Diusir Secara Halus

***

Hari ini Mas Agung sudah mulai masuk kerja. Dan itu artinya aku harus tinggal di rumah seorang diri

Setelah pekerjaan di dapur dan bersih-bersih rumah kurasa selesai dikerjakan. Aku pun kembali memasuki kamar untuk sekadar meluruskan kaki dan punggung di tempat tidur.

Baru saja hendak merebahkan diri tiba-tiba terdengar ketukkan pintu dan suara orang memanggil namaku. Aku pun segera meraih hijab kembali yang tergantung di kastok dinding kamar dan mengenakkan dengan terburu.

Kubuka pintu perlahan. Terlihat sosok seorang ibu muda sekitar berumur empat puluh lima tahun.

Ibu yang bernama Bu Sukma itu menyarankan agar aku mengisi rumah kosong yang berada di tetangga desa. Rumah tersebut sudah dibiarkan kosong selama kurang lebih tiga tahun semenjak suami dari yang punya rumah tersebut meninggal dunia. Setelah itu ibu yang punya rumah memilih hidup bersama anak-anaknya di kota Jakarta karena sudah memiliki rumah sendiri-sendiri.

"Iya, Mbak, nanti saya rembukin dulu sama Mas Agung kalau beliau sudah pulang kerja." Aku menanggapi saran yang diberikannya.

"Gak usah nunggu Agung pulang juga gak apa-apa kali, Dhin. Biar Mbak sekarang anterin kamu ke sana, yuk!" ajak Mbak Sukma sembari menyuruhku untuk segera mengemasi barang dan pakaian.

"Nanti kalau Agung sudah pulang ke rumah, sama Mbak dikasih tahu biar tinggal nyusul kamu ke rumah yang di sana. Atau enggak kamu sms atau telepon aja biar nanti pulangnya langsung ke sana," sambung Mbak Sukma membuatku merasa mendadak gak enak hati dan merasa terusir dari rumah ini.

"Maaf, Mbak, kalau sekarang saya gak bisa. Nanti kalau Mas Agung sudah datang saya akan langsung mengajaknya ke sana," tawarku berharap diriku tidak terus didesak untuk meninggalkan rumah seorang diri.

Lagi pula untuk tinggal di tempat baru setidaknya harus ada persiapan dulu sebelumnya. Barang-barang dan pakaian pun banyak yang harus dibawa menggunakan tas besar.

Karena usahanya menyuruhku untuk segera angkat kaki dari sini gagal dan mendapat penolakkan. Mbak Sukma berlalu begitu saja sambil melengos.

Aku sempat bertanya-tanya dalam hati. Kenapa dan salah apa sehingga diriku begitu tidak diharapkan dan tak diinginkan keberadaanku oleh satu orang ini. Padahal ibu dan bapak mertua sendiri selama ini sikapnya selalu baik-baik saja dan selalu ramah tanpa ada rasa membedakan terhadap anak dan menantu.

Daripada aku memikirkan dan bersuudzon sendiri lebih baik aku menanyakannya langsung nanti kepada Mas Agung. Kenapa sikap Mbak Sukma bisa seperti itu terhadapku.

***

Mendengar samar suara kenalpot sepeda motor yang biasa dikendarai Mas Agung dari arah depan rumah membuat hatiku merasa lega.

Setelah membuka sepatu dan menaruhnya di rak yang berada di teras depan rumah Mas Agung segera menghampirimuku yang sudah berdiri di ambang pintu. Aku meraih punggung tangan lelaki tampan itu lalu menciumnya penuh takzim. Mas Agung membalas dengan kecupan lembut di dahi.

"Mau salat dulu apa makan dulu, Kak?" tanyaku memberikan tawaran.

"Kakak udah salat tadi di musala tempar kerja. Sekarang mau makan aja dulu kalau emang udah ada yang buat dimakan mah."

"Kalau belum ada?" pancing sangku.

"Ya, puasa, aja."

"Mana ada orang puasa paginya tadi sudah menghabiskan nasi goreng bakso sepiring metung." Aku cekikikan mendengar jawabannya yang ngasal.

Aku pun segera menyiapkan makan siang suami tercinta dengan tergesa

 Kusendok secentong nasi putih beserta lauk ikan tongkol balado dan orek tempe kesukaan Mas Agung lengkap dengan tumis kobis.

Kami menikmati makan siang berdua dengan lahap disertai obrolan kecil. Sedangkan kedua orang tua Mas Agung dari Subuh sampai tengah malam selalu tinggal di kios yang berjarak sekitar lima ratus meter dari rumah.

Hanya Mbak Sukma yang selalu berada di rumah ini bersama kedua anaknya yang duduk di kelas empat SD dan bayi berumur empat bulan.

Sambil menemani Mas Agung istirahat. Dengan hati-hati aku mulai menceritakan apa yang diomongkan Mbak Sukma saat Mas Agung tadi belum pulang dari tempat kerja. Pria itu hanya tersenyum santai menanggapai apa yang kusampaikan.

"Menurut Adek enaknya kita tinggal di mana? Tetap di sini bareng ibu, bapak, dan keluarga Mbak Sukma atau kita cari tempat yang lain?" Mas Agung menawarkan pilihan. Karena mungkin ia ingin tinggal di mana pun asalkan istrinya sendiri merasa nyaman dan betah tanpa tekanan dari pihak manapun.

"Kalau Adek sendiri, sih, sebenarnya tinggal di sini pun betah. Tapi kalau misah dan cari tempat tingggal sendiri kayaknya kebih nyaman dan aman kali, ya, Kak?" ujarku meminta pertimbangan. Apalagi mengingat tadi aku sudah mendapat omongan yang kurang enak dari Mbak Sukma yang menginginkan agar aku untuk segera mengisi rumah kosong yang berada di tetangga desa.

Mas Agung mengajakku untuk bersiap-siap dan mengajak pergi dari rumah menggunakan sepeda motor ke suatu tempat yang aku pun tidak tahu tujuannya ke mana.

"Kak, ini kita mau kemana?" tanyaku saat dibonceng.

"Kemana aja boleh, kan, sama suami sendiri." Mas Agung menjawab asal.

"Serius, lah, Kak, ini mau kemana?"

"Cari kontrakan," jawabnya pendek.

Bibirku tersenyum senang mendengar jawaban darinya. Setidaknya kalau tinggal berdua walaupun di kontrakan akan membuat jauh lebih nyaman dan leluasa dan yang pasti lebih bebas berekspresi nanti.

Mungkin karena daerahnya yang masih termasuk pedesaan dan jauh dari pusat kota sehingga kami agak kesusahan mencari kontrakan dengan cara mendadak seperti ini. Sudah beberapa kecamatan terdekat kami kelilingi sambil bertanya kalau saja ada kontrakan kosong.

Namun hasilnya nihil, sampai hari sudah mulai menjelang sore tidak ada satu pun kontrakan yang kami temui. Ada beberapa bangunan baru yang terlihat masih kosong tapi setelah ditanya-tanya kata sang pemilik itu hanya boleh ditempatin oleh orang yang kost saja yang sedang bekerja atau kuliah. Karena tidak diperbolehkan masak dan nyuci di dalamnya. Hanya ada sekadar untuk tidur dan mandi saja.

Dengan perasaan kecewa aku mengajak Mas Agung untuk pulang dulu dan rencananya esok hari kami akan berkeliling lagi mencari tempat tinggal yang cocok.

Menuju perjalanan pulang aku menyarankan agar Mas Agung mampir ke desa tetangga tempat rumah kosong yang sempat ditunjukkan oleh Mbak Sukma tadi pagi. Untuk memastikan apakah rumah itu masih layak untuk kami tempati atau tidak nantinya.

Mas Agung membelokkan sepeda motornya menuju gang sempit ke jalan tempat rumah kosong yang kami tuju.

Letak rumah yang berjarak lumayan jauh dengan tetangga sekitar membuat rumah itu terasa beda. Apalagi sudah dibiarkan kosong selama beberapa tahun. Hatiku merasa ragu dan gak kuat nyali kalau harus tinggal di sana.

Bersambung...,

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!