“Kebetulan saya sedang tidak ada kesibukan, ada sih tapi saya sedang istirahat. Sebaiknya saya antarkan Ibu dan anak Ibu ke Rumah sakit. Nanti biar saya yang mengurus administrasinya.”
“Tidak perlu mbak, biar saya bawa anak saya sendiri,” sahut Bu Risa mulai panik.
“Kenapa Bu? Saya hanya ingin anak Ibu secepatnya mendapat pertolongan. Mari saya antarkan Bu.”
“Mbak Ratih ini niat atau tidak meminjamkan saya uang? Saya hanya butuh uangnya saja Mbak. Saya bisa bawa sendiri anak saya ke Rumah sakit, jadi mbak tak perlu repot mengantar kami.”
“Lah sangking niatnya Saya mau bantu Ibu, makanya Saya mau antarkan Ibu dan anak Ibu ke Rumah sakit. Kenapa Ibu jadi marah begitu.”
“Lagian Saya belum pernah bertemu dengan Ibu sebelumnya, dari mana Ibu tahu nama saya?,” Ratih mulai menaruh curiga pada wanita paruh baya yang kini ada di hadapannya.
“Dari tetangga sebelah rumah Mbak. Tadinya saya ke sana terlebih dahulu, namun saya malah disuruh meminjam kesini.”
“Saya tidak akan berikan uangnya jika Ibu tetap menolak saya antarkan. Sekarang ini banyak sekali penipu berkeliaran Bu.”
‘Dasar orang kaya pelit. Uang segitu doang perhitungan banget,’ batin Bu Risa dongkol.
“Bagaimana Bu? Masih mau menolak Saya antarkan?”
“Halah ya sudah tak usah, gak jadi Aku pinjam uangmu. Orang kaya kok perhitungan.”
Bu Risa keluar dari rumah Ratih dengan wajah masam. Bahkan Bu Risa sudah tak seramah dan sebaik saat baru datang.
“Sialan, gagal lagi dapat duit. Kenapa sih pada perhitungan sama uang segitu aja. Rumah gedongan, punya Mal besar, eh mengeluarkan uang sejuta aja berat. Hitung-hitung sedekah,” gerutunya sepanjang jalan.
“Ada saja orang mau menipu. Kalau memang orang membutuhkan ya pasti aku bantu,” Ratih kembali fokus pada layar ponselnya yang menyala tanda pesan masuk.
“Oh rupanya pesan dari mas Agus. Wah keren ini mah fotonya. Model barunya juga cantik dan berbakat. Tak salah mas Agus memilihnya dari sekian banyak yang mendaftar. Tapi kok wajahnya seperti tidak asing ya?"
Agus adalah penanggung jawab saat pemotretan berlangsung. Agus mengirimkan beberapa hasil pemotretan untuk produk kosmetik, dan beberapa busana baru yang akan dijual di Mal Asri.
*****
“Ron kamu sudah makan? Ini Ibu bikinkan lalapan ayam kesukaan kamu.”
“Maaf Bu kebetulan tadi sudah dikasih makan sama ibunya mbak Indri.”
“Alhamdulillah. Bagaimana sama pekerjaan yang mbak Indri berikan? Apa kamu bisa menyelesaikannya? Secara kamu tak pernah berpengalaman soal urusan Perusahaan."
“Alhamdulillah bisa Bu. Bahkan mbak Indri merekomendasikan hasil kerja Roni pada suaminya yang kebetulan menjadi Direktur Utama di perusahaan Airlangga Group.”
“Wah sebentar lagi kamu bakal kerja di Kantor? Ibu bangga dengan perubahan kamu Roni."
"Semoga Allah selalu memudahkan jalanmu.”
“Terima kasih Bu atas doanya buat Roni.”
“Ya. Ya sudah sana istirahat. Ayamnya untuk lauk nanti malam saja kalau begitu.”
“Iya Bu."
Pria pemalas itu rupanya telah berubah dan memiliki masa depan yang lebih baik. Ia pun kini sudah resmi bercerai dengan Indah.
“Mas.”
“Iya Dek.”
“Rima kok jadi kangen ya sama ibu? Bagaiamana kabar ibu ya mas?”
“Sudah jangan pikirkan ibu lagi. Selama ini Ibu sudah terlalu jahat sama kamu dek.”
“Tapi Mas.”
“ Gak usah tapi-tapi, sudah malam beristirahatlah.”
“Rima mau menunggu Nanda pulang Mas. Sudah jam delapan kok Nanda belum ada pulang. Biasanya paling lambat jam enam sore sudah di Rumah.”
“Jangan cemaskan Nanda. Nanda pasti dijaga baik- baik oleh para penanggung jawab pemotretan."
"Lagian anak itu sudah punya ilmu bela diri yang mumpuni, jadi Mas pastikan dia bisa menjaga dirinya sendiri.”
“Tetap saja Mas, aku mencemaskannya. Aku sangat menyayanginya Mas, wajar aku begini.”
“Assalamualaikum.”
“Nah itu dia datang.”
“Malam banget dek pulangnya. Lihat mbakmu sangat menghawatirkan kamu.”
“Maaf Mbak, Mas, sudah membuat kalian mencemaskan neng Nanda. Tadi pemotretan di Puncak, jadi sampai membuat Nanda pulang malam.”
“Oh iya tidak apa-apa. Terima Kasih sudah menjaga adik kami. Mau masuk dulu?”
“Maaf saya buru-buru. Kebetulan ibu saya sedang ada di Rumah menunggu saya. Saya langsung pamit, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsallam. Hati-hati ya.”
“Siap Mas.”
Setelah Hadi pulang, mereka pun gegas masuk.
“Sudah makan malam belum dek?”
“Sudah Mbak. Tadi bang Hadi yang traktir.”
“Ya sudah, langsung istirahat kalau begitu. Kamu pasti lelah.”
“Iya Mbak, Mas, Nanda pamit ke Kamar dulu.” Nanda pun berjalan mendahului sang kakak untuk masuk ke Kamarnya yang berada di dekat ruang tamu.
*****
“Kok belum tidur Ron? Ini sudah malam. Besok terlambat berangkat kerja,” Bu Heni menegur sang anak yang masih sibuk dengan ponselnya.
“Iya sebentar lagi Roni tidur Bu. Ibu duluan saja.”
Roni tengah sibuk dengan benda pipihnya,
mempelajari lebih dalam ulasan yang diberikan oleh Manajer Perusahaan tempatnya bekerja.
*****
“Ibu bagaimana sih? Suruh mengemis saja tidak bisa. Dasar ibu tidak berguna. Kalau ibu tidak bisa menghasilkan uang sama sekali, aku tidak mau Ibu tinggal bersamaku.”
“Maafkan Ibu Bianca. Ibu susah berusaha, tapi selalu gagal. Besok Ibu akan mencoba lagi.”
“Besok lebih jelek lagi baju yang Ibu pakai, biar orang iba sama Ibu. Ibu tahu sendiri kan Mas Dian tidak mau memberi nafkah untuk Ibu? Makanya Ibu harus cari uang untuk Ibu makan.”
“Iya Bianca, Ibu akan berusaha cari uang. Ibu hanya menumpang saja di rumahmu, untuk masalah makan biar Ibu cari sendiri.”
“Nah bagus. Ini akibat Ibu dulunya membenci Mas Dian. Makanya dia tak mau menerima kehadiran Ibu di sini. Untung setelah aku bujuk, dia mengizinkan Ibu tinggal di sini, kalau tidak Ibu sudah jadi gelandangan kali ya di luar sana.”
“Memangnya kamu tega Ibu jadi gelandangan?”
“Lah kenapa tidak? Ibu saja dulu tega mengusirku, hanya karena aku menikah sama pria yang belum mapan.”
“Maafkan Ibu. Ibu hilaf Bianca. Ibu sudah salah mengusir kalian.”
“Sekarang Ibu mau menumpang di sini, tanpa Ibu memikirkan masa lalu kita yang tak baik. Meminta maaf? Ibu kira enak, baru menikah satu hari sudah terusir dari Rumah. Untung suamiku punya kinerja yang baik di Perusahaan, kalau tidak mungkin ibu tak hentinya menghina kemiskinan kami.”
“Maafkan Ibu Bianca. Tolong pelankan suara kamu, Ibu malu di dengar sama tetangga. Ibu dulu tak menerima pernikahan kamu, karena suami kamu kere. Apa kata tetangga, kalau Ibu punya menantu kere.”
“Sama Bu, kalau soal malu. Kami juga sangat malu, karena punya Ibu matre dan suka nikah cerai.”
“Wajar saja sih, di mana pun Ibu berada, selalu saja tidak diterima. Itu akibat dari perbuatan Ibu sendiri. Aku tak sepenuhnya menyalahkan Nindi. Dia pasti punya alasan sendiri sampai tega mengusir ibu.”
“Tahunya hanya nikah cerai, tanpa memikirkan kami.”
“Bianca!,” suara bariton sang suami, membuat Bianca sedikit terlonjak.
“Tak sepantasnya kamu berbicara seperti itu pada ibu. Mas sudah dengar semuanya. Mas juga sudah memaafkan ibu. Mulai besok ibu akan makan bersama kami. Maafkan Dian Bu.”
“Ibu yang seharusnya meminta maaf. Ibu sudah mengusir kalian, dan membuat hidup kalian sengsara.”
“Sudah Bu lupakan saja. Yang sudah biarlah berlalu. Kita buka lembaran baru. Berjanjilah untuk berubah Bu. Sungguh hidup jauh lebih membahagiakan, kalau kita bisa berbuat baik pada siapa pun. Jangan lagi suka menilai orang sesuka Ibu. Karena semua orang bisa sukses dengan jalan apa pun.”
“Bianca sebenarnya bukan anak yang durhaka, dia hanya kecewa dengan sikap ibu saat itu. Bianca istri dan ibu yang baik.”
Bianca hanya bisa menangis, mendengar ungkapan hati sang suami. Dia sangat ingat, saat keluar dari Rumah sang ibu, tidak membawa uang sepeser pun.
Semua uang sumbangan pernikahan, sang ibulah yang menguasai. Bahkan sang ibu tanpa belas kasihan, mengusir dirinya juga sang suami hanya karena suaminya belum memiliki pekerjaan tetap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments