***
Saat aku sibuk dengan pikiran sendiri. Aku dikejutkan oleh suara seseorang yang masuk ke dalam kamar. Mengabari kalau rombongan calon mempelai pengantin lelaki sebentar lagi akan tiba. Aku mengucap syukur di dalam hati karena semua kegundahan dan kekhawatiran dalam dada terjawab sudah dengan khabar yang barusan kuterima.
Semua sudah dipersiapkan untuk memulai acara ijab kabul yang telah dijadwalkan. Degup jantungku mulai terasa tidak beraturan menanti detik-detik waktu yang akan membawa ke dalam kehidupan baruku.
Bapak penghulu yang diundang dari KUA sudah duduk bersila bersiap akan melakukan tugasnya. Beberapa saksi dan dan tamu undangan yang sudag sudah hadir turut duduk di kursi masing-masing hendak menyaksikan langsung acara syakral ini.
Di depan pak penghulu telah duduk dengan tegap calon pengantin lelaki yang tinggal menunggu beberapa menit lagi akan mendapatkan peralihan tanggung jawab yang berat di pundaknya.
Suara pembuka dari MC melalui alat pengeras suara mulai terdengar oleh semua orang yang hadir. Pertanda acara inti akan segera dimulai. Setelah diawali dengan kalimat pembuka dan pembacaan ayat suci Al-qur'an dikumandangkan oleh sang qori', sang pembawa acara membacakan acara selanjutnya yaitu acara yang telah dinanti-nanti oleh semua orang yang hadir.
"Saya terima kawin dan nikahnya saudari Dhinil Khoirunnisa dengan mas kawin seperangkat alat salat dan sejumlah uang dibayar tunai." Dengan satu tarikan nafas akhirnya ijab kobul itu pun telah terucap oleh lelaki yang saat ini sudah menyandang setatus sebagai suami.
"Bagaimana, para hadirin semua yang hadir di sini, sah?" tanya pak penghulu memastikan.
"Sah, sah, sah .... ! "
Terdengar suara koor dari semua orang yang hadir.
"Alhamdulillahirobilalamiin ..... "
Ucapan syukur pun terdengar dari setiap bibir orang dan tamu undangan yang hadir. Semua merasa lega setelah melewati detik-detik yang cukup menegangkan itu terutama pengantin lelakinya karena khawatir tidak bisa mengucapkan lafaz ijab kobul dengan sempurna. Namun, semuanya telah berjalan dengan lancar, selamat.
Setelah acara serah terima perwakilan dari kedua mempelai lelaki dan wanita, acara pun ditutup dengan doa bersama dipimpin oleh sang ustaz sesepuh kampung setempat.
Kulihat para tamu undangan dan semua yang hadir mulai sibuk dengan jamuan yang sudah disiapkan dari tadi oleh tuan rumah. Meja perasmanan mulai ramai diserbu para tamu dari pihak rombongan mempelai pria berbaur dengan tamu undangan dari kampungku setempat, untuk menikmati hidangan sederhana yang sudah disajikan oleh ibu-ibu yang berada di dapur.
Karena bertepatan dengan waktu salat jum'at, sebelum pulang para tamu undangan khususnya kaum lelaki menyempatkan diri untuk salat jum'at terlebih dahulu di masjid terdekat. Setelah itu baru satu persatu pamit meninggalkan tempat sohibul hajat.
***
"Bagusan juga begini, lebih enak dilihatnya juga, daripada dandanan kaya tadi," ungkap Mas Agung setelah melihatku menghampirinya dengan penampilan alami tanpa riasan make up yang tadi ia kenakan.
"Memang kenapa, Kak? jelek ya, kalau Adek didandanin kayak tadi," tanyaku malu-malu.
"Lebih suka seperti ini dilihatnya, daripada menor kaya tadi." Mas Agung menandaskan. Membuat kedua pipiku terasa memerah.
"Selamat, ya, Mas Agung dan Teh Dhinil sekarang sudah sah jadi suami istri. Moga jadi keluarga yang sakinah, mawadah, warrohmah," ucap Lyra sambil menyalami kami berdua.
"Eh, tunggu dulu, Ra, apa tadi? gak salah dengar, ya, kalau saya sekarang sudah jadi suami?" tanya lelaki berkulit cokelat itu memastikan.
"Ya, iyalah. Kan, Mas Agung sekarang udah nikah, barusan udah ijab kobul, berarti udah berganti setatus menjadi suami, tho?" Lyra menjelaskan.
"Ini beneran, kan, Ra? bukan hanya mimpi?" Mas Agung masih belum yakin.
"Dhin, coba cubit tuh, suami lo, biar gak dianggap mimpi kalau lo sekarang udah jadi bininya," ujar Lyra kepadaku yang duduk di sebelahnya.
"Biarin. Biar bangun sendiri aja dari mimpinya," timpalku kemudian.
"Masih berasa mimpi ya, kalau sekarang saya sudah berganti setatus jadi suami."
"Tapi, yang jelas ini bukan mimpi buruk, kan?" seloroh Lyra melirikan ekor matanya ke arahku. Aku hanya melengos.
"Mudah-mudahan aja ini mimpi manis selama dalam kehidupan saya." Mas Agung menjawab dengan mengulum senyum memancarkan aura ketampanan yang dimiliki oleh pria berusia tiga puluh tahun itu.
"Oya, betewa Lyra kapan nyusul ganti setatus kaya kami?" sambung Mas Agung bertanya balik kepada Lyra.
"Emh ... kapan, ya?" Bola mata Lyra mengerling ke arahku seakan minta bantuan akan jawaban yang barusan diajukan untuknya.
"Gak usah ditanya yang begituan dia mah, Kak, nanti malah semaput di sini lagi, gawat!" ucapku berseloroh.
"Lha, emang ngapa ditanya gitu doang sampe semaput?" Mas Agung bingung.
"Cewek yang bernama Lyra ini, sekarang dia lagi patah hati. Karena baru tiga hari yang lalu, belum ada seminggu ini dia ditinggal nikah sama pria idamannya. Sebenarnya saat ini hatinya tuh lagi hancur lebur, di depan kita aja dia pura-pura kuat dan bahagia," jelasku.
"Kok, bisa?" Mas Agung terkesiap tak percaya.
"Bisa aja, atuh. Buktinya, Iwan juga bisa tho, ditinggal nikah sama Teh Dhinil?" jawab Lyra terbahak ke arahku. Seperti menyembunyikan kekacauan hatinya selama tiga hari ke belakang ini dengan cara menyibukkan diri dan bercanda dengan siapa saja lawan bicaranya.
"Owh, gitu .... " gumam Mas Agung melirik ke arahku.
"Sabar aja, ya, Neng Lyra, nanti juga kalau memang jodoh mah, gak bakal kemana, pasti akan datang dengan sendirinya," sambung Mas Agung sok bijak.
"Aamiin ... Ya Allah," ucap Lyra.
"Betewe, aku pulang dulu, ya, ke rumah, takut ganggu pengantin baru, nih," pamit Lyra beranjak dari duduknya.
"Biasanya juga ganggu, kok," sahutku.
"Lha, mau kemana, Ra, gak usah buru-buru, gitu, atuh," tanya Mas Agung.
"Mau pulang dulu, Mas Agung takut dicariin emak," jawab Lyra sambil nyengir kuda, memarkan gigi kelinci yang dimilikinya.
"Awas, lo, pulang dari sini jangan kejang-kejang minta cepet dijodohin sama emak, ya!" ucapku sebelum Lyra pergi.
"Berisik mulu, lo, seblak basi!" sahut Lyra sambil berlalu. Aku tertawa sendiri sambil beranjak menuju kamar, meninggalkan Mas Agung yang masih senyum-senyum menyaksikan keabsrudan aku dan Lyra.
Baru saja hendak membuka hijab aku dikejutkan dengan suara ketokan pintu kamar dari arah luar. 'Mungkin Mas Agungmenyusul karena tadi aku meninggalkannya sendirian,' batinku dalam hati.
Aku bergegas ke arah pintu dan membuka perlahan. Terlihat sosok Emak sudah berdiri di ambang pintu sambil berbisik di sebelah telingaku. "Di luar ada Iwan, sana temuin dulu ajak sekalian suaminya," titahnya. Raut muka Emak terlihat menunjukkan kekhawatiran.
Sama,aku pun tak kalah terkejut saat mendengar apa yang Emak sampaikan barusan.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments