Tamu Tak Diundang

***

"Temuin sama Emak aja, ya, please .... !" pintaku berharap Emak bisa memaklumi perasaanku.

"Gak bisa gitu atuh, Dhin, itu kan, tamu kamu, ya, harus ditemuin dulu. Udah sono, ajak suaminya sekalian!" Perintah Emak sepertinya sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Dengan hati berdebar akhirnya aku pasrah harus menemui tamu tak diundang itu. Padahal aku berharap lebih baik tidak usah datang dan menampakkan diri di saat seperti ini. Khawatir tidak bisa menguasai perasaan kalau harus berhadapan langsung dengan lelaki yang sudah kukecewakan itu.

Aku menarik tangan Mas Agung untuk menemaniku menemui Iwan di luar. Mendadak telapak tangan menjadi terasa dingin. Di kursi tamu aku melihat sosoknya sedang duduk dengan Budi, temannya yang sering diajak menemaninya saat dulu sering datang ke rumah. Ada Abah juga di sana sedang mengajaknya berbincang. Aku meminta Mas Agung untuk menghampirinya seorang diri sedangkan aku sendiri berbalik badan berlari masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu kamar. Menangis sejadi-jadinya. Entah kenapa sampai saat ini aku belum bisa menghapus namanya di dalam hati, padahal statusku sudah menjadi istri lelaki pilihanku sendiri tanpa paksaan dari siapapun.

***

Hari yang mengharukan pun akhirnya tiba. Karena mau tidak mau aku harus ikut diboyong oleh Mas Agung. Lelaki yang sudah menghalalkanku tiga hari yang lalu. Dan itu artinya aku harus siap untuk hidup berjauhan dengan Emak, Abah dan keluarga yang lain.

Dengan setengah hati karena merasa berat untuk berpisah dengan keluarga terutama Emak. Aku pun mulai sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke dalam tas berukuruan besar.

Butuh dua sepeda motor yang harus mengantarkan aku dan Mas Agung menuju jalan raya untuk mendapatkan mobil yang akan membawa kami ke terminal.

Aku berdiri mematung di hadapan Emak tanpa bisa berucap sepatah kata pun. Rasa haru dan sedih memenuhi rongga dada sejak tadi.

"Mak, Dhinil berangkat dulu, ya, Emak harus jaga kesehatan di rumah, jangan sampai telat makan," pamitku mencium punggung tangan Emak lalu memeluknya erat.

"Iya, Nak, jaga diri baik-baik, di sana, ya, jangan lupa sering-sering telepon ke sini setelah sampai di sana," pesan Emak mencium keningku. Seolah enggan untuk melepaskannya lagi. Kedua netranya sudah mulai terlihat berkaca-kaca dipenuhi air mata, bulir bening itu pun akhirnya mulai menganak sungai mengaliri pipinya yang sudah mulai terlihat banyak kerutan.

Melihat Emak menangis saat hendak melepas kepergianku aku pun turut tidak dapat menguasai perasaan. Sehingga larut dalam tangis di pelukan Emak. Meluahkan rasa sesak karena begitu berat harus berpisah jarak dan waktu dengan orang terkasih. Orang yang sudah melahirkan dan merawatku selama dua puluh lima tahun.

Dengan sangat berat hati akhirnya Emak melonggarkan dan melepas pelan pelukannya yang terlihat masih enggan. Terlihat berusaha menegarkan hati dan merelakan anak gadisnya untuk pergi dibawa oleh seorang lelaki yang sudah mengambil alih semua tanggung jawabnya.

Aku pun mulai mengangkat wajah dan mengusap cairan bening yang tadi sudah membanjiri kedua belah pipi dengan sapu tangan di tangan.

Mas Agung menyalami Emak dan Abah serta semua orang yang berada di sana.

"Udah, gak usah lama-lama perpisahannya, nanti juga sebentar lagi mudik, kan, kalau sudah mau lebaran," ujar Lyra dari atas jok motor beatnya yang akan mengantarku ke jalan raya.

Dengan berat hati kuseret kaki menuju sepeda motor Lyra yang sudah menunggu dari tadi. Semua barang yang akan dibawa sudah tersusun di bagian depan motor. Sebagian lagi dibawa oleh Mas Agung dengan membonceng motor yang akan dibawa oleh Kang Surya.

Kedua sepeda motor mulai melaju meninggalkan jalan kampung halaman menuju tempat kehidupan baru. Hidup bersama dengan lelaki yang kini sudah menjadi imamku. Yang akan memberikan warna kehidupan yang baru dalam hari-hari kedepan nanti.

"Dhin, nanti lebaran idul fitri, bakalan balik ke sini lagi, kan?" tanya Lyra di tengah perjalanan sambil mengendarai sepeda motornya.

"Pengennya, sih, iya, tapi gimana Mas Agungnya aja nanti, mau apa tidak. Soalnya kata Mas Agung bisa mudiknya nanti paling setahun sekali doang."

"Whatt ... ! yang bener, Dhin? Berarti pulang ke sini lagi nanti dah bawa anak dong, kalau begitu," seru Lyra.

"Iya, mudah-mudahan aja langsung ngisi," jawabku penuh harap.

Tanpa terasa melalui jalanan yang berbatu dan licin dengan diselingi ngobrol ternyata telah membawa kami menuju jalan raya yang dutuju. Setelah menurunkan semua barang bawaan, kami mulai menunggu bus jurusan Jakarta-Labuan yang arah terminal Serang.

Tidak lama kemudian bus yang ditunggu pun melintas dan berhenti tepat di hadapan kami berempat. Aku dan Lyra melepas pelukan dengan enggan ketika kernet bus berteriak dari arah pintu bus, mengingatkan kalau bus sebentar lagi akan berangkat. Lyra dan Kang Surya melambaikan tangan tanda perpisahan kepadaku. 

Hanya memakan waktu satu jam perjalanan Sodong-terminal Serang. Sebelum Zuhur, aku dan Mas Agung sudah sampai terminal tempat pembelian tiket bus antar provinsi yang akan membawa ke tempat tujuan.

Setelah mengisi perut di rumah makan yang berada di sekitar terminal, Mas Agung mengajakku menuju masjid terdekat untuk menunaikan kewajiban salat Zuhur terlebih dulu, karena sudah memasuki waktu Zuhur. Sedangkan bus yang akan kami tumpangi akan berangkat di jam dua siang nanti.

"Adek lagi gak salat, Kak, Kakak aja yang ke masjid. Biar Adek nunggu di sini aja," tolakku saat lelaki berperawakan tinggi itu mengajakku ke masjid.

"Oh, iya, Kakak lupa, Adek ternyata lagi M, ya, kalau begitu tunggu sebentar di sini, ya, jangan pergi ke mana-mana dulu, nanti kalau ilang Kakak repot," ucapnya tersenyum sembari menyerahkan jaket berwarna hitam yang ia kenakan ke arahku. Aku mengulurkan tangan menerima dan menyimpan jaket itu lalu menyimpannya asal di atas tas besar

Saat aku sedang duduk termangu seorang diri di bangku tunggu terminal menunggu Mas Agung keluar dari masjid. Aku dikejutkan dengan dering ponsel dari arah saku. Tangan kananku segera merogoh dan mengambil benda yang barusan membuatku terkejut.

'Mungkin Emak sudah kangen dan ingin memastikan keadaan diriku." pikirku dalam hati.

Kutekan tombol kunci benda pipih itu terlihat di layar ponsel bukan nama Emak yang tertera di sana. Melainkan nama seseorang yang secara tidak langsung sudah mengenalkanku dengan sosok lelaki yang kini sudah sah menjadi kekasih halalku.

Nama yang tertera di layar ponsel dan kini sedang menelponku yaitu seorang gadis yang sempat mengisi hari-hari dalam kehidupan Mas Agung sebelum dulu mengenalku. Gadis itu Ifa. Yang sudah jadi perantara antara aku dan Mas Agung sampai bisa berjodoh dan bisa menyatukan kami dalam satu ikatan pernikahan yang mungkin bagi Ifa dan Iwan, malah menjadi luka yang mendalam dalam kehidupannya.

Tapi, Begutulah jodoh ... walaupun harus melukai dan membuat pilu salah satu pihak. Namun, ketentuan Yang Maha Pengatur-Lah yang harus dijalani. Manusia sebagai hambanya hanya bisa menjalani setiap yang sudah digariskan dalam setiap episode dalam kehidupannya.

Ada apa gerangan setelah beberapa minggu menghilang tiba-tiba Ifa menghubungiku kembali. Saat aku menghubungi Ifa untuk memberi kabar tentang pernikahanku dengan Mas Agung nomor Ifa sudah tidak dapat dihubungi. Tapi kini Ifa menelpon saat aku sudah bersetatus menjadi istrinya Mas Agung. Atau mungkin Ifa sudah mendengar tentang pernikahan kami dari kakaknya.

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!