eps. 4

Di hari liburnya, Daniar baru membuka mata ketika matahari sudah sangat meninggi. Dia merasakan sakit kepala hebat akibat semalam. Melihat ke arah nakas, Daniar mengambil ponselnya mengecek beberapa pesan maupun email.

Terdapat pesan dari Justin, Daniar membukanya penasaran.

"Kalau kau sungguh-sungguh, datanglah nanti malam pukul sembilan di hotel La Chambre. Untuk nomor kamarnya satu kosong satu kosong. "

Daniar menjambak rambutnya frustasi, dia menyesali setiap ucapan yang keluar ketika dirinya mabuk. Tapi mengingat sang adik, Daniar semakin terdorong untuk melakukannya. Kehidupan bebas di negara Liberal tidak akan pernah mempermasalahkan tentang pekerjaan itu. Hanya saja Daniar takut mengecewakan orang-orang yang ia sayangi. Bagaimana jika suaminya di masa depan menyesal menikahinya karena Daniar sudah tidak perawan lagi.

"Sepertinya kau stres berat sayang,,, " Terperanjat kaget, Daniar bahkan tidak sadar Jeni sudah berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Hem, aku akan berlari sebentar. " Daniar bergegas mengganti pakaiannya menjadi setelan olah raga.

Ia keluar ketika Jeni membuat sarapan di dapur. Sebelumnya Daniar sudah mengirim semua gaji yang ia dapat untuk pengobatan Junha adiknya. Daniar hanya menyisakan untuk biaya sehari-hari.

Puas berlari untuk meredakan pikirannya, Daniar memilih beristirahat di bangku taman. Ia menatap aktifitas orang-orang di sana. Senyumnya terukir ketika anak-anak berlarian bermain bersama keluarga mereka.

Selepas berolah raga, Daniar hanya rebahan di depan televisi sambil mengerjakan laporan untuk ia berikan pada Theo besok pagi. Jeni pergi keluar bersama Justin, semenjak mengenalnya Daniar seperti terlupakan oleh sahabat baiknya.

Dari pada bosan akhirnya Daniar memutuskan untuk berendam di bathtub dengan sabon beraroma buah. Bukan tanpa alasan, Daniar akan menimbang langkah selanjutnya.

"Haruskah aku menerima tawaran Justin? Ya Tuhan, maafkan dosa-dosa ku kali ini. Semua demi Junha. " Daniar bermonolog menatap nanar lukisan di dinding.

"Kenapa Jeni memajang benda seperti itu?" Lukisan yang Daniar lihat adalah pose enam sembilan dari sepasang kekasih tanpa busana. Membuatnya merinding dan pipinya merona merah.

Hingga malam menjelang, Daniar masih tampak ragu dengan keputusannya. Tapi ia sudah bersiap mengenakan dress wanra kuning bermotif bunga tanpa lengan. Menampilkan dada dan punggungnya yang putih dan mulus. Make up Daniar begitu on point, menambah kecantikannya bak barbie hidup.

"Kau mau pergi? " Jeni baru pulang saat Daniar menutupi tubuhnya dengan coat berwarna hitam secara buru-buru. Tak ingin membuatnya curiga.

"Ya, aku akan bertemu papa untuk makan malam. " Jawab Daniar berbohong.

"Bagus, aku harap hubungan kalian semakin membaik. " Jeni memang pernah mendengar kisah pilu Daniar saat kecil dulu. Daniar sendiri menceritakan hal itu padanya.

"Thanks Je, aku berangkat. " Sebelum keluar, Daniar memeluk Jeni erat sekali. Dia benar-benar takut akan pilihannya.

"Take care. " Ucap Jeni membiarkan Daniar pergi.

Di dalam taxi, Daniar merasa gugup tak tertahankan. Menatap jalanan malam dari jendela mobil.

"Nona, kita sudah sampai. " Info supir taxi. Ternyata Daniar tenggelam dalam pikirannya sejak tadi, tak terasa dia sudah tiba di depan hotel yang di maksud Justin.

"Ah ya, Terima kasih. " Membayar ongkos taxi lalu Daniar keluar.

Ia melenggang menuju meja receptionist, sepatu haknya terdengar menggema. Seakan sudah mengenal wajah Daniar, petugas tersenyum ramah menyambutnya.

"Tuan sudah menunggu, ini kartu aksesnya nona. " Daniar menerima dengan ragu kartu yang biasa di gunakan untuk naik ke lantai atas.

"Baiklah." Setelah menerimanya, Daniar bergegas pergi dengan wajah tertunduk malu.

Selain hal gila yang akan ia lakukan malam ini, Daniar tidak pernah berbuat nekad. Hidupnya baik-baik saja sebelum kesehatan Junha bergantung pada bantuannya.

"Tenanglah Niar, semua demi adikmu." Menguatkan dirinya sendiri, Daniar menghela nafas kemudian menekan bel kamar.

"Masuklah! " Perintah laki-laki bertubuh tinggi, tampan dan memiliki bibir penuh membukakan pintu. Daniar membeku, dia tidak menyangka akan melihat Theo di sana.

"Sepertinya aku salah kamar, permisi. " Daniar hendak pergi namun Theo segera mencekal lengannya.

"Justin mengatur pertemuan kita. " Lanjut Theo membenarkan bahwa Daniar memang berada di kamar yang tepat.

Melepaskan tangannya, Daniar lalu berjalan masuk. Seringai Theo terbit di wajahnya, ia yakin Daniar tidak bisa menolak tawarannya.

Mencoba mengurangi rasa gugup, Daniar duduk di sofa dengan meja berisi minuman kaleng non alkohol. Ada juga beberapa light snack.

"Aku tidak tahu apa tujuanmu, aku ingin kau menjadi teman tidurku dan aku akan memberimu imbalan. " Masih berdiri angkuh, Daniar mendongak menatap wajah Theo.

"Agree, bisakah kita melakukannya hitam di atas putih? " Balas Daniar tak mau terintimidasi sedikitpun olehnya. Theo tertawa renyah mengisi ruang kamar yang hening.

"AS I expected. " Theo berjalan menuju nakas, ia mengambil sebuah map berisi lembar perjanjian tertulis.

"Bacalah baik-baik, aku bermurah hati untuk tidak menyusahkan mu. " Kata Theo datar namun penuh penekanan.

Daniar membaca dengan seksama setiap poin perjanjian mereka.

Satu, kedua belah pihak tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Dua, pihak kedua yaitu Daniar Han harus mendapat tindakan pencegah kehamilan melalui dokter pribadi pihak pertama. Ketiga, kontrak akan berakhir ketika pihak pertama yaitu Theodor Oliver ingin berhenti.

"Baiklah, aku setuju. Tolong bayar aku dengan uangmu yang banyak tuan Theo." Segera Daniar membubuhkan tanda tangannya di atas kertas, di sana Theo sudah melakukannya.

Theo tersenyum puas berhasil memancing jati diri Daniar yang sesungguhnya. Ia memandangi Daniar dengan heran, gadis itu menutup tubuhnya dengan coat tebal.

"Buka mantelmu, apa kau tidak gerah? " Mulai sekarang apapun yang Theo inginkan adalah perintah, Daniar menurut lalu melepaskan jaket tebal miliknya.

Theo menelan salivanya susah payah, ternyata Daniar begitu memukau. Selain wajahnya, tubuhnya seputih susu, dan dadanya tampak penuh pas dalam genggaman meski Theo belum meraba nya. Theo di selimuti rasa penasaran bagaimana rasanya menjamah Daniar.

Di tatap bagaikan mangsa oleh predator, Daniar mengusap tengkuknya. Suasana kamar berubah menjadi panas. Perlahan Theo menyusul Daniar duduk di sebelahnya, mengendus wangi buah di tubuh Daniar. Daniar menahan dada Theo yang akan mengecup leher jenjangnya.

"Wait,,, " Pinta Daniar menghentikan pemanasan seorang Theo.

"Kenapa, kau takut? Aku yakin kau sudah berpengalaman Niar."

"Bukankah aku harus memakai alat kontrasepsi terlebih dulu? " Daniar hanya mencari alasan untuk menunda kegiatan panas mereka. Ia benar-benar takut dan ragu.

"Aku menggunakan pengaman, jadi jangan membuatku menunggu lagi." Ucap Theo dengan nada mulai berat di liputi gairah.

"Uangnya? " Daniar mengingatkan, Theo menggeram kesal lalu mengambil ponselnya di atas meja.

"Berikan nomer re keningmu. " Menyodorkan benda pipih itu ke hadapan Daniar, ia langsung memberikan beberapa angka di sana. Lalu mengembalikannya pada Theo.

"Puas? " Theo memperlihatkan resi pengiriman sejumlah uang. Meski kaget melihat nominalnya, Daniar berusaha tenang menanggapinya.

Theo menuntun Daniar menuju tempat tidur, sebelum mendorongnya untuk berbaring Theo membuka resleting dress Daniar.

"Gadis nakal. " Gumam Theo ketika Daniar hanya mengenakan penutup bagian bawahnya.

"Lakukan! " Perintah Theo, dia menginginkan Daniar melepaskan semua pakaiannya. Malam itu Theo masih mengenakan setelan jas lengkap. Satu persatu Daniar tanggalkan, menyisakan celana ketat membungkus sesuatu yang menonjol.

Mereka sama-sama dalam keadaan polos, pipi Daniar semakin merona di buatnya. Theo mulai mencium Daniar tanpa jeda, tangannya tak tinggal diam dengan terus meraba bagian dada Daniar.

"Eumh,,, " Desah Daniar, ia kehabisan nafas. Theo melepaskannya memberi Daniar waktu menghirup oksigen.

"Bisakah kau mematikan lampu utama? " Pinta Daniar, ia benar-benar malu menunjukkan seluruh tubuhnya pada Theo.

"Kau banyak maunya Niar. " Namun Theo tetap mengabulkan keinginan Daniar.

Setelahnya, Theo menghempaskan tubuh Daniar hingga terjatuh terlentang. Ia menarik paksa kain segitiga di pinggang Daniar. Menindih nya lalu menjelajahi seluruh bagian tubuh Daniar menggunakan bibir dan lidahnya.

Daniar menggelinjang hebat ketika mulut Theo menciumi area intinya.

"Theo,,, " Lirih Daniar malah menahan kepala Theo agar tetap di sana. Kaki Daniar refleks terbuka memudahkan pekerjaan Theo.

Kring,,,,,

Dering ponsel Theo berbunyi nyaring. Theo mengumpat kesal pada siapapun yang menelepon nya. Daniar bernafas lega sesaat ketika Theo memilih mengangkat panggilan.

"Ada apa? " Bentak Theo tak sabar.

"Tuan maaf, terjadi kebakaran di gudang penyimpanan barang. " Pak Ben terpaksa menghubungi tuannya merasa darurat dan Theo perlu tahu akan itu.

"Shiiit... " Umpat Theo menjambak rambutnya frustasi lalu mematikan sambungan secara sepihak.

"Apa ada masalah? " Daniar terduduk menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Tidurlah, aku harus pergi ke suatu tempat. Ingat, jangan pernah berani untuk kabur dariku. " Theo bergegas memakai kembali pakaiannya. Secepat kilat Daniar sudah di tinggalkan olehnya.

"Ya Tuhan, untung saja. " Gumam Daniar mengelus dadanya.

Di tempat kejadian yang mengharuskan dirinya datang, Pak Ben sudah berhasil memadamkan api dengan bantuan pemadam kebakaran. Theo yakin ini bukan hal di sengaja, stafnya tidak mungkin teledor hingga menyebabkan kebakaran.

"pak Ben, sudah periksa CCTV? " Theo berkacak pinggang, dia merasa kesal dengan hal di hadapannya.

"sudah tuan, polisi akan mengidentifikasi pelaku yang sepertinya tertangkap kamera." jawab pak Ben cepat.

"pak Ben, aku ada urusan lain yang menungguku. tolong bereskan kekacauan ini, dan laporkan setiap perkembangannya." kerutan di kening Pak Ben tampak, baru pertama kali Theo mengabaikan hal penting mengenai perusahaan.

"baiklah tuan, akan ku kerjakan sesuai keinginan anda." setelah menyerahkan keadaan gudang Theo lantas menuju mobilnya, untuk kembali menemui Daniar di hotel.

alih-alih marah ketika dirinya tiba di kamar saat Daniar sudah tertidur pulas, Theo malah terpaku menatapnya. Melepaskan semua pakaian, Theo bertelanjang dada kemudian menyusul Daniar ke alam mimpi. dia berbaring di sebelah Daniar dengan memeluk perutnya.

pengalaman pertama untuk Theo, seranjang dengan seorang wanita tanpa melakukan kegiatan inti. begitupun Daniar, dia begitu nyenyak dari malam biasanya. seolah mendapat kehangatan dari bantal guling bernyawa di sebelahnya.

Ponsel Daniar berbunyi beberapa kali tanda pesan masuk di kala mereka terlelap. rasanya terlalu enggan bangun hanya untuk memeriksa isi pesan tersebut. Daniar menggeliat semakin nyaman memeluk Theo yang ia pikir merupakan bantal guling.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!