Christian dan Alya pergi ke kediaman Oliver untuk makan malam keluarga. Tampak ceria setelah pulang dari bulan madu. Mereka selalu berpegangan tangan sejak dalam perjalanan.
Menyusuri jalan setapak menuju pintu masuk, ingatan keduanya kembali ke pertemuan di malam ulang tahun Theo ke tujuh belas.
"Kau ingat Christian? Di sini kau tiba-tiba mencium ku, aku sangat marah saat itu." Alya berhenti untuk bernostalgia. Christian membelai mesra pipinya.
"Meski mabuk aku bisa dengan jelas bidadari cantik berjalan ke arahku. Secara naluri aku menciummu, dan takdir mempertemukan kita kembali." Cup, Christian mengulang kejadian malam itu.
"Apa aku juga perlu mendorongmu lagi?" Mereka sama-sama tertawa.
"Oh Alya, selamat datang sayang." Nyonya Aline menyambut anak pertama dan menantunya di ambang pintu.
"Selamat malam mom,,, " Mereka berpelukan satu sama lain. Kemudian masuk ke dalam dan langsung ke ruang makan.
"Mommy masak makanan kesukaan Alya, Christian sudah mengirim daftarnya tadi siang." Kata mommy Aline tersenyum hangat.
"Terima kasih mom. " Ucap Alya tulus. Tak lama tuan Oliver turun dari lantai dua. Menyapa anak dan menantunya.
"Wah kalian tambah mesra, daddy tidak sabar ingin bermain dengan cucu dari kalian. " Goda Oliver. Keduanya malu-malu mendengar permintaan sang ayah.
"Jangan di pikirkan Al, daddy memang suka bergurau. Ayo kita duduk. " Ajak Nyonya Aline, mereka semua kompak duduk.
"Theo belum pulang mom? " Christian belum melihat batang hidung Theo, dia berpikir Theo pasti akan menghindar karena merasa canggung tentunya.
"Dia pasti akan datang sebentar lagi, kau tahu kan pekerjaannya semakin banyak." Jawab Oliver menenangkan Christian.
"Mungkin Theo mandi di apartemennya terlebih dulu. " Tambah Aline.
Christian menggenggam tangan Alya yang menunduk, istrinya selalu merasa bersalah sudah menyakiti Theo.
Sementara di kantor, Theo baru selesai mengerjakan laporan terakhir. Dia sengaja berlama-lama di sana hanya untuk menghindari makan malam keluarga. Tapi jika dia tidak datang artinya Theo kalah dalam bertarung. Terpaksa Theo akan pulang ke rumah orang tuanya. Dia naik lift untuk turun, dan di lantai dimana perusahaan Alya berada seseorang juga masuk ke lift yang sama.
"Permisi tuan. " Sapa Daniar, dia tidak tahu di dalam lift akan ada Theo. Daniar menjadi orang terakhir yang meninggalkan kantor.
Saat Theo menemani Alya ketika Christian meninggalkannya, mereka memang kembali dekat. Theo bahkan menyewakan satu lantai untuk bisnis yang Alya dirikan. Dan sekarang Theo mulai merasa tidak nyaman.
"Daniar, apa kau sibuk? " Tak ada angin maupun hujan, mendadak Theo menanyakan kegiatan Daniar.
"Tidak, aku akan langsung pulang." Jawab Daniar sekenanya.
"Bisakah kau menemaniku makan malam di rumah orang tuaku? Aku akan membayar mu. " Tawar Theo, berharap Daniar bersedia.
Theo memang tidak pernah dekat dengan siapapun, hanya ada Alya di hidupnya. Justin salah satu teman dekat Theo, mereka akrab karena sering bertemu di klub malam.
"Aku bisa membantumu tuan, tapi aku tidak perlu di bayar." Jawab Daniar menyanggupi. Tanpa Daniar lihat, Theo menyunggingkan senyum tipis sekali.
"Thanks." Ucap Theo.
Mereka berdua membisu di dalam mobil selama perjalanan. Daniar tidak menyangka bisa berinteraksi sedekat ini dengan Theo. Sejak masuk ke perusahaan Alya, Daniar memang sering memperhatikan Theo tanpa sengaja. Daniar akui, ia mengagumi sosok Theo. Bukan hanya parasnya, melainkan perasaan tulusnya pada Alya. Begitu besar cinta Theo untuk Alya bosnya.
Setibanya di area parkir, Theo dan Daniar turun. Daniar begitu takjub melihat kediaman Oliver yang mewah dan megah. Mendadak nyalinya menciut, Daniar takut membuat kesalahan di hadapan kedua orang tua Theo.
"Nah itu Theo datang. " Nyonya Aline sumringah melihat anak keduanya tiba. Senyumnya menghilang seketika melihat seseorang berjalan di sampingnya.
"Malam semua, maaf aku terlambat." Sapa Theo, Alya terkejut melihat Theo datang bersama Daniar stafnya di kantor.
"Duduklah nak, ajak temanmu juga." Perintah Tuan Oliver memecah rasa Canggung di antara mereka.
"Silahkan Niar. " Theo menarik kursi untuk Daniar duduki. Theo berada di antara sang ibu dan Daniar, duduk di hadapan Alya.
"Ya sudah, kita mulai sekarang makan malamnya. " Nyonya Aline mempersilahkan semua orang menikmati hidangan.
Tak ada obrolan selama berlangsungnya acara makan malam. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Theo pikir setelah Alya menikah mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Agar perasaannya berkurang seiring berjalannya waktu. Dia lupa, bahwa mereka kini menjadi keluarga.
Daniar berkali-kali merem as kedua tangannya. Merasa tidak enak pada Alya karena menerima ajakan Theo.
"Kami sudah selesai makan, aku akan mengantar Daniar pulang." Theo bangkit dari kursi, begitupun Daniar mengikuti apa yang Theo lakukan.
"Terima kasih tuan dan nyonya Oliver atas jamuannya. Semoga kalian sehat selalu." Ucap Daniar mencoba seramah mungkin meski mereka menatapnya penuh tanya.
"Teman Theo adalah keluarga kami juga. Hati-hati di jalan Theo. " Jawab Nyonya Aline melepas kepergian anak bungsunya. Percuma menahannya lebih lama, itu hanya akan membuat perasaannya kacau.
Setelah Theo dan Daniar pergi, Christian mengajak Alya mengobrol sebentar dengan orang tuanya. Membahas hal-hal kecil mengenai kehidupan rumah tangga. Mereka paham jika Alya masih terlalu muda dan memerlukan bimbingan.
"Tuan, aku akan turun di sini. Biar aku naik taxi saja." Pinta Daniar di saat mobil keluar dari area perumahan elit keluarga Theo.
"Kau datang bersamaku, jadi aku bertanggungjawab mengantarmu pulang." Tolak Theo secara tegas, Daniar hanya bisa pasrah.
Lagi-lagi suasana menjadi hening. Dering ponsel Daniar memecah kebisuan mereka. Tampak ragu, namun Daniar tetap mengangkatnya. Mungkin saja itu satu hal penting yang perlu Daniar dengar.
"Halo,,, " Sapa Daniar.
"Benarkah? Baiklah kalau begitu." Usai mengobrol singkat Daniar lantas mematikan sambungan.
"Siapa? " Dorongan di hati Theo mengkhianati logikanya, dia menyesal bertanya seolah penasaran.
"Seseorang yang penting." Jawab Daniar ambigu. Theo mengira itu kekasih Daniar, dia mendadak kesal.
Daniar kembali ke apartemen setelah Theo menurunkannya di tepi jalan. Tak ada tanda-tanda Jeni di sana, artinya dia sedang bermalam di tempat Justin. Saat ingin melepaskan pakaiannya bel rumah berbunyi.
Daniar tebak itu bukan Jeni, dia bisa saja langsung masuk. Mungkinkah Justin membawa Jeni dalam keadaan teler? Segera Daniar keluar kamar untuk membukakan pintu.
"Jeni kau baru pu,,, " Perkataan Daniar menggantung melihat sosok yang baru saja mengantarnya pulang.
"Tuan Theo? "
"Ponselmu tertinggal di mobilku." Theo menyerahkan benda pipih milik Daniar.
"Ah thanks, and sorry. Aku merepotkanmu." Daniar Tak enak hati, padahal Theo bisa saja memberikannya besok di kantor.
Mereka berdiam diri saling menatap, bukankah seharusnya Theo lekas pergi?
"Would you like a cup of coffee? " Tawar Daniar basa-basi.
"Yes please. " Daniar benar-benar di buat bingung dengan sikap Theo. Namun ia tetap menjamu nya dengan baik.
Meski belum di persilahkan, Theo sudah duduk di sofa depan televisi. Sementara Daniar membuat kopi untuknya. Tidak ada mesin espresso layaknya apartemen mewah, Daniar menyeduh air panas untuk kopi bubuk yang ia punya.
"Silahkan tuan. " Daniar menyodorkan secangkir kopi panas di meja.
"Thanks." Ucap Theo.
"Aku ingin membersihkan badan dulu. Buatlah senyaman mungkin." Theo hanya mengangguk tak masalah, lalu Daniar segera masuk ke kamar mandi.
Di kamar mandi yang memang di luar kamar, Daniar merutuki kecerobohan nya. Dia lupa membawa pakaian ganti. Mengingat Theo begitu mencintai Alya, ia yakin kalau semua akan baik-baik saja. Theo tidak mungkin tergoda olehnya.
Membuang rasa malunya jauh-jauh, Daniar melenggang keluar melewati Theo di ruang televisi.
"Uhuk uhuk,,, " Saat itu Theo sedang meneguk kopi buatan Daniar, ia langsung tersedak melihat Daniar hanya mengenakan handuk putih berjalan membelakangi nya.
"Shitt.. " Umpat Theo merasakan tubuhnya memanas, juniornya bahkan seketika bangun.
"Kau gila Daniar, kenapa bisa tidak tahu malu seperti tadi? " Daniar mengomeli dirinya sendiri sambil memakai one set piyama berbahan rayon. Baru keluar untuk menemui Theo setelahnya.
"Aku akan pulang, Terima kasih kopinya." Daniar hilang fokus, dia hanya mengangguk sebagai jawaban.
Theo bergegas menuju pintu, namun ia segera berbalik dan berjalan cepat menuju Daniar. Daniar membeku ketika Theo mencium bibirnya cukup lama. Rasanya Daniar ingin waktu berhenti saat itu juga.
Dan pikirannya kembali sadar, Daniar segera mendorong dada Theo. Semua ini salah, Theo hanya menjadikannya pelampiasan. Mungkin kebodohan Daniar tadi telah mengusik Theo.
"Maaf." Hanya itu yang bisa Theo katakan, lalu kali ini dia sungguh pergi meninggalkan Daniar.
Daniar menyentuh bibirnya, kemudian turun ke dada. jantungnya sudah tidak bisa ia ajak kompromi. Daniar telah jatuh semakin dalam pesona Theo.
"bodoh, kau bodoh sekali Daniar. " menutup wajahnya, Daniar merasa tidak memiliki keberanian untuk muncul di hadapan Theo besok atau seterusnya.
"Niar,,, " asik melamun di sofa, Daniar terkejut melihat Jeni sudah masuk ke rumah. sejak tadi Daniar belum bisa memejamkan matanya. ia memilih menunggu Jeni untuk bercerita.
"aku rasa aku sudah jatuh cinta Je." Gumam Daniar menunduk, sejujurnya Daniar malu mengakuinya pada Jeni. tapi dia butuh teman untuk dimintai saran.
"whom did you Love Niar? " tanya Jeni tak sabar, dia duduk di sebelah Daniar memandangnya tak sabar.
"Theodor Oliver. " lirih Daniar, suaranya hampir tak terdengar andai saja Jeni tidak memperhatikan nya intens.
"kau gila Niar? tidak, aku harap kau segera melupakan perasaanmu. Kau bahkan tahu persis bagaimana Theo pada nona Alya." Jeni menjambak rambutnya frustasi, dia mengasihani nasib temannya.
"aku sangat sadar diri Je, tapi sejak dulu aku memang sudah mengagumi Theo. Aku tidak perlu mengakui atau mendapat jawaban darinya Je. hanya saja akhir-akhir ini Theo membuatku bingung." tanpa menceritakan apa yang Theo lakukan padanya, Daniar merasa belum saatnya dia terbuka. Daniar yakin Theo hanya butuh pelampiasan saat ini.
"ok, kau perlu seseorang untuk mengalihkan perasaanmu Niar. aku akan meminta Justin mengenalkan temannya untuk mu. " meski itu bukan ide yang lebih baik, setidaknya saran Jeni memang masuk akal.
Daniar harus bisa menguapkan rasa sukanya pada Theo.
"baiklah, aku akan mencobanya. " jawab Daniar pasrah. mereka akhirnya pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments