eps. 6

Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyuguhkan langit berwarna jingga. Lalu lalang orang-orang keluar kantor setelah lelah bekerja seharian penuh. Jalanan akan begitu macet di jam-jam seperti ini. Ada yang memilih bergegas pulang, beberapa memutuskan untuk tinggal di kantor lebih lama untuk menghindari kemacetan.

Daniar masih setia di depan komputer, ia tengah asik mengerjakan proyek selanjutnya dengan salah satu stasiun televisi. Untuk melakukan kerja sama yaitu live home Shopping. Alya sangat suka gagasan yang Daniar kemukakan, ia akan membiarkan Daniar mencoba melakukan tugasnya. Dengan tetap memantau perkembangan melalui email. Merevisi hal-hal yang menurutnya masih kurang.

"Niar, aku pulang duluan. Dan aku akan ke tempat Justin. " Jeni baru saja keluar dari ruang kerjanya, menghampiri Daniar sebelum pergi.

"Kau ini Je, aku selalu terlupakan. " Daniar mendengus kesal pada Jeni yang hanya menyengir.

"Hehe, maka dari itu cepatlah cari kekasih. Dia bisa menemanimu di apartemen ketika aku tidak ada. " Mencolek dagu Daniar, Jeni sangat suka menggodanya perihal hubungan asmara.

"Ya ya ya, kau lihat saja nanti. Aku tidak akan kalah olehmu Je. " Daniar malas berdebat, dia mengiyakan saja nasehat Daniar.

"Ok, janji ya? Akan kutunggu kabar baiknya. See ya,,, " Jeni melambaikan tangannya meninggalkan Daniar sendirian.

"Ck, Jeni selalu menyombongkan memiliki kekasih. " Menggelengkan kepalanya, Daniar melirik jam di pojok kanan layar komputer. Ponsel Daniar memang sudah menerima pesan berupa alamat apartemen Theo. Daniar sungguh malas harus pergi ke sana.

"Tidak, ini bukan hal yang tepat. Aku akan mengembalikan uang milik Theo. Tapi biaya rumah sakit pasti besar bukan? " Bimbang, Daniar merenung hingga langit benar-benar gelap sekarang.

Di ruang televisi apartemen mewahnya, Theo masih memandangi benda pipih di atas meja. Sudah satu jam lebih Theo menunggu balasan dari Daniar. Gadis itu hanya membaca tanpa mengatakan iya atau hal lainnya.

"Sial, dia pasti mempermainkan ku. " Tak ingin membuang waktu berharganya, Theo segera menyambar kunci mobilnya. Dia berniat mencari Daniar di apartemennya.

Tidak pernah ada yang menolak Theo saat dirinya masih menjadi seorang pemain. Para wanita berlomba-lomba ingin memuaskan hasratnya. Baik itu dari kalangan atas yang secara suka rela menyerahkan diri maupun wanita penghibur di klub yang ia temui. Sejak membantu Alya di masa sulitnya Theo bertekad untuk berhenti. Alya selalu menakutinya, bisa saja Theo terkena penyakit jika gonta-ganti pasangan tidur.

Hanya Daniar yang terkesan mengulur waktu, apa gadis itu lupa kalau Theo sudah membayarnya di muka? Mengingat namanya Theo semakin gelisah, dia menginjak pedal gas dengan kencang.

Daniar sudah biasa pulang dengan berjalan kaki, hanya saja tidak selarut ini. Ia bahkan memesan makan malam secara online dan menikmatinya di kantor. Sejak keluar dari area gedung lebih tepatnya tak jauh dari halte, Daniar merasa seseorang mengikutinya di belakang.

Berulang kali Daniar mencoba menengok tapi ia terlalu takut.

Langkah kakinya di percepat, Daniar ingin segera sampai di bangunan apartemen. Tidak ada pos penjaga yang menyambut, Daniar bukan tinggal di apartemen dengan sistem keamanan yang memadai. Dia dan Jeni hanya menyewa flat di kawasan sepi penduduk.

Terburu-buru menaiki tangga, Daniar hampir terpeleset jika saja tidak berpegangan. Jelas pria bertopi dan masker serba hitam itu mengikuti Daniar hingga ke lantai dimana dia berada.

"Tuhan, tolong selamatkan aku. " Batin Daniar, ketika ia berlari menuju pintu rumah dia melihat seseorang sudah berdiri menunggunya. Otomatis pria misterius yang mengejar Daniar berhenti melangkah, tak berani mendekat ketika ada orang di sana.

Nafas Daniar terengah-engah, peluh membasahi area wajahnya membuat laki-laki di hadapannya mengkerut kan kening dalam-dalam.

"Ada apa, kenapa kau berlari tadi? " Tanyanya seraya Menghampiri, kedua tangannya mencengkram lembut pundak Daniar. Hanya gelengan sebagai jawaban, Daniar masih berusaha menstabilkan nafasnya.

"Oh aku tahu, kau buru-buru pulang untuk menemuiku bukan? " Daniar yang masih membungkuk memegangi kedua lututnya tidak melihat senyum manis Theo terukir membayangkan Daniar berusaha keras.

"Apa kau menyesal sudah membuatku menunggu? Daniar seharusnya kita sudah melakukannya, tapi kau selalu menghindar. Kau sangat tidak profesional." Gerutunya, Daniar hanya memicingkan mata mendengar Theo berceloteh ria.

"Sudahlah, aku sangat lelah sekarang. Bisakah kau pergi dari sini? " Pinta Daniar, dia membuka kunci pintu yang masih manual.

"Hey, seenaknya saja menyuruhku pergi. Aku akan menjadi bayanganmu sampai kau melayani ku. " Benar saja, Theo menyusul Daniar masuk ke dalam.

"Sepertinya temanmu begitu pengertian, membiarkan kita berdua saja di sini. " Lagi-lagi Theo tersenyum geli membayangkan mereka akan bergumul di bawah selimut yang sama.

"Ok, karena kau sudah membayar ku mahal aku akan melakukannya. Tapi hanya sekali, aku akan mengembalikan sisa uangnya." Tanpa menunggu jawaban Theo, Daniar masuk ke dalam kamar. Ia mengambil pakaian ganti untuk mandi setelahnya.

"Kau tidak bisa seenaknya sendiri Niar." Theo menghadang Daniar yang baru keluar. Dan dia di abaikan. Tubuh dan kaki Daniar melemas akibat berlarian tadi.

"Aku berhak memutuskan karena aku juga seharusnya memiliki poin yang di ajukan. Kau licik tuan Theo. " Balas Daniar masih tetap tak ingin melihat wajahnya.

"Tiga bulan, ah tidak, satu bulan. Mari lakukan perjanjian ini selama satu bulan. Jika aku sudah bosan maka kau bebas dariku. " Hati Daniar bagai teriris pisau yang baru di asah, sakit dan juga perih. Theo sangat merendahkan dirinya.

"Apa kau akan terus mengikuti ku? Aku akan mandi tuan. " Daniar mendorong dada Theo, dia hampir ikut masuk ke kamar mandi.

"Jangan mandi karena kau hanya akan mengulangnya lagi. " Kata Theo dengan wajah datarnya.

"Sit down please,,, " Perintah Daniar menunjuk sofa. Ok, Theo akan menurut asal dia bisa mendengar Daniar menjeritkan namanya malam ini.

Sengaja Daniar berlama-lama di dalam kamar mandi, dia masih belum berani meneruskan adegan panas mereka. Theo berhasil membuat Daniar ketagihan hanya dengan sentuhannya.

Sekitar tiga puluh menit, Daniar baru keluar karena kasihan padanya. Theo terlihat ketiduran di sofa saat menunggunya. Tangannya terlentang menggenggam sebuah jam tangan wanita.

Langkah kaki Daniar mengendap-endap mendekat. Ia masih mengagumi wajah tampannya. Berjongkok, Daniar tersenyum melihat Theo seperti bayi yang tidur nyenyak.

"Jangan memandangi ku, kau akan jatuh cinta. " Matanya masih terpejam namun Theo bisa merasakan Daniar tengah menatapnya.

"Percaya diri, aku berniat membangunkan mu. " Kilah Daniar berbohong. Kali ini ia tertangkap basah melakukannya. Biasanya Theo tidak akan pernah sadar bahwa Daniar selalu memperhatikan nya dari jauh selama ini.

"Kau tidak pandai berbohong. Ini, untukmu." Theo menyerahkan jam tangan yang ia pegang sejak tadi. Karena hanya diam, Theo langsung memasangkannya di tangan kiri Daniar.

"Agar kau tidak lupa waktu, aku tadi menunggumu sejak jam kerja selesai." Katanya, jam itu berbahan kulit sebagai talinya, butiran swarovski menghiasi bingkai kacanya. Daniar tahu itu koleksi mahal dari toko Rodrigo.

"Aku jadi ingat, ada laporan yang harus ku kerjakan malam ini. Nona Alya menunggunya sesegera mungkin. " Berusaha mengalihkan perhatian Theo, Daniar membahas pekerjaan. Theo menatapnya tajam hingga Daniar merasa bola matanya akan keluar.

"Bantulah pekerjaan ku agar cepat selesai, setelah itu aku janji akan melakukan tugasku. " Mengerjapkan matanya, Theo baru sadar Daniar memiliki bulu mata yang lentik.

Menghela nafas kasar, Theo terpaksa mengabulkan permintaan Daniar.

Daniar membawa laptopnya di ruang televisi, Theo mengamati cara kerja tangan Daniar dalam mengetik beberapa kalimat.

"Kau salah mengejanya. " Koreksi Theo menunjuk kata yang memang di luar kamus.

"Benarkah? Aku tidak sadar." Jawab Daniar santai, posisi mereka kini duduk bersebelahan dengan jarak begitu dekat.

Theo mulai iseng menyandarkan kepalanya di ceruk leher Daniar. Karena terlalu fokus Daniar tidak bereaksi sama sekali. Terkekeh, Theo melihat Daniar berulang kali menghapus kalimat-kalimat yang menurutnya janggal.

"Sini, biar ku ajari kau. " Gemas sendiri, Theo akhirnya menyelesaikan presentasi perusahaan Alya untuk sebuah proposal kerja sama.

"Selesai, cepat bukan? " Theo membusungkan dadanya bangga, Daniar terlihat serius memeriksa hasil pemikiran Theo.

"No wonder, kau memang jenius tuan." Puji Daniar secara alami. Lalu Daniar merasa tubuhnya di angkat tinggi-tinggi oleh Theo, dia membawanya masuk ke dalam kamar tanpa ingin di tolak.

Reflek Daniar mengalungkan tangannya ke leher Theo. Setelah membaringkan tubuhnya, Theo langsung mengecup bibir Daniar. Menggigit kecil agar ia membuka mulutnya, Theo mengabsen menggunakan lidah maupun bibirnya. Terdengar bunyi cecap nyaring menandakan ganasnya Theo.

Tangan kirinya bekerja membuka kancing piyama, Theo bisa langsung meraba memainkan gunung kembar Daniar. Saat tidur dia memang tidak mengenakan bra.

Kali ini Theo menghisap kuat-kuat layaknya bayi sedang di asihi oleh ibunya. Daniar merasa darahnya semakin mendidih, gelenyar aneh semakin mendominasi pikirannya. Lalu Theo menarik celana piyama pendek Daniar mengusap di area inti tanpa melepaskan pembungkus nya.

Cek lek,,,

Suara pintu rumah di buka seseorang, membuat aktifitas mereka terhenti di tengah keheningan. Daniar mendorong Theo cepat, ia mengancingkan piyama dan mengenakan kembali celananya.

"Itu Jeni, dia kembali. " Bisik Daniar di saat Theo terlihat santai tak ambil pusing.

"Tunggulah di pojok kamar, kau akan keluar setelah Jeni tidur. " Tunjuk Daniar ke dekat jendela dimana ada lemari pakaian di sana.

"Niar sayang, kau sudah tidur? " Jeni mengetuk pintu kamarnya, jantung Daniar semakin berdegup kencang. Segera saja Daniar menuntun Theo berdiri di dekat lemari, berharap Jeni tidak akan melihatnya.

"Kenapa dia sepanik itu? Apakah dia merahasiakan kebiasaannya dari sahabatnya sendiri? " Batin Theo penuh tanya.

"Ya, aku baru akan tidur. " Jawab Daniar, pintu akhirnya ia buka sedikit, hanya menampilkan kepalanya saja.

"Ah sorry, aku kira belum. " Daniar meradang ketika Jeni masih berdiri di depan kamarnya.

"Ku kira kau akan menginap Je? " Berusaha tenang, Daniar tak ingin Jeni sampai masuk ke kamarnya.

"Awalnya, aku lelah dan ingin istirahat saja. Jika kami bersama Justin terus menyerangku, badanku sakit semua karenanya. " Pipi Daniar langsung merah merona mendengar kegiatan panas yang sudah biasa bagi Jeni.

"Kau terlalu frontal nona. Cepat pergi aku sangat mengantuk. " Usir Daniar, jelas Theo mendengar percakapan mereka.

"Baiklah, nice dream sayang. " Melambaikan tangannya, Jeni pergi ke kamar di sebelah. Daniar bernafas lega, dia segera mengajak Theo keluar dari rumah mereka.

"Why? " Tanya Theo heran kenapa Daniar menyuruhnya pergi.

"Please, jangan sekarang. Aku akan mengatur waktu dan tempat nanti. " Bisik Daniar pelan sekali, keduanya berdiri di ambang pintu masuk.

"Ok, tapi kau harus merayu ku dulu." Theo memajukan wajahnya bermaksud meminta Daniar mencium bibirnya.

Cup,,,

Demi keselamatan wajahnya, Daniar menurut saja agar Theo lekas pulang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!