Diluar Dugaan

***

Sabtu pagi yang cerah merupakan hari yang dinanti dan teristimewa bagiku. Karena hari ini akan kedatangan tamu seorang lelaki yang akan meminang dan menjadikanku sebagai pendamping hidup.

Semua harapan dan penantian panjang seakan terjawab sudah pada hari ini. Semalam mata ini nyaris tidak bisa terpejam karena hati dan pikiran melayang entah ke mana membayangkan hari esok.

Pagi ini aku sedang berkutat di dapur menyiapkan masakan istimewa request-an  Mas Agung yang sudah gentelman untuk melamar menuju suatu ikatan yang halal. Orek tempe kecap, ikan tongkol balado suir, telah kusiapkan untuk menu makan siangnya nanti. 

Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi Orang yang ditunggu pun akhirnya datang juga disambut oleh Abah dan dan beberapa bapak-bapak sesepuh kampung untuk membicarakan tentang hal yang aku sendiri kurang memahaminya.

Setelah Mas Agung mengutarakan maksud kalau kedatangannya yang kedua itu berniat untuk melamarku. Abah pun memberikan saran atau tepatnya meminta Mas Agung supaya bersedia sekaligus langsung diadakan acara ijab kobul dalam waktu dekat.

Karena menurut Abah, hal yang baik itu tidak elok untuk ditunda-tunda. Atau entah karena saking merasa hatinya begitu bahagia ada seorang lelaki yang datang untuk melamar anak gadisnya.

Mas Agung terkesiap sesaat setelah mendengar permintaan dari Abah. Ia tidak menyangka kalau respon calon bapak mertuanya itu begitu antusias dan memintanya untuk bisa menikahiku dalam waktu dekat.

Padahal rencana awalnya saat ini  Mas Agung hanya berniat untuk melamar. Sedangkan untuk melaju ke arah pernikahan ia berniat akan mempersiapkannya dulu sampai enam bulan ke depan. Seperti yang pernah dibicarakan denganku sebelumnya. Tapi ternyata semua diluar planingnya sendiri.

Antara terlihat senang dan sedikit ragu Mas Agung akhirnya mengiyakan dan menyanggupi permintaan Abah. Setelah sebelumnya ia berembuk dan meminta persetujuan dari pihak keluarganya sendiri.

Penetapan hari H jatuh pada hari jumat depan, atau kurang lebih satu minggu dari acara lamaran. Aku merasa ini semua seakan mimpi kalau dalam waktu seminggu ke depan akan meninggalkan masa lajang dan berganti setatus menjadi seorang istri.

Setelah obrolan dianggap selesai dan cukup Emak mempersilahkan tamunya untuk makan siang bersama.

***

Aku sedang merapihkan piring-piring kotor bekas makan siang tadi di dapur. Ketika Mas Agung hendak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu kami berpapasan. Ada desiran halus di dalam dada saat memandang sosok pria berdiri menjulang persis di hadapanku. 

Dengan balutan kemeja batik ungu lengan panjang dan celana panjang warna senada Mas Agung terlihat sangat dewasa dan kharismatik. Rambutnya dipotong pendek tersisir rapi semakin sempurna terlihat ketampanannya.

"Lagi ngapain calon istri dari tadi sibuk di dapur terus?" Mas Agung bertanya setengah menggoda.

Pipiku terasa seperti memanas menahan malu mendengar pertanyaan lelaki berhidung mancung itu yang dalam hitungan hari akan menjadi imamku nanti.

"Eng ... enggak, kok, Kakak sendiri ngapain pake nyasar ke sini?" Aku menjawab seraya memberikan pertanyaan asal.

"Mau ke kamar mandi, sebelah mana, ya?"

"Nanya beneran, apa basa-basi doang, nih?"

"Ya ... kali aja kamar mandinya udah pindah gitu," selorohnya.

"Yaudah, cepet sono kalau mau ke kamar mandi!" Aku mendelikan mata sambil menahan senyum. Berharap laki-laki itu segera hilang dari hadapan yang dari tadi telah membuatku salah tingkah terus dibuatnya.

***

Setelah acara lamaran sekaligus menentukan hari H untuk akad nanti keluarga Mas Agung pamit untuk segera pulang dan akan mulai mempersiapkan segala sesuatunya dari sekarang karena harus mengurus surat menyurat dari kampung tempat tinggalnya yang beda provinsi dengan daerah tempat tinggalku.

Di dalam kamar aku termenung seorang diri. Memikirkan seseorang yang sudah lama memberikan harapan tapi tak kunjung memberikan kepastian sampai saat ini. Sampai kini aku ada yang meminang untuk dijadikan pendamping hidup.

Satu sisi hatiku merasa berbunga-bunga saat ada seorang pria yang sudah berani datang kepada Emak dan Abah untuk melamar, tetapi di sisi lain hati kecilku ragu dan merasa bersalah kepada Iwan yang sampai saat ini belum tahu menahu tentang diriku kalau saat ini setatusku sudah jadi calon istri dari lelaki lain.

Aku hanya bisa menyayangkan sikap Iwan yang terlalu percaya diri dengan pemikirannya kalau aku pasti akan menantinya sampai ia lulus dari pesantren. Padahal kenyataannya aku sangat menanti seorang pria yang telah siap memilih untuk menjadikan sebagai istri.

Berita tentang hari H pernikahanku pun sudah menyebar luas ke pelosok kampung.

"Ekhem ... ada yang bau bonteng, euy!" Ungkapan seperti itu biasanya ditujukan kepada orang yang sebentar lagi akan menikah dalam waktu dekat. Dan aku pun sudah mulai mendengar kalimat seperti itu yang ditujukan kepadaku oleh sebagian orang yang sedang menggoda. Aku hanya menanggapi dengan tersenyum.

"Horee ... persiden jomblowati kampung akhirnya mau nikah juga!" Harus diarak keliling kampung ini mah, biar meriah." Lyra berseru meledek saat aku sedang main di rumahnya.

"Ish, apaan sih, lo, emang gue pengantin sunat apa pake acara diarak keliling kampung segala," ujarku mendelikkan kedua bola mata ke arah Lyra yang sedang melipat baju.

"Tapi jujur, ya, Dhin, sebenarnya tuh, gue sedih tahu, karena sekarang lo mau menikah."

"Lha, bukannya ikut senang dan bahagia, sahabat sendiri sudah mau laku, ini malah sedih. Giman sih, lo, Ra?" ujarku melempar tumpukkan pakaian ke arah Lyra.

"Ya, jelas gue sedih, lah. Nanti kalau lo sudah nikah dan diboyong ke tempat suami lo, kita gak bakalan bisa masak dan makan mie rebus bareng lagi, lo gak bisa nginep tiap malam lagi di kamar gue," tutur Lyra mencurahkan isi hatinya.

Kekhawatiran Lyra bukan tanpa alasan, karena kami berdua sudah begitu akrab dan dekat dari semenjak Lyra duduk di bangku SMA sampai sekarang dirinya sudah duduk di bangku kuliah jurusan bahasa inggris di kampus UNMA. Universitas terbesar yang ada di kota Pandeglang. Apalagi aku dan Lyra satu rekan mengajar di sekolah dasar. kebersamaan dengannya jadi semakin erat dan intens. Seolah tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Selalu saling suport dan saling memberi solusi dalam setiap permasalahan yang dihadapi masing-masing.

"Ya, nanti, kan, gue juga bia mudik lagi ke sini, Ra."

"Tapi tetap beda lah, kalau udah nikah mah, pasti akan sibuk dengan suami dibanding menghabiskan waktu bareng temen," jawab Lyra.

"Eh, betewe, lo udah ngabarin Kak Iwan belom kalau lo udah mau nikah sama Mas Agung?" tanya Lyra mengingatkan.

" Belum, Ra," jawabku pendek.

"Yang bener, lo? Buruan kasih tahu lah, jangan sampai Kak Iwan nanti tahunya setelah lo jadi istri sah laki-laki lain, bisa semaput nanti lo anak orang."

Bersambung..,

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!