***
Bagi gadis yang usianya sudah di atas dua puluh lima tahun harapan terbesar dalam hidupnya yaitu bisa mendapatkan jodoh impian dalam waktu yang dekat. Begitupun yang diharapkan olehku. Yang saat ini bekerja sebagai guru honorer SD di kampung halaman tercinta.
Sinar mentari membakar kulit menemani langkahku menyusuri jalan yang tak beraspal.
Kiri kanan jalan sejauh mata memandang dihadapkan dengan pemandangan hamparan luas pesawahan yang berwarna kuning keemasan dengan padi yang mulai siap dipanen.
Kuayunkan langkah dengan terburu berharap bisa cepat sampai rumah dan bisa segera beristirahat.
Usai makan siang dan merebahkan diri di atas pembaringan, sejenak meluruskan tulang punggung dan rasa penat aku pun beranjak dari kamar menuju rumah Lyra, sahabatku yang terhalang oleh satu rumah. Sekedar untuk curcol dan berhaha hihi ria.
Saat asyik ngobrol ngaler ngidul dengan Lyra, aku dikejutkan dengan dering ponsel dari dalam saku rok panjang yang kukenakan.
"Haloo ... Assalamualaikum, maaf, ini dengan siapa, ya?" tanyaku hati-hati.
"Dasar pelakor! Kamu berani merebut calon suamiku, hah!" Terdengar suara tinggi milik seorang perempuan di ujung telepon sana yang membuat jantung berdegup kencang.
Aku tak menyangka sedikit pun kalau Iwan tega membohongi dan membuat kecewa. Baru seminggu yang lalu ia menemuiku di rumah.
Meyakinkan Emak dan Abah kalau dirinya akan datang melamarku langsung setelah kelulusan dari tempatnya menimba ilmu di pesantren salafi tempatnya mondok.
"Maaf, Teh, saya sama sekali gak tahu kalau Kak Iwan sudah mempunyai calon istri."
Aku berusaha menata hati agar tidak tersulut emosi mereda rasa kecewa yang tiba-tiba membuncah di rongga dada.
"Gak usah ngeles, deh, kamu! udah tahu calon suami orang, masih aja dilayanani!"
"Astaghfirullah ... Teh, tidak sedikit pun di hati saya ada niatan untuk menerima ataupun melayani calon suami Teteh, karena yang saya tahu Kak Iwan belum punya calon istri."
Sekali lagi aku memberi penjelasan, lebih tepatnya membela diri.
Karena hati kecilku tak terima, tetiba saja mendapat tuduhan seperti itu dari seseorang yang aku sendiri tidak mengenalnya.
"Horee ... berhasil, berhasil!"
"Kenalin, Teh, aku Ifa. Adiknya Aa Iwan. Aa Iwan sudah cerita banyak tentang Teteh, makanya aku pengen kenal lebih dekat sama Teh Dhinil calon Teteh iparku ini."
Ternyata perempuan itu adiknya Iwan yang sudah sukses membuat emosiku hampir tersulut karena ulahnya.
Semenjak kejadian itu, aku dengannya jadi semakin akrab dan dekat, berinteraksi lewat telepon ataupun sekedar bertukar pesan saling menanyakan kabar satu sama lain.
Seoalah mendapatkan sahabat baru yang bisa diajak curhat dan sharing, begitupun sebaliknya. Kebetuluan usiaku dengan Ifa sebaya dan sama-sama masih menanti calon pendamping yang halal.
***
Malam minggu mungkin bagi sebagian remaja atau bagi yang masih berstatus single adalah malam yang selalu ditunggu kedatangannya.
Namun tidak bagiku, yang lebih suka dan betah menghabiskan waktu dengan mengurung diri di dalam kamar favorit sekedar untuk membaca buku dan mendengarkan lagu nasyid yang menyejukan hati.
Disela-sela asiknya membaca novel karya penulis hebat, Asma Nadia. Perhatianku terusik oleh dering panggilan dari gawai di atas meja, yang ternyata dari Ifa.
"Teh, aku mau minta tolong, bisa ga?"
"Minta tolong apa, Fa?"
"Alhamdulillah Ifa sekarang sudah menemukan calon imam, mudah-mudahan ini yang terakhir dan terbaik. Tapi Ifa ingin tahu apa dia tipe lelaki setia dan baik atau sebaliknya kalau kenal dengan wanita lain."
Ifa memang sudah beberapa kali mengalami kegagalan tiap kali dirinya berniat menuju ke arah pernikahan. Mungkin dikarenakan belum berjodoh atau memang bagian dari ujian hidup.
"Lantas, Teteh harus bantuin apa?" tanyaku masih bingung dengan maksudnya.
"Ifa minta Teteh untuk ngetes dia. Dengan cara Teteh kirim sms atau telepon pura-pura salah sambung, gitu." Ifa mengajari.
"Gak mau lah, Fa. Teteh malu masa cewek duluan yang ngajak kenalan,"
jawabku menolak permintaannya.
"Ayo dong, Teh, bantuin Ifa please!" pintanya, memohon.
Aku pun mengiyakan karena merasa tidak enak hati menolak permintaanya yang setengah memaksa.
"Siapa Fa, namanya?" tanyaku setelah sebelumnya Ifa memberikan nomor telepon orang yang dimaksud.
"Tambah Agung Santoso."
"Itu nama orang apa nama PT. perusahaan, Fa? kok, namanya unik dan asing di kuping?" Sambil terbahak aku bertanya.
"Emang namanya seperti itu, kok, Teh, dari bawaan lahir mungkin," jawab Ifa ikut tertawa kecil.
"Bisa kenal orang itu dapat nemu di mana?" ceplosku, menggodanya.
"Pernah sekampus waktu Ifa dulu kuliah."
"Owh .... !"
"Nanti Teteh coba kirim pesan atau telepon dia."
"Oke, Teh, ditunggu ya, hasilnya."
Setelah Ifa menutup sambungan telepon, aku pun mulai melancarkan aksi apa yang barusan diintruksikan oleh Ifa.
Dengan memakai alamat dan nama samaran yang telah disarankan sebelumnya oleh Ifa kukirim pesan singkat ke nomor telepon yang bernama Mas Agung.
Pesan pertama yang kukirim tidak ada repon, tapi setelah bebarapa kali ada juga balasan darinya walaupun kesannya acuh.
Saat sedang berbasa-basi dengan memperkenalkan diri terlebih dulu,
tanpa sengaja dan diluar kendali kesadaranku pesan singkat yang seharusnya untuk laporan ke Ifa malah dikirim ke nomor Mas Agung.
Setelah kejadian itu hubungan persahabatan antara aku dan Ifa menjadi renggang. Ifa marah dengan keteledoranku yang membuat hubungan dirinya dengan Mas Agung jadi kurang baik, karena Mas Agung merasa tersinggung jadi bahan percobaan kami--aku dan Ifa-- yang dianggap sudah mempermainkannya.
Ifa meminta agar aku tidak lagi menghubungi Mas Agung, aku pun mengiyakan.
Satu tahun sudah tidak berkomunikasi dan bertanya kabar dengan Ifa. Aku fokus dengan kehidupan sendiri di tengah
penantian panjang yang tak bertepi.
***
Cuaca di siang hari terasa sangat panas menyengat. Setelah pulang dari sekolah tempat mengabdikan diri, aku berniat untuk merebahkan diri di dalam kamar sekedar meluruskan badan dan menghilangkan rasa penat di telapak kaki, setelah sebelumnya makan siang.
Baru saja selesai melipat mukena yang kukenakan usai melaksanakan kewajiban salat Zuhur tiba-tiba gawai berdering pelan, segera kuraih benda pipih itu. Dengan ragu kugeser tombol jawab.
"Haloo ... Assalamualaikum, maaf ini sama siapa, ya?"
"Owalaah ... udah lupa tho, sama saya?" jawab suara bass seorang laki-laki dewasa cukup mengagetkanku.
"Emang ini siapa? nomornya gak ada namanya?" tanyaku, penasaran.
"Mas Agung."
"Mas Agung?" Bibirku mengulang jawabannya, beribu tanya dalam hati ada apa gerangan tiba-tiba lelaki itu menghubungiku.
"Iya, Dhinil, gimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, Kak, kabarku baik dan sehat."
Tidak menyangka sudah sekian lama ternyata dirinya masih menyimpan nomor ponselku.
"Gimana sama Mang Iwan? sudah ada rencana untuk menuju pelaminan?"
Sebutan Mang, Mamang, biasa dipakai oleh santri laki-laki dan Bibi untuk santri perempuan yang sedang mondok di pesantren salafi di daerah Banten dan Jawa Barat.
"Alhamdulillah, niat sih, ada untuk menuju ke sana tinggal nunggu waktu yang tepat aja."
"Kapan tuh, waktunya?"
"Hanya Allah yang tahu."
"Belum ada kepastian dong, kalau begitu? Semoga dimudahkan jalan menuju ke arah sana."
"Aamiin, Kakak sendiri kabarnya gimana sama Ifa?"
"Kakak tidak berjodoh dengan Ifa."
"What .... ? "
"Oya, Dhinil punya akun Facebook, gak?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Ada, emang kenapa, Kak?"
"Boleh tahu nama akun Facebooknya, apa?"
"Iya, Kak, boleh kok."
Sambil tiduran di dalam kamar, aku mencoba membuka akun sosial berwarna biru. Kulihat ada beberapa permintaan pertemanan salah satunya akun Facebook bernama Tambah Agung Santoso.
[Ini ya, ternyata yang namanya Dhinil? dewasa juga ya orangnya.]
Satu pesan masuk via inbok darinya setelah beberapa menit Facebooknya kukonfirmasi.
[Kenapa gitu, Kak?]
[Enggak, kelihatannya dewasa, mukanya kelihatan keibuan.]
[Waah ... padahal Dhinil belum jadi ibu, lho, Kak.]
[Tapi, calon ibu, tho?]
[Aamiin ... semoga disegerakan.]
***
Saat aku mulai merasa bosan dan jengah dengan penantian jodoh yang tak kunjung pasti.
Mas Agung mengabari bahwa ia akan bertandang ke rumah kakak perempuannya yang sudah berkeluarga yang kebetulan satu daerah denganku. Sekaligus meminta izin untuk datang dan bersilaturahmi ke rumah yang jaraknya sudah lumayan dekat dari rumah kakaknya itu.
Aku terperangah. Ada apa dengan ini semua? Lalu bagaimana dengan pasangan adik-kakak, Ifa dan Iwan?
Bersambung ....
***
[Kakak udah sampe Serang, ini lagi istirahat di rumah Teteh, ke rumah Dhinilnya paling nanti besok aja, ya?]
Chat dari Mas Agung melalui inbok, membuatku panas dingin membayangkan pertemuanku besok akan seperti apa.
[Iya, Kak, gak apa-apa ... Met istirahat aja.]
Aku maklum, perjalanan dari Kebumen-Serang yang memakan waktu hampir 12 jam lebih dengan bus malam itu pasti membuatnya sangat capek dan ngantuk.
Pagi ini sengaja aku bangun lebih awal, setelah melaksanakan salat Subuh langsung bersih-bersih dan beres-beres rumah serapih mungkin untuk menyambut kedatangannya.
Belum selesai merapihkan diri di dalam kamar, kudengar ada suara motor yang berhenti di depan rumah. Perlahan mengintip dari balik gorden jendela kamar, nampak seorang laki-laki berperawakan tinggi mengenakan jaket dan celana hitam panjang serta tas gendong di punggungnya turun dari motor lalu melangkahkan kakinya ke arah rumah tetangga sebelah yang kebetulan terdapat warung kecil di sana.
Samar indera pendengaranku menangkap suara bass laki-laki itu menanyakan sesuatu ke penjaga warung.
"Assalamualaikum, maaf, Bu, numpang tanya, rumahnya Dhinil Khoirunnisa sebelah mana, ya?"
"Owh, kebetulan banget, itu rumah Dhinil yang di sebelah rumah saya," jawab Ibu warung sambil menunjuk ke arah rumah dan terdengar langsung olehku karena sedang menguping dan mengintipnya dari balik jendela kamar.
Jantungku terasa semakin berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Mendadak telapak tangan mirip es batu yang baru diambil dari kulkas rasanya. Senang, malu, gugup, dan gerogi, campur jadi satu menyelimuti hati. Bagaimana ini ....
Beberapa menit kemudian terdengar ada suara yang mengucap salam dari arah depan yang langsung dijawab dan dihampiri oleh Emak.
Setelah berbasa-basi dan menanyakan tujuannya Emak pun mempersilahkan duduk dan membuatkan minum untuk tamu tak diundangnya itu.
Aku masih bersembunyi di balik pintu kamar mengumpulkan keberanian untuk bisa menghampiri ke depan sebelum Emak datang menyuruhku untuk menemuinya. Sekali lagi mematut diri dan memutar badan di depan kaca lemari. Memastikan kalau penampilan sudah rapi sempurna, khawatir jilbab yang kukenakan terlihat menceng pas di depan Mas Agung nanti. Setelah dirasa siap dan berusaha menanamkan rasa percaya diri aku mulai melangkahkan kaki menuju ruang tamu.
"Assalamualaikum ...." Dengan suara sedikit gemetar kuucap salam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada yang dibalas dengan hal serupa olehnya seraya menjawab salam.
"Owh, ini ya, yang namanya Mas Agung?" sapaku berbasa-basi berusaha menutupi rasa gerogi yang sejak tadi mendera.
"Iya, Neng Dhinil, ini Mas Agung" jawabnya mengulas senyum
Sekilas kulihat senyumnya yang membuat hati berdesir aneh. Walaupun warna kulitnya tidak terlalu putih tapi terlihat manis dengan hidung mancung dengan bibir tipis. Aku mengaguminya dalam hati. Berharap ia pun tidak merasa kecewa setelah bertemu langsung denganku.
Setelah beberapa lama ngobrol banyak dengan ditemani Emak dan Abah, suasana diantara kami pun mulai sedikit mencair tidak terlalu kaku seperti waktu pertama tadi.
Usai numpang salat Zuhur di rumah dan menyampaikan maksud kedatangannya kepada Emak dan Abah, selain untuk bersilaturahmi juga agar bisa bertemu dan mengenalku langsung. Mas Agung berpamitan, karena di atas langit sana mulai terlihat awan menggumpal hitam pertanda sebentar lagi akan turun hujan.
***
Setelah pertemuan pertama itu, Mas Agung jadi lebih sering menunjukan sikap manisnya. Ia pandai membuat hatiku berbunga dengan perhatian-perhatian kecil yang diberikannya melalui pesan singkat lewat inbok ataupun SMS.
Hari-hari yang kujalani jadi lebih berwarna dan terasa lebih bersemangat dalam menjalani aktifitas, seolah aku mendapatkan semangat baru untuk menyongsong masa depan yang diimpikan.
Aku hampir lupa dengan Iwan yang kukenal lebih dulu dan sudah sering datang ke rumah juga sudah kenal dekat dan baik dengan Abah dan Emak serta keluarga yang lain. Karena Iwan berniat setelah lulus dari pesantren tempatnya menimba ilmu akan langsung melamar dan menjadikanku sebagai pasangan hidupnya.
Namun, entah kenapa semenjak aku kenal Mas Agung apalagi setelah bertemu langsung dengan sosoknya hati kecilku jadi lebih berharap banyak kepada lelaki asal suku Jawa itu. Bukan karena melihat dari fisiknya yang lebih terlihat tampan dan gagah dari Iwan, tapi karena sikapnya yang telah berani gentle menunjukkan keseriusan dan berani mengambil langkah untuk membuktikan niatnya.
***
[Assalamualaikum, Dhinil ... boleh nanya sesuatu gak?]
Aku membaca satu pesan via inbok saat sedang scroll melalui akun media sosial berwarna biru berlogo huruf F di sela-sela jam istirahat mengajar.
[Waalaikumsalam, boleh, kok, mau tanya apa emang?]
[Eumh ... Dhinil udah pernah punya janji belum sama seseorang?]
[Maksudnya janji apa nih, Kak?]
[Yaa ... janji untuk menikah dengan seseorang gitu?] tanyanya, to the point. Yang berhasil membuat jantungku bergetar halus, tak menyaka akan mendaptkan pertanyaan mendadak seperti itu.
Aku berusaha menata hati yang entah bagaimana rasanya, sebelum membalas dan menjawab pertanyaan darinya. Agar tidak salah jawab. Dan menyesal di hari kemudian.
[Alhamdulillah sampai saat ini Dhinil belum pernah punya janji dengan seseorang atau laki-laki manapun, apalagi janji untuk menuju hal yang sangat sakral itu.]
Aku mengirim balasan chatnya dengan tangan gemetar dan mendadak badanku terasa panas dingin serta hati yang berdebar persis seperti saat kali pertama bertatap muka dengannya.
[Alhamdulillah juga, berarti masih ada kesempatan dong, untuk Mas Agung melamar?]
Deg! jantungku serasa copot, hatiku melambung tinggi sesaat setelah bola mata ini menatap dan membaca chat balasannya.
'Ya Allah ... ! Mudah-mudahan ini bukan hanya mimpi di siang bolong,' doaku dalam hati.
Di saat aku mulai lelah dan pasrah dengan penantian panjang ini. Karena di usia yang mulai menginjak dua puluh enam tahun belum juga ada tanda-tanda dipertemukan dengan calon pendamping hidup.
Sedangkan menunggu Iwan sampai datang waktunya untuk melamar kurasa hanya penantian yang semu tanpa ada kepastian.
Padahal aku sudah bosan dan jengah mendengar komentar orang di sekeliling mengenai status yang masih tetap melajang.
Masih terngiang di telinga saat ada salah satu teman yang bilang, "Dhin, lo dikatain perawan tua yang gak laku-laku, tuh, sama ibu-ibu yang lagi ngumpul," kata Mira yang saat itu lagi main ke rumahku bersama Lyra.
Mendengar apa yang disampaikan Mira aku pun hanya tersenyum kecut menanggapinya. Ada rasa nyeri dan rasa minder terselip di dalam hati pada saat itu, tapi aku sendiri tidak bisa berbuat banyak selain melangitkan doa kepada Sang Maha Pengatur agar disegerakan bertemu dengan calon pendamping. Apa mereka tidak tahu, kalau masalah jodoh itu bagian dari rahasia Allah yang tidak satu orang pun manusia mengetahui waktunya akan datang.
Bersambung ....
***
Tak menyangka kalau Mas Agung hendak menemui untuk kedua kalinya langsung bersama keluarga dalam waktu dekat. Untuk melamar dan menjadikanku sebagai pendamping hidupnya.
Bagaimana bisa orang yang belum dikenal lebih jauh itu mempunyai niat yang selama ini kuharapkan. Sementara Iwan yang lebih dulu kukenal masih tetap dengan pendiriannya meminta menunggunya tanpa kepastian.
Sore hari saat Emak sedang sibuk untuk persiapan memasak di dapur. Aku memberanikan diri menghampiri sekalian membantunya memotong sayuran.
Sedangkan Abah kebetulan ikut duduk di kursi sambil menikmati segelas kopi hitam di atas meja yang berada di dapur.
Pikirku, mungkin saat inilah waktu yang tepat untuk berbicara dengan kedua orang yang sudah merawatku hingga kini menjelma menjadi gadis dewasa seperti saat ini. Dengan hati-hati aku pun memulai membuka pembicaraan.
"Mak, minggu depan Mas Agung
mau datang ke sini dengan keluarganya," ucapku.
Tangan Emak yang sedang memotong buncis seketika terhenti saat mendengar penuturanku barusan. Sorot netranya tajam menatapku.
"Lalu, bagaimana dengan Iwan?" tanyanya menyelidik.
Sedangkan aku hanya bisa diam menunduk tak mampu berucap saat ditanya tentang Iwan. Karena sudah sekian kali diriku membicarakan tentang hal yang menjurus ke pernikahan Iwan selalu beralasan supaya aku bersabar menungunya sampai ia lulus dari pesantren, sedangkan waktunya entah kapan.
"Tujuan Agung datang ke sini mau ngapain?" Perempuan yang sebagian rambutnya sudah memutih itu, kembali bertanya.
"Katanya, sih, mau melamar," jawabku pendek.
"Coba pikirkan dulu secara matang sebelum mengambil keputusan! Jangan sampai menyesal di akhir nanti. Lagi pula Iwan, kan, sudah ketahuan latar belakangnya orang baik."
"Iya, Mak, tapi masalahnya Iwan sampai saat ini masih belum bisa ngasih kepastian buat ke arah yang lebih serius." Aku mencoba memberikan alasan.
"Cari calon suami itu harus hati-hati. Jangan asal pilih. Kalau Iwan sudah kelihatan orangnya lagi di pesantren, paling tidak nanti kalau dia sudah lulus bisa jadi ustaz di kampungnya."
Abah yang dari tadi asik dengan kopinya ikut berkomentar.
"Mas Agung juga sarjana agama, Bah," sanggahku berusaha meyakinkan.
"Mau si Sarjana ataupun si Sarnaja, kek, tetap ustazlah yang lebih baik dan lebih ngerti agama. Banyak sarjana yang nganggur yang pintar tapi kebelinger," sangkal Abah masih tetap kokoh dengan pendiriannya.
Aku yang sejak tadi mencoba memberikan pengertian, berharap persetujuan Emak dan Abah serasa putus asa setelah mendengar respon keduanya yang seakan memberatkan Iwan. Laki-laki yang selama ini sering datang ke rumah, tapi tak kunjung memberikan keputusan. Apalagi untuk melangkah lebih jauh ke jenjang pernikahan.
Iwan selalu menyatakan beribu alasan setiap kali kudesak untuk hal yang satu ini. Berbanding balik dengan Mas Agung yang menunjukan keseriusannya dengan niat akan langsung melamar dalam waktu dekat.
***
Perasaanku sungguh dilema. Satu sisi ingin sekali segera menikah seperti teman-teman yang lain. Sisi lain, tidak mungkin menikah dengan pilihan sendiri tanpa mendapatkan restu dan ridho dari orang tua. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya menjalani rumah tangga tanpa doa dan restu dari orang yang telah melahirkan dan membesarkanku. Apalagi dalam urusan yang sangat sakral, yaitu sebuah ikatan pernikahan yang suci.
Hari-hari yang kujalani terasa tidak bersemangat seakan ada yang hilang. Padahal baru beberapa hari kemarin aku merasakan hati yang berbunga-bunga karena sudah ada seorang ikhwan yang telah berani mengungkapkan niat suci untuk meminang dan mengajakku ke arah hubungan yang lebih serius dan halal. Bukan yang hanya sekedar memberikan harapan palsu dengan janji-janji yang tidak pasti seperti Iwan.
Oleh karena itu aku begitu yakin dan mantap akan menerima Mas Agung sepenuhnya.
"Kenapa, sih, Din, lo dari tadi kok, kelihatannya murung dan diam terus. Kek ada galau-galaunya gitu, deh," seloroh Lyra saat melihatku berdiam diri dari semenjak keluar kelas tadi. Kini kami berdua sedang berada di ruangan perpus mengisi waktu jam istirahat pelajaran pertama.
"Gak ada apa-apa, kok, Ra. Gue baik-baik aja." Aku menjawab pertanyaan Lyra sekenanya.
" Yakin, nih, gak akan cerita sama gue? Biasanya juga tanpa ditanya juga sudah nyerocos duluan," sindir Lyra melirikkan kedua bola mata belonya ke arahku.
Dengan berat hati akhirnya aku pun menceritakan semua kegundahan hati yang membuat dilema dalam menentukan pilihan. Di antara harus tetap menunggu Iwan sampai waktu yang tidak pernah terlihat kepastiannya atau menerima Mas Agung yang sudah siap untuk melamar dalam waktu dekat tapi belum mendapatkan respon dan izin dari orang tua.
"Owalah ... bener, kan, kalau lagi galau?" ujar Lyra melempar kulit kacang yang sedang kami makan ke arahku.
"Makanya jadi cewek, tuh, jangan kemaruk, tahu!" sambung Lyra.
"Siapa yang kemaruk? kalau gue kemaruk, tuh, dua-duanya gue terima keles, bukan dipilih salah satunya," elakku menyangkal tuduhannya.
"Lha, itu buktinya punya calon suami, kok sampai dua cowok begitu? Gue aja yang cantiknya kek Ria Rheeces gak gitu-gitu amat. Eh, betewe, bagi dong atu, tuh yang namanya Mas Agung buat gue aja, Dhin. Lo, tahu sendiri, kan, kalau sampai saat ini gue masih jomblo." Lyra masih menggodku dengan celotehannya.
"Emang lo kira apaan kali, pake minta dibagi-bagi macem permen saja." Aku mendengkus kesal.
Tidak lama bel tanda masuk sekolah pun berbunyi. Kami pun bersiap untuk masuk ke kelas masing-masing untuk memberikan materi pelajaran selanjutnya kepada anak-anak berusia SD.
***
Setelah berusaha melupakan perdebatan kemarin dengan Emak dan Abah. Entah dapat angin segar dari mana tiba-tiba Emak seolah bisa menyelami perasaan anak gadisnya yang sedang dilanda bimbang.
"Iwan sudah tahu belum kalau minggu depan akan ada laki-laki lain yang datang ke rumah untuk melamar kamu?" Perempuan yang kulitnya sudah mulai banyak kerutannya itu bertanya penuh selidik. Menghampiriku saat sedang berada di dalam kamar.
"Sudah, Mak, tapi jawabannya diserahkan sepenuhnya pada Dhinil, tanpa ada tanda-tanda mau mempertahankan."
"Yasudah, Emak hanya bisa mendoakan siapapun yang jadi calon pendampingmu, mudah-mudahan itu yang terbaik. Karena kita hanya bisa berencana dan berharap, sedangkan yang berhak menentukan segalanya hanya yang Maha Kuasa," ujar wanita yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu itu dengan bijak.
Tak bisa digambarkan bagaimana bahagianya hati ini saat mendapatkan restu dan doa dari orang keramat. Aku menyerukan rasa syukur kepada Sang Maha Pembolak-balik hati.
Namun, terbersit dalam hati keraguan yang mendera saat ingatan tertuju kepada sepasang adik-kakak, Ifa dan Iwan. Selama ini hubunganku dengan Ifa masih sangatlah dekat dan akrab. Tempat mencurahkan setiap masalah atau sekedar ngobrol tentang banyak hal baik melalui pesan ataupun telepon.
Begitu pun dengan Ifa. Aku sudah dianggapnya sebagai calon teteh iparnya sendiri. Sepertinya Ifa yakin sekali kalau aku nanti akan jadi istri dari kakaknya.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!