***
Hati ini merasa ragu antara harus menerima panggilan telepon dari Ifa atau mengabaikannya. Tapi, akhirnya perlahan kuusap juga tombol jawab yang tertera di layar gawai.
"Hallo ... Assalamualaikum, gimana kabarnya, Fa, sehat? Kemana aja, kok, selama ini gak ada kabarnya?" sapaku sembari meletakkan benda pipih itu di sebelah telinga kanan.
"Heleh ... jangan banyak basa-basi kamu! Dasar cewek matre! Ternyata selama ini kamu hanya manfaatin Kakakku doang, ya? gak nyangka aku sama kamu!"
Aku syok mendengar makian secara beruntun dari Ifa. Tidak menyangka kalau Ifa yang sebelumnya kukenal baik dan ramah bisa bicara sekasar dan sepedas itu.
"Maksudnya, Fa? Kenapa kamu bisa ngomong seperti itu sama Teteh?"
"Jangan pura-pura kayak gitu, deh, kamu! Dasar perempuan gak punya hati! Di mana nurani kamu? Pinter sekali bermain sandiwara di belakangku!"
Mendengar ucapan Ifa yang semakin tak terkendali itu aku hanya bisa menelan ludah. Tak terasa kedua bola mata mulai mengembun. Semua ucapan Ifa yang ditujukan kepadaku bagai sembilu yang dihunjamkan ke ulu hati. terasa sakit dan perih.
"Maaf, Fa, aku tidak merasa seperti apa yang kamu ucapkan padaku barusan." Suaraku terdengar bergetar menahan tangis yang dari tadi tidak bisa dikendalikan.
"Apa katamu, tadi? Gak merasa? Hebat, ya, bener-bener cewek gak punya otak! Gak punya hati!" umpat Ifa tanpa peduli dengan perasaanku.
"Bisa-bisanya kamu, ninggalin Kakakku gitu aja, dan menikah dengan Mas Agung, lelaki yang dulu pernah jadi calon suamiku!" teriak Ifa histeris dari ujung sambungan telepon sana.
"Istighfar Fa! Walaupun aku sekiranya menurutmu salah. Tapi gak seharusnya kamu maki-maki aku seperti itu! Apa kamu lupa semua ini sudah ada yang mengatur, Fa. Allah yang sudah menentukan dan menggariskan jodoh kita masing-masing!" ucapku berusaha mengingatkan dan meredam emosi Ifa yang meledak-ledak sedari tadi.
"Walaupun itu harus mengorbankan perasaanku dan perasaan Kak Iwan sekaligus? Dasar egois. Gak nyangka aku kalau hati kamu, sebusuk itu!"
"Cukup, Fa! tolong jaga ucapan kamu! Jangan asal tuduh seperti itu!" seruku yang mulai terpancing emosi oleh kata-katanya yang kuanggap sudah diluar batas kewajaran.
Apa aku salah sudah menerima pinangan dari lelaki yang sudah jelas terlihat berniat serius untuk menyempurnakan separuh agama ini. Karena bagaimanapun juga semua sudah takdir dari ketentuan yang sudah Allah tetapkan untuk semuanya. Dan aku hanya menjalani bagian dari yang sudah Allah gariskan. Walaupun hati kecil ini berkata, mungkin diriku tidak akan pernah sanggup kalau harus berada di posisi Ifa dan Iwan. Seperti nasib kedua kakak beradik itu. Harus ditinggalkan oleh orang-orang yang selama ini diharapkan akan menjadi jodohnya. Yang ternyata itu semua hanya impian semu belaka. Karena hanya Allah lah Sang Maha Pengatur Segalanya. Yang mengatur setiap jodoh, rezeki, dan maut semua hambanya.
Oleh karenanya aku pun tidak terima kalau sepenuhnya disalahkan. Karena bagaimanapun Iwan juga terlalu egois yang selalu menuntutku untuk terus menunggunya tanpa kepastian yang jelas.
Untuk masalah hubungan antara Mas Agung dengan Ifa yang dulu sempat punya rencana akan menuju ke arah pernikahan, itu pun baru rencana saja. Karena diluar dugaan di tengah jalan mereka harus berpisah kemudian harus menentukan pilihan masing-masing. Dan kebetulan sekali pilihan Mas Agung jatuh kepadaku yang dulu sempat akan menjadi calon kakak iparnya Ifa. Walaupun semua tinggal rencana karena semua meleset jauh dari perkiraan. Begitulah, manusia hanya sebatas berangan sedangkan Allah-lah Sang Maha Penentu Segalanya.
"Kok, nangis, kenapa Dek?" Aku terkesiap saat tangan kekar Mas Agung mengusap lembut pundakku. Tak menyadari kalau dirinya sudah berada di samping dan melihatku sedang menangis setelah menerima telepon dari Ifa barusan.
"Engga, Kok, Adek hanya merasa kangen aja sama Emak," ujarku berusaha menyembunyikan semua perasaan. Karena tidak mungkin harus menceritakan perihal omongan Ifa barusan. Karena situasi dan kondisinya yang belum tepat untuk dibicarakan di tempat umum seperti ini.
"Walaah ... belum juga naik bus udah kangen Emak aja, gimana nanti kalau udah sampe sana? Jangan-jangan nanti Adek minta langsung dianterin pulang lagi sama Kakak, karena gak betah," seloroh lelaki berperawakan tinggi itu.
"Ya, enggak, lah, kan, nanti selalu ada Kakak yang gantiin kalau Adek lagi kangen sama Emak."
"Waduuh, kok, Kakak disamain dengan emak-emak, sih, emang ada tampang emak-emak, gitu?" Mas Agung tertawa menanggapi ucapanku.
"Iya, kan, sekarang Kakak harus menjadi sosok Emak, Abah, sahabat, sekaligus suami untuk Adek."
"Oke, lah, kalau begitu. Kakak siap jadi siapa aja, asal istri tercinta ini senang dan bahagia."
Bus antar provinsi yang akan kami tumpangi sudah bersiap akan berangkat, karena waktu sudah menunjukkan jam dua siang. Mas Agung mengajakku untuk segera menaiki bus sinar jaya langganannya itu. Semua barang Mas Agung yang membawa masuk ke dalam mobil. Aku hanya menjinjing plastik kecil berisi makanan cemilan dan minuman untuk bekal saat berada di dalam bus nanti.
Aku memasuki bus dan duduk di deretan kursi bagian tengah bersama Mas Agung. Suasana bernuansa Djowo sangat terasa sekali. Padahal saat ini posisinya masih berada di sekitar terminal Serang. Mungkin karena lagu-lagu dari kaset yang diputar oleh sang supir berirama lagu jawa campur sari dan hampir semua penumpang bus semuanya berbicara dengan menggunakan bahasa jawa yang terdengar asing di telingaku.
"Oya, Kak, berapa jam nanti kita berada di bus ini?" tanyaku membuka obrolan dengan suami yang duduk di kursi persis di samping kiri. Sedangkan aku duduk di sebelah pinggir dekat dengan kaca jendela bus supaya bisa melihat pemandangan di luar jalan sana.
"Kalau perjalanan lancar biasanya dua belas jam juga udah sampai terminal Gombong nanti." Mas Agung menjawab pertanyaanku sambil memakai masker penutup muka mungkin agar ia tidak merasa mual saat di perjalanan bus nanti. Karena lelaki bertubuh tegap itu tadi sempat bilang selalu mabuk perjalanan setiap kali dirinya menaiki kendaraan darat seperti bus atau yang lainnya.
Perlahan bus mulai melaju. Aku mengambil ponsel dari dalam tas cangklong yang kukenakan. Perasaanku campur aduk antara sedih dan ikut emosi kala teringat caci maki yang dilontarkan Ifa tadi. Aku mulai mengetik semua unek-unek yang sedari tadi bergemuruh di dalam hati. Kucari nama kontak bernama Iwan agar dirinya tahu dengan perlakuan adiknya tadi yang sudah meneror dan sukses membuatku menangis.
[Mohon dimaklum aja. Mungkin pikiran adikku belum dewasa]. Chat balasan dari Kak Iwan.
Aku menghela napas panjang dan memasukkan kembali ponsel ke dalam tas.
***
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments