***
Sudah tujuh hari lelaki berusia dewasa itu terlihat murung tidak bergairah. Kegiatan di lingkungan pesantren pun ia ikutin dengan setengah hati. Seakan tak ada gairah lagi untuk menjalani dan meniti kehidupan apalagi menyongsong masa depan yang indah. Yang jauh-jauh hari sebelumnya sudah ia rencanakan. Namun, rencana dan angan tidak bisa menjadi nyata ketika takdir berkata lain.
Kini, Iwan harus belajar ikhlas menerima takdir dan kenyataan yang menimpanya. Gadis yang selama ini ia titipkan kepercayaan sepenuhnya nyatanya kini pergi dari kehidupannya dan lebih memilih hidup bersama pria yang memberikannya kepastian. Iwan baru menyadari keberadaan Dhinil saat ini sangat berpengaruh dalam hidupnya, setelah gadis itu kini dihalalkan oleh lelaki lain selain dirinya.
Tadinya Iwan begitu yakin kalau Dhinil akan selalu menolak setiap pinangan yang datang. Dan akan selalu menunggunya sampai ia nanti lulus dan boyong dari pesantren.
Iwan tidak menyangka kalau pertemuannya dua Minggu yang lalu sebelum menjelang hari H merupakan hari terakhir pertemuan mereka.
FlashBack:
Siang itu Iwan mengajak Dhinil untuk bertemu di alun-alun kota Menes. Ia berniat akan mengambil buku novel yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih milik teman di pesantren yang ia pinjamkan kepada Dhinil.
Untuk menghindari fitnah Dhinil mengajak sahabatnya, Lyra agar menemaninya saat bertemu dengan Iwan.
Suasana alun-alun Menes cukup lumayan ramai. Sepanjang jalan pinggir alun-alun lapangan dikelilingi penuh oleh para penjual makanan dan minuman yang berjejer memadati bahu jalan. Puncak keramaian biasanya menjelang sore dan malam hari orang-orang pada datang silih berganti dari berbagai pelosok sekitar daerah Menes dan sekitarnya.
Tidak ada percakapan yang panjang dan serius saat Dhinil bertemu dengan Iwan. Seolah tidak ada apa-apa diantara mereka. Karena saat itu tidak ada keberanian dalam hati Dhinil untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya. Kalau dalam waktu dekat ia akan dilamar oleh lelaki lain.
Dhinil memperlihatkan sikap seolah semuanya baik-baik saja. Setelah Dhinil menyerahkan buku novel yang sempat ia pinjam dan selesai membacanya sampai tamat. Ia malah sibuk ngobrol dengan Lyra tanpa memperdulikan kehadiran Iwan di sana.
Sebelum mereka berpisah Iwan sempat memberikan Dhinil uang berwarna biru untuk sekedar membeli es dan bakso berdua bersama Lyra. Sedangkan Iwan sendiri memilih langsung pulang ke rumah tanpa menemani Dhinil dan Lyra saat memesan dua mangkok bakso makanan favorit mereka.
"Dhin, Lo gak ajak Kak Iwan buat makan bakso bareng kita dulu, gitu? tanya Lyra.
"Enggak, lah, dia tuh, lagi puasa udah beberapa bulan terakhir ini. Katanya ritual puasa kalau sudah mulai menuju waktu kelulusan dari pesantren."
"Waah ... bentar lagi K. Iwan udah tamat dong, mondoknya. Dan berarti sebentar lagi akan ada yang dilamar nih," ledek Lyra. Yang belum tahu kalau Dhinil sebentar lagi akan didatangi dan dipinang oleh pria lain asal jawa.
Semua mata yang berada di kedai bakso melirik ke arah Dhinil secara bersamaan saat tadi Lyra teriak meledek Dhinil.
"Ssst .... ! Berisik bawel. Lihat tuh, orang-orang pada lihatin kita ke sini," bisik Dhinil tepat di bagian telinga kiri Lyra.
Lyra membalasnya hanya dengan nyengiran kuda.
***
Beberapa waktu yang lalu juga Iwan tidak menyadarinya kalau ternyata Dhinil sudah mulai kenal dengan Agung yang tidak sengaja melalui Ifa lah Dhinil dan Agung bisa saling kenal.
Siang itu setelah salat Zuhur, karena tidak ada jadwal ngaji kitab sebagai kegiatan di pesantren. Iwan bermaksud menghubungi Dhinil melalui telepon genggam. Hampir lima kali panggilan ia lakukan ke nomor ponsel Dhinil. Namun tak kunjung dijawab juga. Iwan tidak mengetahui kalau hari itu adalah hari pertama Dhinil bertemu dengan Agung di rumahnya sendiri.
Saat itu pun Dhinil terlihat kebingungan kala melihat nama Iwan tertera di layar ponsel memanggilnya sampai beberapa kali panggilan. Hati kecilnya ia ingin sekali menerima panggilan telepon itu. Namun, Dhinil tidak enak hati karena di hadapannya ada Agung yang sedang asyik ngobrol dengan emak dan abah. Dhinil pun memilih mengabaikan panggilan telepon dari Iwan.
Baru saja Iwan hendak memejamkan mata. Tidur istirahat siang. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara dering ponsel yang berbunyi nyaring persis di samping telinganya.
Dalam hati ia berharap Dhinil menelpon balik dirinya. Setelah dilihat siapa yang sedang memanggil, ternyata dugaannya meleset jauh. Karena yang Iwan lihat nama yang tertera di layar kaca ponselnya yaitu nama Ifa. Yaitu tidak lain adiknya sendiri. Karena penasaran khawatir ada kabar dari keluarganya sendiri Iwan pun langsung menekan tombol jawab dan langsung tersambung dan memulai percakapan dengan adik perempuannya.
"Halo ... Fa, ada apa, kok, tumben nelpon Aa?"
"Aa Iwan sekarang lagi di mana? Lagi di rumah Teh Dhinil apa di mana?" cecar Ifa.
"Aa sekarang lagi di pesantren, gak sedang pergi kemana-mana. Emang ada Fa, kok, kedengarannya panik begitu?"
"Aa gak tahu, gitu, kalau sekarang di rumah Teh Dhinil ada siapa?"
"Enggak, emang kenapa? ada siapa gitu?"
"Tadi Ifa telepon ke nomornya Teh Dhinil dan yang ngangkat suara lelaki, suaranya mirip dengan Mas Agung."
"Kok, bisa, Fa?"
"Ya, mana Ifa tahu."
Iwan terdiam sesaat. Pikirannya mulai menerka-nerka sendiri. Apakah benar lelaki yang bernama Agung yang dulu sempat menjadi calon dari adiknya itu kini serius akan memilih dan meminang Dhinil.
Iwan baru sadar, tadi ia sempat menghubungi Dhinil tapi utama sekali pun gadis itu menjawab panggilan telepon darinya. Mungkinkah benar apa yang dikatakan Ifa kalau saat ini sedang ada tamu istimewa di rumahnya Dhinil.
" Yasudah, nanti malam Aa telepon Teh Dhinil lagi untuk memastikan," ungkap Iwan kepada Ifa, adiknya. Sebelum menutup sambungan telepon.
***
"Iwan ... gue gak nyangka banget, sih, sama lo! pandai sekali Lo menyembunyikan masalah besar seperti ini seorang diri." Ucapan Amir yang tiba-tiba membuat Iwan terkesiap dari lamunan panjangnya.
Amir adalah salah satu teman di pesantren yang paling dekat dan akrab dengan Iwan. Beberapa bulan yang lalu nasib Amir pun hampir sama dengan temannya itu. Yaitu harus rela dan ikhlas ditinggal nikah oleh perempuan yang ia dambakan. Dengan alasan yang sama karena mereka yang masih bersetatus santri itu tidak bisa mengabulkan permintaan kekasihnya untuk segera menghalalkan mereka.
Dan kini nasib mengenaskan itu pun sedang menimpa Iwan, sahabatnya sendiri.
"Lo, ditinggal nikah, kan, sama Dhinil?" selidik Amir.
"Apaan, sih, Lo, sok tahu, ah!"
"Tinggal bilang iya, doang juga, masih ditutup-tutupin aja. Hey ... kemarin Dhinil tuh sempat nelpon gue, nanyain kabar dan memastikan keadaan lo di sini, khawatir lo depresi atau mati gantung diri. Kan, horor kalau sampai masuk berita koran pagi ada seorang santri mati bunuh diri akibat ditinggal kawin," ledek Amir sambil tergelak menertawakan nasib ngenes yang sedang menimpa Iwan, sahabatnya.
"Berisik, Lo, Mir, keluar Sono dari kamar gue!" usir Iwan kemudian.
"Udah, lah, jangan lama-lama patah hatinya. Gue aja dulu kuat kok, waktu ditinggal nikah sama Ita. Buktinya sampai sekarang gue masih idup, iya, kan?" Amir masih terus menggoda Iwan.
"Makanya kalau belum siap nikah, jangan suka PHP-in anak orang. Biar gak kena batunya kek gini," pungkas Amir belum berhenti berkomentar.
"Udah belum ente tausiyahnya?" tanya Iwan.
" Ye ... dibilangin, malah begitu. Ya udah, ane cabut."
Pikiran Iwan mulai menerawang kembali, setelah memastikan Amir sudah menjauh dari area kamarnya. Yang jadi pikirannya saat ini yang paling berat yaitu memikirkan nasib Ifa, adik kandungnya sendiri. Khawatir tidak bisa menguasai diri dan belum bisa menerima kenyataan kalau ternyata pria yang diidamkan malah berpindah ke lain hati yang tak lain orang yang sempat akan menjadi calon teteh iparnya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments