Dimas hanya tersenyum dengan tingkah Dinda yang canggung dan malu.
"Kenapa aku ada di kamarmu?" tanya Dinda.
"Seseorang tidur merebut tempat tidurku, aku bisa apa," ucap Dimas.
"Tidak mungkin aku seperti itu!" protes Dimas.
"Lalu?"
"Aku ...." Dinda terdiam menyadari dia yang berada di kamar Dimas, seingatnya mereka sedang dalam perjalanan pulang dari pasar. Tapi tiba-tiba dia terbangun di kamar suaminya tanpa mengingat yang lainnya.
"Kau sudah membaik?" tanya Dimas.
"Memangnya aku kenapa?" balas Dinda.
"Hmm, kau semalam tertidur pulas tanpa bisa di bangunkan. Apa kau sudah bisa memasak?" jelas Dimas sembari bertanya.
"Hmm," Dinda bergegas pergi keluar kamar Dimas meski sempat mengagumi luas kamar suaminya jauh dari miliknya.
Dimas yang masih merasa ngantuk, dia melanjutkan tidurnya tanpa pindah dari sofa. Semalam dia terjaga takut terjadi hal di duga pada Dinda, tapi ternyata gadid itu tidur pulas sampai pagi.
"Apa aku kambuh lagi, Tapi kenapa aku tidak sadar?" gumam Dinda.
Pergi ke lantai bawah, Dinda menghampiri lemari makanan dengan deretan bahan yang mereka beli kemarin. "Siapa yang merapihkan kalian, sangat pandai," ucap Dinda tersenyum.
"Semalam tuan muda yang membereskannya, Nona," suara Doni membuat Dinda terkejut, meski dia tidak percaya Dimas melakukannya. Tapi dia hanya mengangguk dan kembali bersiap menyiapkan sarapan.
Sementara Dinda sibuk membuat sarapan, Dimas mendapat panggilan telpon dari mertuanya. Ponselnya berdering di atas meja membuatnya merasa terganggu baru saja mau tidur lagi tapi harus ada yang menelponnya sepagi itu.
Dimas mengerutkan dahi merubah raut wajahnya menjadi lembut dan berkata. "Wanita yang harus selalu aku hormat dan sayang," ucap Dimas menempelkan ponsel di telinganya.
"Dimas, bagaimana apa ada perkembangan pada kalian?" tanya Mona bersemangat membuat putranya hanya menutup mata mendengar pertanyaan ibunya yang setiap waktu sama.
"Perkembangan yang Mama maksud seperti apa? Dimas hanya perlu tidur bersamakan?" jawab Dimas setengah mengantuk.
"Anak pintar, walau kalian masih kuliah. Tapi tidak ada salahnya memiliki anak," ucap Mona.
"Anak?!" kali ini Dimas membuka lebar kedua matanya mendengar ucapan ibunya.
"Heem, seharusnya itu tidak masalah," angguk Mona.
"Apanya tidak masalah! Dimas tutup dulu, Dinda memanggil." Dimas merasa harus menghindari arah percakapan ibunya.
"Kalo begitu biar mama bicara dengannya!" balas Mona.
"Nanti Dimas telpon kalo sudah selesai sarapan, seharusnya Mami juga sarapankan pagi ini?" ucap Dimas.
"Huh anak ini, selalu saja mengusirku!" rutuk Mona.
"Tidak mengusir Mah, tapi Dimas harus ...."
"Ya, sudah sana! Kalian memang tidak bisa di ganggu pengantin baru."
Dimas menyimpan ponselnya kembali setelah ibunya menutup teleponnya. Pandangan melihat ke arah jam dinding yang sudah jam 7 pagi. Dimas tidak lagi tidur, dia berjalan memasuki kamar mandi dan keluar kamar setelahnya. Tercium aroma masakan setelah sampai di bawah anak tangga, dia menghampiri dapur, melihat Dinda sedang memasak bersrmangat.
"Dia sudah membaik," ucap Dimas.
"Sarapan!" panggil Dinda di balas anggukan Dimas.
Ada beberapa menu di atas meja termasuk nasi, dia tidak percaya gadis itu benar-benar menyediakan sarapan pagi dengan baik.
"Kenapa, ada yang kamu tidak suka?" tanya Dinda.
"Aku tidak pilih-pilih makanan," balas Dimas.
"Makanlah."
Keduanya menyelesaikan sarapan pagi tanpa berbicara, Dinda merapihkan piring bekas hendak mencucinya. Dimas masih melihat keadaan Dinda dan juga tangannya, sudah tidak ada ruam alergi disana.
"Biar aku bantu." Dimas mendekat mencoba membantu Dinda yang sedang di hadapan wastafel mencuci piring.
"Kamu simpan saja piring bersih ke tempatnya!" seru Dinda.
"Ini?" tanya Dimas menunjuk piring beserta rak untuk piring bersih.
"Ya," angguk Dinda.
Mereka berdua bekerjasama menyelesaikan bersih-bersih setelah sarapan.
"Apa kamu tidak pernah melakukannya?" tanya Dinda.
"Apa?"
"Menyusun piring di atas rak mana tempat gelas dan piring?" tanya Dinda lagi, dia melihat Dimas menyimpan acak antara piring dan gelas.
"Bukan seperti ini?" tanya Dimas.
"Piring bagian atas dan gelas bagian bawah, ada juga ini tempat sendok dan juga mangkuk." Dinda menjelaskan setiap fungsi dari rank piring kepada suaminya.
Dimas hanya mengangguk, selama ini yang dia tahu hanya sekolah main dan makan, tidak pernah banyak memperhatiakan teori dan cara di dapur beserta apa saja yang harus dilakukan.
Setelah itu, mereka duduk berhadapan di kursi meja makan lagi setelah Dimas mengajak istrinya untuk duduk.
Canggung, tapi Dinda tetap duduk disana dan mengawali pembicaraan. "Kenapa semalam aku tidur di kamarmu?" tanya Dinda.
"Ini beberapa obat yang harus kamu minum untuk meredakan alergimu," ucap Dimas memberikan sekantung obat yang semalam tidak sempat di minum Dinda.
"Semalam aku alergi? Hehe, maaf aku tidak cerita kalo aku tidak boleh banyak makanan di luar," ucap Dinda semakin canggung.
"Tidak apa, tapi lain kali kamu tidak boleh melakukannya tanpa ada aku!" tegas Dimas.
"Kenapa?"
"Apa kau berniat untuk tidur di pangkuan orang lain?" tatap Dimas.
"Hah, kemana arah pikiranmu?" balas Dinda tidak terima.
"Kau tidur tanpa bicara kemarin di depanku, jika sembarangan lalu siapa yang akan membawamu?"
"Aku tidak akan," tegas Dinda.
"Keras kepala," acuh Dimas.
"Aku akan lakukan Dimas bodoh!" Dinda mengambil obatnya, dia juga meminum beberapa obat tepat di hadapan Dimas.
"Aku juga yang akan tentukan makananmu nanti, jangan sembarangan makan," ucap Dimas.
"Hei, di luar kita tidak saling kenal ya!" tegas Dinda.
"Hmmm."
"Dih, aku akan siap-siap. Hari ini aku mendaftar kuliah," ucap Dinda.
"Kau pergi dengan sopir," ucap Dimas.
"Lalu kamu?" tanya Dinda.
"Menurutmu?" tatap Dimas.
Dinda melihat Dimas berjalan pergi meninggalkannya. Pria itu berhenti sejenak berbalik ke arah Dinda. "Sarapannya enak."
Pujian Dimas membuat Dinda tertegun, dia tidak menyangka Dimas akan menyukai masakannya. Tidak salah ucapan ibunya dulu, jika akan ada seseorang yang memuji masakanmu meski kamu baru belajar memasak dan merasa tidak percaya diri menghidangkannya. Dinda mengerti maksud ibunya tentang seseorang itu adalah seorang suami yang bersedia memakan masakan istrinya.
"Apa aku harus senang? Hahaha, apa ini rasanya di puji seorang suami, aku merasa jadi wanita di usia muda." Dinda tertawa tertahan merasa geli membayangkannya, dia juga bersemangat kembali merapihkan meja makan dan bersiap untuk pergi ke kampus.
Hari ini adalah aktivitas pertama semenjak merekadatang ke Surabaya Dinda bersiap dan berencana pergi dengan sopir pribadinya. Dan Dimas pergi terlambat dengan scooternya yang kini sudah kembali dari bengkel, meski mereka suami istri, tapi perjanjian untuk melakukan aktivitas masing-masing sudah di sepakati termasuk urusan pribadi mereka. Tidak ada perdebatan pagi itu, keduanya sudah pergi dengan tujuan satu sama lain meski mereka berada di universitas yang sama dan kuliah di jurusan yang berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments