Menelpon Iwan

***

Saranku, lebih baik cepat memberitahu Kak Iwan apapun resikonya, yang jelas hatinya akan merasa lebih hancur kalau ia sampai tahu setelah pernikahan ini terjadi."

"Kalau enggak, biar aku saja yang menghubungi Kak Iwan?" imbuhnya, menawarkan bantuan lewat idenya.

"Ja ... jangan, Ra, jangan sampai Kak Iwan menerima kabar ini dari orang lain, sekalipun itu dari lo, teman dekat gue sendiri. Biar nanti gue yang langsung memberi tahunya." Aku berusaha mencegah usul dari Lyra.

"Yakin bisa?" ledek Lyra melirikku dengan ekor matanya.

"Iya, nanti akan gue coba."

***

Sepulang dari tempat Lyra. Aku menguatkan hati untuk menghubungi Kak Iwan. Berusaha sekuat mungkin agar bisa berbicara langsung dengannya walaupun hanya melalui telepon.

"Haloo ... Assalamualaikum, kok, tumben nelpon duluan, ada apa Neng Dhinil? kangen ya, sama Kak Iwan?" cerocosnya sumringah. Membuatku seketika diam seribu bahasa.

Bagaimana mungkin aku bisa memberi kabar yang diluar perkiraannya. Di saat keadaan sedang baik-baik saja dan dengan yakin kalau aku akan terus setia menantinya.

"Haloo ... kok, ditanya malah diam?" tanyanya tanpa curiga.

Berusaha sekuat mungkin agar tangisku tidak pecah. Tapi sia-sia ... butir bening mulai meluncur bebas dari sudut mata. Sambil terisak aku mulai bicara.

"Maaf, hanya ingin memberi tahu kalau empat hari ke depan Dihinil akan melangsungkan akad nikah dengan Mas Agung. Empat hari yang lalu Mas Agung dan keluarganya datang melamar dan langsung diterima oleh Abah dan Emak, bahkan langsung dicarikan hari H nya saat itu juga." Susah payah aku mengutarakannya.

Hening ... tak ada respon suara apapun dari sambungan telepon di sebrang sana. Tak lama kemudian samar terdengar seperti suara orang yang sedang menahan tangis. Sama denganku yang saat ini sedang menahan buncahan rasa yang sulit diartikan.

"Yasudah, matiin dulu teleponnya, ya, nanti Kak Iwan telepon lagi," ucapnya terbata. Mengakhiri panggilan telepon. Tangisku pecah seketika.

Aku bisa merasakan bagaimana hancur dan sakit perasaannya saat ini, sampai tak mampu berucap sepatah kata pun, dan memilih menutup sambungan telepon. Aku tahu kalau ia pun sedang menangis di sana. 

***

Tiga hari menjelang hari H. Setelah aku menelepon dan memberi tahu Kak Iwan kalau aku akan menikah di hari Jum'at. Nomor ponselnya sejak saat itu mulai tidak dapat dihubungi lagi. Tiap kali aku menghubunginya selalu operator yang menjawab. Aku mulai sering murung seperti hilang semangat. Waktuku lebih banyak digunakan dengan mengurung diri di dalam kamar.

Setelah semuanya berjalan dan tinggal satu tahap lagi menuju ikatan halal yang selama ini kunanti. Tapi kenapa rasa ragu dan bimbang tiba-tiba menyeruak di dalam dada. Hati ini jadi berat dan merasa bersalah kepada Kak Iwan. Khawatir langkah yang akan kuambil akan menorehkan luka yang dalam di hati pria yang bersetatus santri itu.

Dalam kesendirian, ingatanku melayang saat sebelum menerima lamaran dari Mas Agung. Aku sempat menghubungi Kak Iwan untuk meminta kepastian darinya.

"Ada seorang pria yang nanti akan datang ke rumah membawa keluarganya," ucapku kala itu kepada Kak Iwan melalui sambungan telepon.

"Mau ngapain?"

"Mau melamar, meminta ijin kepada Emak dan Abah untuk menjadikan Dihinil sebagai istrinya."

"Kak Iwan percayakan sepenuhnya kepada Dhinil untuk bisa memberikan jawaban terbaik untuk pria yang akan melamar Dhinil itu. Karena Kak Iwan yakin Dhinil sendiri sudah bisa melihat dan merasakan siapa yang lebih tulus." Ia pun memberikan tanggapan.

Mungkin dalam hatinya Kak Iwan terlalu yakin dan percaya kalau aku akan menolak setiap lamaran dari pria lain seperti waktu-waktu sebelumnya. Ia terlalu percaya diri kalau aku akan selalu setia menunggunya sampai ia sendiri merasa siap melamarku nanti.

"Tapi, Dhinil minta agar Kak Iwan bisa datang ke rumah, meyakinkan Emak dan Abah kalau Kak Iwan serius. Biar Emak dan Abah nanti ada alasan untuk menolak pria lain yang akan datang melamar," saranku saat itu penuh harap.

"Bukannya Kak Iwan gak mau, Dhin, tapi tahu sendiri saat ini Kak Iwan lagi proses mengerjakan ritual untuk syarat kelulusan dari pesantren. Jadi belum bisa pergi jauh  dari sekitar pondok. Tapi, Kak Iwan janji tiga bulan ke depan setelah Kak Iwan dinyatakan lulus dan sudah boyong pasti akan mengajak kedua orangtua dan keluarga besar untuk melamar Dhinil," tuturnya meyakinkan.

"Emang gak bisa diusahain, gitu, Kak Iwan datang dulu ke rumah sekedar menitipkan cincin tunangan sampai nanti Kak Iwan siap untuk melamar Dhinil?" Aku tidak putus asa terus mendesaknya.

"Ma'af, Dhin, Kak Iwan belum bisa."

"Owh, sekarang Dhinil baru tahu kalau selama ini Kak Iwan memang tidak pernah punya niat untuk menjadikan Dihinil sebagai pendamping hidup, kan?" ucapku prustasi.

"Enggak. Bukan begitu, Dhin .... "

"Cukup, Kak! Gak harus dijelaskan lagi, sekarang Dhinil sudah sangat paham dengan maksud Kak Iwan." Aku memotong ucapannya.

Aku merasa semua omongan yang tadi kusampaikan kepadanya separti sia-sia belaka. Tanpa menghasilkan kesimpulan yang sesuai dengan yang kuharapkan selama ini. Berharap ia bersedia melamarku saat itu juga sebelum ada pria lain yang datang. Karena tidak dapat dibohongi dan dipungkiri kalau hati kecil ini masih mengharapkan dirinyalah yang kelak bakal jadi imamku. Bukan pria lain.

Namun, usahaku tidak membuahkan hasil. Kak Iwan masih kukuh tetap dengan pendirian dan lebih memilih untuk fokus di dunia pesantrenannya sampai ia lulus.

Sambungan telepon diputus olehku saat itu juga tanpa berbasa-basi dan mengucapkan pamit terlebih dulu. Aku sudah tidak tahan menahan gejolak batin dan rasa kecewa kepada lelaki yang kuharapkan selama ini.

Aku pun akhirnya semakin yakin dan memantapkan hati untuk menerima lamaran dari Mas Agung yang kukenal melalui perantara Ifa adiknya Kak Iwan. Aku tidak peduli lagi dengan perasaan kedua adik kakak itu kalau setelah mereka tahu bahwa aku akan menikah dengan pria yang dulu sempat pernah bertunangan dan menjadi calon suami Ifa. Apa salah, kalau aku menerima lelaki yang benar-benar sudah bersedia membuktikan keseriusannya dengan cara langsung melamar dan menghalalkan wanita pilihannya.

Tekadku sudah bulat untuk melepas masa lajang dengan pria berdarah Jawa yang penuh kharismatik itu.

***

Lamunanku seketika buyar saat menangkap suara seseorang mengetuk pintu kamar perlahan. Dengan sigap kuusap kedua belah pipi yang dari tadi dibiarkan banjir oleh cairan bening yang terjun bebas dari pelupuk mata. Hati ini selalu terasa perih dan kecewa setiap mengingat percakapan dengan Kak Iwan.

Perlahan kuturunkan kaki dari atas pembaringan lalu mengayunkan langkah  ke arah pintu kamar dan membukanya. Memastikan siapakah gerangan yang berada di balik pintu.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!