Daniar dan Junha di ajak mampir ke sebuah restoran oleh Theo sebelum mereka pulang ke rumah. Dan sejak saat mereka keluar dari rumah sakit Theo melihatnya menjadi pendiam. Hanya Junha yang berceloteh menceritakan bagaimana kehidupan keluarga mereka.
Theo melirik sebentar ke arah samping, ternyata Daniar malah tertidur mungkin karena kelelahan.
"Kakak mu tidur. " Theo memberitahu Junha agar berhenti bersuara agar Daniar tidak terganggu.
Dan ketika tiba di depan pagar rumah keluarga Daniar, Theo melihat keduanya sama-sama tidur pulas. Junha bahkan membaringkan tubuhnya di kursi belakang. Lantas mau tidak mau Theo menggendong Junha, dia masuk ke dalam rumah yang tidak di kunci. Mencari keberadaan kamar adiknya Theo, dari pintunya yang terdapat poster mobil Theo menebak itulah kamar tidur Junha.
Setelah meletakan Junha di tempat tidur, barulah Theo menyusul Daniar yang masih berada di dalam mobil. Memandangi wajahnya, Theo melihat kerutan di kening Daniar seperti berpikir keras meski dalam tidurnya.
"Hey,,, " Tangan Theo menepuk pelan pipi Daniar.
Bukan bermaksud mengganggu tidurnya, Theo rasa Daniar sedang mengalami mimpi buruk. Keringat halus mulai muncul di area dahinya. Mengusap lembut pipi Daniar, akhirnya wanita itu membuka matanya secara perlahan.
"Aku ketiduran ya? Junha mana? " Daniar celingukan ke bagian belakang mencari keberadaan sang adik.
"Dia di kamar, ayo turun. Kamu juga harus istirahat." Ajak Theo, Daniar mengangguk lalu keluar dari mobil yang pintu bagiannya sudah di buka oleh Theo.
Daniar mengajak Theo naik ke lantai paling atas, dimana Vania selalu menyiapkan kamar untuk nya. Sebuah kamar bertipe Attic, hanya ada kamar untuknya dengan kamar mandi di dalam. Daniar selalu betah di sana ketika ia berkunjung. Sayangnya Daniar tidak pernah bisa berlama-lama, mungkin sekitar satu atau dua malam saja.
"Kamarmu nyaman sekali. " Kata Theo memuji, tubuhnya sudah berbaring di atas tempat tidur. Bagaimana tidak, kamar bernuansa serba putih itu hanya di isi oleh ranjang dan lemari pakaian. Ada sebuah jendela di sebelah tempat tidur. Di sana Daniar selalu menopang dagunya menatap pemandangan di luar.
"Aku kira kau akan kembali setelah mengantarku pulang. " Daniar membuka ikatan rambutnya, ia juga melepas high heels nya lalu menaruh di pojok dekat pintu.
"Aku ingin menginap, kita bisa berbagi ranjang yang hangat dan empuk ini." Ocehan Theo bagai angin lalu di telinga Daniar, pikirannya masih tertuju pada kondisi papanya. Raganya memang berada di hadapan Theo namun hati dan jiwanya tertinggal di rumah sakit.
"Hey,,, " Theo menarik lengan Daniar yang mematung, mengajaknya duduk bersebelahan.
"Tuan Han pasti akan sembuh, kau harus percaya itu. " Ujar Theo menyemangati, itu malah membuat Daniar kembali menitikan ari matanya.
"Terima kasih atas bantuanmu tuan." Tanpa bertanya pun Daniar sudah tahu bahwa Theo akan melunasi biaya pengobatannya.
Di perjalanan pulang ketika dirinya tertidur, Daniar tak sengaja mendengar percakapan Theo dan asistennya pak Ben. Theo memerintahkan pak Ben untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening Daniar. Saldo Daniar yang tadinya nol rupiah kini kembali gemuk di isi oleh Theo.
"Sudah menjadi tugasku,,, " Theo semakin memajukan wajahnya, ia berusaha menggapai bibir Daniar untuk mengecupnya. Entahlah, Theo merasa sangat merindukan aroma tubuh Daniar. Sentuhannya, gerakannya, juga desahannya. Semua yang ada pada diri Daniar selalu mencuri perhatian Theo.
Daniar sesungguhnya sedang tidak ingin melakukan itu, namun ia sadar akan tanggung jawab yang harus Daniar berikan untuk Theo. Mereka saling memagut satu sama lain, Theo menuntut Daniar melakukan hal sama yaitu mengeksplor setiap inci rongga mulutnya.
Tangan Theo sudah bergerak membuka kancing kemeja Daniar. Kemeja sederhana bukan dari merek ternama seperti pemberian Theo. Suasana menjadi begitu hangat di saat hujan mulai turun. Tak ingin menunggu lama, Theo maupun Daniar melepaskan sisa pakaian masing-masing dengan cepat.
Perlahan Theo membaringkan Daniar, mengecup leher putihnya lalu turun ke bagian dada. Lidahnya memainkan dua gundukan kenyal itu cukup lama. Daniar menekan kepala Theo agar tidak berhenti.
"Ah Theo,,, " Lirih Daniar saat Theo mengusap sesuatu di bawahnya. Hanya sebuah sapuan berhasil membuat tubuh Daniar menggelinjang. Kaki Daniar terbuka lebar memberi akses Theo untuk bermain di sana.
Mencengkram kuat selimut, Daniar panas dingin ketika lidah Theo menjulur di dalamnya. Satu tangan masih setia aktif di salah satu gunung kembar Daniar. Berganti, sekarang jarinya yang bertugas mengocok milik Daniar tanpa ampun.
"Ehm, Theo aku tidak tahan... " Menyalurkan perasaan gilanya, Daniar meraba sendiri bagian dadanya. Daniar merasa ingin buang air kecil saat itu juga.
Dan tepat setelah pelepasan pertama Daniar, Theo langsung memasukkan benda keramat nya. Menghentakkan cukup keras membuat Daniar menyakar punggung Theo. "Sayang, kenapa kau selalu sesempit ini?" Tanya Theo dengan nafas memburu dan suara beratnya.
Ritme permainan pinggul Theo semakin cepat, Daniar di buat kewalahan olehnya. Mereka mencoba berbagai gaya karena tak ingin mengakhirinya dengan cepat. Tanpa buru-buru, Theo memeragakan posisi yang paling membuatnya menjadi orang gila. Terlentang, Daniar bekerja di atasnya tanpa henti. Suara peraduan dua senjata itu mendominasi kamar yang sunyi.
"Ehm,,, " Theo menggeram nikmat saat melihat Daniar memejamkan matanya, menikmati setiap kegiatan mereka malam itu.
Segera merubah posisi, Theo bangun dari tempatnya. Kini Daniar duduk di atas pangkuan Theo. Mempercepat tempo, Daniar sengaja merebahkan tubuhnya hingga kepalanya bergelayut di ujung ranjang.
"Ah Theo,,, aku tidak kuat. " Erangnya.
"Kau sudah terbuka sayang,,, " Saat Theo bisa merasakan gerbang kenikmatan Daniar mulai terbelah, lantas Theo menghentakkan miliknya tanpa ampun. Membiarkan cairan calon keturunannya masuk ke dalam rahim Daniar. Tanpa rasa takut akan resikonya, Theo dan Daniar tak pernah memusingkan masalah dimana Theo akan mengeluarkannya. Bahkan Theo tidak pernah memakai pengaman setiap melakukannya dengan Daniar. Karena Daniar sudah di beri suntikan penunda kehamilan saat pertama kali mereka melakukannya.
Tak ada lagi obrolan, keduanya tertidur pulas setelah aktifitas panas mereka tadi. Hingga Theo terpaksa bangun karena dering ponselnya. Tak ingin mengganggu istirahat Daniar, ia mengangkat panggilan itu.
Berdiri menatap ke arah jendela dengan hanya pembungkus bagian bawahnya, Theo berdecak kesal.
"Mom, aku tidak bisa. Aku benci perjodohan. Bisakah kita melupakannya?" Bahkan nyonya Aline tidak menanyakan kabarnya, sudah makan kah Theo? Apa yang ia lakukan sekarang dan dimana dirinya berada. Yang Theo dapat hanyalah desakan untuk mencoba menjalani perjodohan dengan Nola.
"Theo, jika hubungan kalian berhasil kau bisa mengembangkan bisnis keluarga. Kau akan mendapat saham cuma-cuma di perusahaan air mineral ayahnya Nola. Mereka tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus. " Rayu Aline, berharap anaknya akan berpikir logis tentang keuntungan yang akan mereka dapat.
Menimbang, Theo memang memerlukan batu loncatan agar bisa di kenal sebagai kuda hitam yang mendominasi jajaran CEO muda di dunia bisnis. Sejenak ia menengok ke arah Daniar yang masih pulas tertidur.
"Kami hanya saling membutuhkan. " Batin Theo berkecamuk, ia sempat khawatir memulai hubungan berbau politik bisnis.
"Baiklah, aku akan mencoba. Tapi tidak bisa menjanjikan apapun pada kalian. Jangan berharap lebih nyonya Oliver. " Pinta Theo, Aline menampilkan wajah sumringah nya tanpa bisa di lihat oleh sang anak bungsu.
Setelah menutup panggilan, Theo kembali ke atas tempat tidur. Ia berbaring di sebelah Daniar lalu memaksanya meringkuk dalam dekapannya. Apakah yang Theo lakukan adalah hal benar? Bagaimana jika dirinya mengakhiri kontrak lebih cepat dari yang hatinya inginkan. Theo tidak rela jika Daniar dekat dengan laki-laki lain apa lagi sampai menyentuh bekasnya. Dia berada dalam dilema.
"Semua akan baik-baik saja. " Bisiknya pelan, tanpa ia sadari jika Daniar menangis dalam tidurnya. Daniar mendengar percakapannya dengan nyonya Aline tadi. Hati Daniar bagaikan tersayat, bukan hanya bertarung melawan sisa perasaan Theo pada Alya. Daniar juga harus di hadapkan oleh status sosial mereka. Tentu keluarga Theo akan menyiapkan pasangan yang layak untuknya.
"Lihatlah aku Theo, aku sangat mencintaimu. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan? " Daniar bertanya dalam hati tanpa bisa menyuarakannya secara langsung pada Theo.
Hingga pagi menjelang, Daniar membiarkan Theo tidur lebih lama. Ia memilih mandi lalu turun ke bawah untuk membuat sarapan. Tak lupa Daniar juga membangunkan Junha adiknya. Junha merapikan tempat tidurnya sendiri, dan membersihkan dirinya di kamar mandi bersama. Meski mengidap penyakit serius, Junha adalah anak yang rajin dan pandai. Melakukan aktifitas sehari-hari seperti kebanyakan anak normal lainnya.
"Good morning kak. " Sapa Junha duduk di kursi makan. Daniar menoleh seraya tersenyum. tangannya masih fokus mengocok adonan pancake.
"Morning adikku. " Daniar balik menyapa.
"Kak, kekasih kakak tampan dan baik. Dia juga pasti kaya, mobilnya saja bagus." Membuka percakapan di pagi hari, Junha membahas Theo.
"Sst... Dia bukan pacarku." Sanggah Daniar, matanya menyipit seolah memberi tanda Junha terlalu kepo.
"No, dia sendiri yang bilang padaku kalau tuan Theo kekasihmu. " Dan kata-kata Junha membuat Daniar terdiam, benarkah? Oh mungkin Theo hanya bersikap gentleman di hadapan adiknya. Lagi pula jika tidak mengaku seperti itu maka Junha akan curiga pada mereka.
"Dia juga yang membayar biaya operasi papa kan? Aku mendengarnya saat perjalanan pulang. " Tambah Junha, kebenarannya justru lebih menyakitkan. Theo melakukan hal itu karena Daniar sudah menjual tubuhnya.
"Oh God,,," Teriakan Daniar memekik telinga, hingga Junha menutupnya menggunakan kedua telapak tangannya.
"Pancake nya gosong kak, apa kau sedang memikirkan tuan Theo?" Junha malah tertawa meledek kakaknya. Buru-buru Daniar membuat yang baru.
"Tolong bangunkan tamu kita Jun, kita sarapan bersama. " Perintah Daniar, Junha bergegas berdiri lalu pergi ke Attic untuk membangunkan Theo.
Saat masuk ke dalam kamar, Junha melihat Theo selesai mandi. Dia sebagai anak kecil terpaku melihat perut Theo yang sangat atletis.
"Wah, six pack." Berdecak kagum, Junha bakan mendekat meraba sekilas perut kotak-kotak Theo.
"Kalau saja kau anak perempuan, sudah pasti kau jatuh cinta padaku. " Theo menyombongkan dirinya pada anak kecil.
"She is..." Gumamnya.
"What ?" Tanya Theo tak mengerti.
"I mean, kakak ku pasti jatuh cinta padamu tuan. Tidak ada alasan yang bisa menolak pesonamu. "
Theo hanya tersenyum simpul menanggapi pemikiran Junha. Ia sempat berpikir, kenapa Daniar seolah membatasi diri darinya? Di saat setiap wanita yang menemuinya akan langsung menyerahkan diri secara sukarela. Benarkah Daniar sama sekali tidak memiliki perasaan terhadap nya?
"Aku ingin meminjam kaos papa, bolehkah?" Theo tidak mungkin mengenakan pakaian kemarin, dia rasa ukuran mereka tidaklah berbeda jauh.
"Sure, ayo kita ambil di bawah. Daniar juga sudah membuat sarapan. " Ajak Junha, Theo mengekor di belakangnya.
Mereka menyantap sarapan pagi dengan tenang. Sesekali Junha akan berceloteh membahas cerita lucu. Dan itu sukses membuat Theo maupun Daniar tersenyum. Theo lega akhirnya bisa melihat Daniar berhenti murung dan sedih.
"Aku akan meminta izin pada Alya, kau bisa menunggu operasi pak Han hari ini." Ucap Theo di sela kegiatan mereka mencuci piring dan peralatan masak yang kotor. Theo membantu Daniar membilasnya. Ini adalah pertama kalinya Theo melakukannya, namun ada rasa bangga pada diri Theo. Bersama Daniar Theo seolah menjadi pribadi lebih baik.
"Tidak perlu, aku akan ke rumah sakit sebentar lalu pergi bekerja. Sudah ada bibi Vania yang menjaganya." Hati kecil Daniar memang takut kehilangan papanya, tapi rasa benci pada sosok masa lalu Dan Han selalu mengalahkan perasaan sayangnya.
Daniar sadar, selama ini apa yang ia perjuangkan adalah semata karena adiknya Junha. Daniar seakan berperang dengan jati dirinya sendiri.
"Baiklah, aku akan menemanimu." Mengingat kepribadian Daniar yang berprinsip Theo tidak ingin memaksanya.
Lalu Daniar kembali menitipkan Junha pada tetangganya yang kemarin. Setelah itu menengok papanya sebentar di rumah sakit. Theo bahkan selalu ada di sampingnya sejak kemarin menyusulnya. Operasi akan di laksanakan pagi ini, Daniar akan kembali setelah pulang kerja.
"Terima kasih..." Ucap Daniar di perjalanan menuju perusahaan.
"Hem,,," Jawaban Theo hanya berupa gumaman. Otaknya bekerja keras memikirkan rencana perjodohan nya dengan Nola. Apa setelah melakukannya Theo harus berpisah dengan Daniar? Hatinya berkecamuk mencari jalan keluar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments