Sang Maha Pemberi Jodoh untuk segera dipertemukan dengan calon imam terbaik. Walaupun tak jarang netra ini sampai menitikkan air mata setiap ada omongan orang-orang yang menurutku tidak berperasan itu.

Menjulukki dan melabeli diriku sebagai perawan tua dan gak laku-laku. Seakan jodoh itu bisa diatur dan disetir oleh manusia. Padahal manusia tugasnya hanya berusaha dan berdoa lalu menjalani takdir yang harus dijalaninya. Karena masalah Jodoh, mati, dan rezeki itu adalah rahasia Sang Maha Pengatur Segala-Nya tanpa ada campur tangan hambanya.

***

"Dhin, lo yang beli mie rebusnya ya, ke warung. Nanti biar gue yang metik daun singkongnya di pagar kebun samping dapur." Lyra mulai membagi tugas. Karena kami sering memakai daun singkong muda untuk campuran mie rebus sebagai pengganti cesin yang sulit didapat di kampung yang jauh dari pasar induk.

"Ashiaapp ... Bos .... !" jawabku menirukan ucapan Atta Halilintar youtuber miliader yang viral di jagad maya.

Setelah mie rebus siap saji di mangkuk masing-masing, kami membawanya ke kamar. Menyantap seporsi mie rebus sambil menonton film horor. Walaupun kadang diselimuti rasa takut yang luar biasa saat menyaksikkan adegan horor dan membuat bulu kuduk merinding, tapi selalu membuat kami berdua merasa penasaran untuk terus menatap layar laptop.

Terkadangang suara jeritan ketakutan terdengar dari mulutku dan Lyra yang membuat kaget pengusi rumah lainnya. Tapi, kami akan segera tertawa cekikikan setelah mendapat teguran dari emaknya Lyra yang merasa terganggu dengan aksi kedua gadis itu.

Ketika sedang asyik dengan santapan mie rebus dan film horor sebagai pelengkapnya. Tiba-tiba ponselku bergetar dan berbunyi nyaring. Pertanda ada panggilan masuk.

"Dhin, hape lo tuh, bunyi dari tadi," ucap Lyra sembari menunjukkan jari telunjuknya ke arah atas nakas.

"Tolong ambilin dong, Ra!" pintaku yang malas beranjak dari hadapan layar laptop.

"Dasar, lo pemalas!" gerutu Lyra meraih ponsel dari atas nakas dan memberikannya kepadaku.

"Sekalian, dodol! kan, lo yang dekat situ," ucapku sambil nyengir.

"Thanks, yo, kawan," sambungku setelah ponsel berada di tangan.

Terlihat di layar ponsel, nama Mas Agung tertera sedang melakukan panggilan. Lalu kuusap tombol jawab dan menempelkan benda pipih persegi itu di telinga sebelah kiri. Sedangkan tangan kanan masih sibuk dengan sendok mie rebus di hadapan.

"Lagi di mana?" tanya suara seorang lelaki dewasa dar arah ujung telepon sana.

"Biasa," jawabku pendek."

"Biasanya di mana? kan, Kakak belum tahu kalau jam segini Adek biasa ada di mana?"

"Emh ... lagi di rumah teman."

"Lyra?" tanya Mas Agung memastikan.

"Hu'um, siapa lagi, tho? Kan, temen Adek yang masih nyisa cuman tinggal Lyra," jawabku nyengir mengerlingkan bola mata ke arah Lyra. Lyra mencebikkan bibirnya membalas selorohanku.

"Dhinil lagi diapelin Kang Iwan, nih, Mas Agung .... " Tiba-tiba suara Lyra sudah berteriak di dekat telingaku ke arah ponsel yang sedang tersambung dengan Mas Agung.

Aku sedikit terkesiap mendengar suara keras Lyra yang spontan dan tidak di sangka-sangka itu. Ada rasa khawatir menyelimuti hati kalau sampai orang yang berada di ujung telepon sana mendengar suara Lyra barusan dan menyimpulkannya sendiri tanpa konfirmasi yang sebenarnya terlebih dulu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!