***
Bus malam antar provinsi jurusan Merak-Yogya suaranya nyaris hilang tertelan oleh suara lagu campur sari yang terus diputar ulang oleh sang sopir untuk menemani perjalanan panjang. Hawa dingin dari AC bus mulai terasa menusuk kulit. Membuat seluruh penumpang mulai memakai jaketnya masing-masing.
"Dek, switernya dipake, gih! biar gak kedinginan." Mas Agung menyodorkan suwiter bercorak zebra kepadaku yang ia ambil dari dalam tas pakaian yang sudah disiapkan.
"Iya, Kak, kok, dingin banget, ya?"
"Iya, ini, kan, bus exekutif. Kalau yang ekonomi nanti malah gerah kepanasan," jawabnya berdiri menutup lubang AC yang berada tepat di atas bangku untuk mengurangi rasa dingin.
Ponsel di dalam tas kecil terdengar berdering kembali. Aku khawatir kalau Ifa menelpon dan meneror seperti tadi. Sedangkan saat ini ada sosok Mas Agung duduk di sampingku.
Setelah dilihat untuk memastikan siapa yang menghubungi aku terburu menggeser tombol berwarna hijau untuk segera menerima panggilan telepon yang ternyata dari Bibi yang menetap di tanah Papua.
"Hallo ... Assalamualaikum, Bi? Bagaimana kabar keluarga di Papua sana. Sehat semua, kan, Bi?" sapaku memulai percakapan.
"Iyo, Alhamdulillah sehat semuanya. Dhinil, kita dengar kau sudah menikah, kah? Kenapa kau orang menikah sampe tidak memberi kabar keluarga kau yang di sini, hah?" Pertanyaan beruntun dengan logat khas papua yang dilontarkan Bibi membuatku sedikit rikuh.
"Iya, Bi, maaf, kemaren waktu acara gak sempat ngabarin dulu acaranya juga cukup sederhana dan mendadak, sih, jadi gak kepikiran kalau harus ngabarin keluarga yang di jauh," jawabku menjelaskan.
"Apa? Kenapa kau nikah pake acara sederhana dan mendadak, tho? Apa kau sudah hamil duluan, kah? Sudah ada anak di dalam perut, kau? Sampe-sampe kau menikah pake mendadak dan acara sederhana tidak ada kabar-kabar pula, ke sini? Kalau sampai benar begitu pernikahan kau tidak sah dan tidak halal, tho?" cecar Bibi tanpa tedeng aling-aling.
"Astaghfirullah, Bi, enggak lah, Bi. Insya Allah pernikahan Dhinil ini sah dan halal, kok, karena Dhinil menikah bukan dalam keadaan hamil. Apalagi hamil duluan, Naudzubillahimindzalik. Malah seminggu sebelum menikah Dhinil kebetulan pas datang tamu bulanan sampai saat hari akad nikahnya Dhinil masih dalam keadaan belum suci dari haid." Panjang lebar aku memaparkan kejadian yang sebenarnya kepada Bibi. Berharap tidak ada kesalah pahaman lagi.
"Syukur, Alhamdulillah kalau begitu. Bibi hanya takut kau tidak bisa jaga diri dan seperti kebanyakan orang-orang di luar sana. Padahal menikah itu adalah ibadah terpanjang dalam kehidupan kita. Tak elok kalau diawali dengan kemaksiatan dan melakukan perbuatan dosa besar yang dosanya akan bisa hilang kalau sudah di cambuk seratus kali bagi yang belum menikah dan dirajam sampe mati bagi yang sudah menikah lalu bertaubat nasuha."
"Iya, Bi, Dhinil faham. Dhinil juga yakin kalau sampai pernikahan kita diawali dengan melanggar syariat agama pasti tidak akan ada keberkahan dan kedamaian dalam menjalani hidu berumah tangganya nanti," ungkapku kemudian.
"Iya, Bibi takut dan khawatir kalau kau sampai salah jalan dan terbawa pergaulan bebas di luaran sana."
"Alhamdulillah, enggak, Bi. Alhamdulillah Dhinil selamat dan selalu dilindungi dari perbuatan dosa besar oleh Sang Maha Pelindung sampai Dhinil dipertemukan dengan pasangan yang halal seperti sekarang ini," ucapku meyakinkan.
"Yasudah, maafkan Bibi tadi sudah berpersangka buruk sama kamu, Dhin. Baik-baik kau di sana. Jadi istri yang patuh kepada suamimu. Bibi hanya bisa mendo'akan dari jauh semoga pernikahan kau jadi keluarga yang sakinah mawadah warrohmah."
"Iya, Bi, makasih do'anya, makasih juga Bibi sudah perhatian dan selalu mengkhawatirkan Dhinil di sini. Moga Bibi selalu diberikan sehat dan umur panjang yang berkah serta rezeki yang berkah pula." Doaku tulus untuknya yang berada jauh di pulau sebrang sana.
"Sedang di mana, kau, sekarang?" Lanjut Bibi bertanya.
"Dhinil lagi di dalam bus mau ke Kebumen, Bi."
"Suamimu orang Kebumen, Kah? Kau dapat orang jawa, tho?" Jauh kali jodoh kau itu ternyata. Bukannya calon kau itu santri yang lagi mondok di pesantren, itu, kah? cecar perempuan yang sudah mempunyai enam cucu itu. Karena pernah waktu Bibi pulang dari Papua dan bersilaturahmi ke rumah, kebetulan saat ada Iwan bertandang ke rumah juga.
"Iya, Bi, sama orang Menes ternyata Dhinil gak berjodoh. Dan jodoh yang sebenarnya, ini wong djowo," jawabku sembari nyengir melirik Mas Agung yang duduk di sebelah.
"Salam buat suamimu dari Bibi, tho."
"Iya, Bi, nanti disalamin ke orangnya."
"Hati-hati di jalan, kalau memang lagi di perjalanan. Yang betah di tempat suamimu nanti," pesannya sebelum menutup sambungan telepon.
Aku mematikan tombol off ponsel dan menaruhnya kembali ke dalam tas cangklong karena baterainya sudah lowbatt.
Lalu membetulkan posisi duduk nencari posisi nyaman karena posisi di kursi bus sangat sempit. Untung ada paha sang suami yang bisa dijadikan sebagai bantal untuk sekedar tiduran dengan posisi miring setengah badan. Lumayan bisa untuk meluruskan punggung walau tidak bisa leluasa seperti di kamar sendiri.
Pikiran mulai rancau saat teringat pertanyaan Bibi tadi. Sama sekali tidak terbersit dalam pikiranku kalau acara pernikahan yang digelar secara mendadak dan sederhana itu bisa membuat orang lain menduga sampai sejauh itu.
"Tadi siapa yang nelpon?" tanya Mas Agung membuyarkan lamunanku.
"Bibi yang tinggal di Papua," jawabku pendek.
"Kok, enggak dikenalin sama Kakak?"
"Ya, nanti dikenalinnya kalau sudah ketemu langsung."
"Kapan bisa ketemunya, kan, Papua jauh?"
"Walaupun jauh, tapi Bibi mah sering bolak-balik ke sini, kok, sambil nengokin anak bungsunya yang sedang sekolah sambil mondok di pesantren modern ustaz Mansyur."
"Owh, jauh juga ya, dari Papua nyekolahin anak sampai ke sini."
"Iyalah, dilatih biar mandiri terbiasa jauh dari orang tua dan keluarga. Nanti kita juga kalau punya anak harus dilatih mandiri seperti itu, ya, Kak?"
"Emang udah siap?"
"Siap, apa?"
"Punya anak, tho?"
"Kalau Kakak sendiri?" ucapku balik nanya.
"Siap aja kalau memang sudah dikasih kepercayaan mah."
Obrolan terhenti ketika bus yang kami tumpangi mulai memasuki rest area khusus bus di sebuah rumah makan besar milik perusahaan Sinar Jaya group.
Selain rumah makan dengan model perasmanan. Di sana juga terdapat fasilitas kamar mandi dengan beberapa pintu dan ruang musala yang luas dan nyaman untuk para penumpang yang datang silih berganti.
Aku dan Mas Agung berpisah saat masing-masing hendak ke kamar mandi yang letaknya berbeda antara tempat laki-laki dan wanita.
***
Hampir jam tiga dini hari kami tiba di rumah orang tuanya Mas Agung. Karena hari masih gelap aku memilih beristirahat sembari menunggu waktu Subuh datang.
Menghabiskan waktu di dalam kamar. Aku iseng membuka ponsel dan mulai membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F. Mulai berselancar dan menggeser layar gawai naik turun melihat beberapa setatus yang dipost oleh teman-teman baik yang kenal secara langsung ataupun hanya sekedar berteman di media sosial.
Tiba-tiba bola mataku tertuju ke salah satu setatus seseorang yang dipost beberapa jam yang lalu. Dengan isi caption yang sukses membuat dada ini bergetar, tak terasa pula air mata mulai ikut luruh menuruni kedua pipi.
'Kalau sudah tiada, baru terasa kalau kehadirannya sungguh berharga. Selamat jalan, moga bahagia hidup bersama lelaki pilihannya.'
Aku yakin kalau caption itu ditujukan untuk diriku karena ditulis oleh lelaki yang kini entah bagaimana kabarnya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Nissa
ditanggal pas lagi sayang2e
2023-01-19
0