MERTUA YANG PILIH KASIH
“Bambang, antar mbakmu ke pasar! Masmu belum bangun, katanya capek,” ucap bu Heni saat menantunya sedang membuatkan bekal untuk suaminya bekerja.
‘Apa, capek? Dia hanya menganggur saja, sedangkan suamiku jadi tulang punggung keluarga besar. Rasa mau aku siram saja kakak iparku yang pemalas itu,’ gerutu Rima dalam hati.
“Maaf Bu, tapi mas Bambang ada rapat ke Kantor Dinas pagi ini. Kalau harus mengantar mbak Indah dulu, nanti bisa terlambat. Lagian mas Roni capek ngapain, Bu? Kerja juga tidak. Yang jadi tulang punggung 'kan suamiku Bu. Suamiku yang capek,” sahut Rima saat melihat Bambang suaminya, mendadak lesu.
‘Aku tidak bisa membiarkan ibu terus memanjakan kakak iparku yang pemalas itu. Enak saja dia, sudah punya istri tidak juga mau bekerja,’ batin Rima kesal.
“Iya Bu, Bambang memburu waktu Bu. Bisa-bisa Bambang dipecat kalau sering terlambat. Lagian dek Rima sudah masak banyak, untuk apa mbak Indah ke pasar?”
“Mbakmu itu mau beli baju untuk dipakai ke undangan nanti siang. Lagian hanya membeli baju, tidak lama kok,” bu Heni masih berusaha membujuk anaknya.
Bu Heni selalu saja seperti itu. Semua tanggung jawab dipikul oleh Bambang. Sedangkan anak tertuanya, hanya menengadahkan tangan saja pada Bambang. Sudah punya istri, tapi tidak mau bekerja. Semua nafkah untuk keluarga ini, Bambang. yang menanggung.
Kalau untuk ibu mertuanya, Rima tidaklah keberatan, toh sudah menjadi tanggung jawab suaminya pada ibunya. Tapi tidak pada kakak suaminya dan istrinya. Tidak seharusnya mereka memberatkan suami Rima untuk menanggung kehidupan mereka.
Rima sering kali menasihati suaminya, untuk tidak memberikan nafkah pada kedua manusia pengangguran itu. Tapi alasan tidak enak pada ibunya, menjadi alasan Bambang untuk tetap memberikan nafkah pada mereka.
“Ya sudah Bu, tidak apa-apa kalau Bambang tidak mau mengantarku, biar mas Roni saja,” Indah tiba-tiba ikut nimbrung dengan wajah masam.
“Tuh kan, mbakmu jadi sedih. Cuma mengantar ke pasar saja tidak mau. Maaf ya Nak Indah, kamu jangan sedih! Nanti Ibu tambahi uangnya, biar dapat dua baju untukmu,” Bu Heni mencoba membujuk Indah agar tidak marah.
Rima terlihat kesal, sungguh kesal pada Indah yang manja itu. Apa-apa harus dituruti, gak masalah kalau pakai uang suaminya, lah ini pakai uang suami Rima.
“Sudah deh, Mbak jangan manja! Apa-apa mesti keturutan. Suruh suamimu itu bekerja mbak. Jangan apa-apa mesti suamiku yang menanggung,” bisik Rima lirih tepat pada telinga kakak iparnya.
Seketika Indah mencebik dan menatap Rima tak suka. Indah kira Rima tidak keberatan apa sama sikapnya yang manja itu? Rima saja tidak pernah meminta ini itu pada suaminya, karena Rima tahu, beban yang suaminya tanggung tidaklah sedikit.
“Sudah Bambang berangkat kerja dulu Bu. Keburu siang,” Bambang menyalami ibunya, kemudian beralih pada istrinya, tanpa memedulikan Indah yang berdiri di sebelah Rima.
“Mas berangkat dulu Dek. Doakan Mas selamat sampai tujuan dan bisa kembali ke rumah dalam keadaan sehat,” ucapnya setelah menyalami Rima.
“Selalu kudoakan Engkau Mas. Tanggung jawabmu begitu besar pada keluarga, semoga lelahmu berkah Mas, dan Allah selalu melindungimu.”
‘Kulepaskan suamiku bekerja dengan ikhlas. Tidak tega rasanya melihatnya bekerja begitu keras. Namun bagaimana lagi? Suamiku tidak suka mengeluh dengan keadaan. Ia juga tidak merasa keberatan membiayai kehidupan kakak beserta istrinya yang manja itu,’ Rima kembali menggerutu kesal dalam hati.
“Rim, cuci piring sama menyapu halaman belakang bagian kamu, ya? Ibu sudah capek mau istirahat dulu,” ucap bu Heni setelah selesai memasak.
“Iya Bu. Ada mbak Indah, biar mbak Indah bantu cuci piring, jadi Rima yang menyapu halaman belakang,” sahut Rima sembari tersenyum sinis pada Indah.
“Mbak bantu cuci piring, ya? Mbak 'kan juga penghuni rumah ini. Jangan apa-apa tidak mau turut serta."
“Jangan dong Rim! Mbakmu kan orang kota yang biasa kerja kantoran, kasihan kalau harus mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak biasa dikerjakannya.”
“Ayo Nak Indah, kita bersantai di teras. Pagi-pagi enak duduk di sana. Udaranya masih sangat sejuk.”
'Lah kalau dia orang kota memangnya kenapa? Jadi ibu anggap aku orang desa harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah ini sendirian gitu? Aku dan mbak Indah sama-sama menantu ibu. Ibu begitu sayang dan peduli pada mbak Indah, tapi tidak padaku,' gumam Rima dalam hati.
Mereka pun meninggalkan Rima yang masih berkutik untuk urusan pekerjaan rumah. Tega sekali bu Heni pada menantunya. Di rumah itu, Indah juga sama kedudukannya dengan Rima, sebagai seorang menantu, tapi entah mengapa ibu Heni memperlakukan mereka berbeda?
Tidak hanya pada Rima, namun pada suami Rima juga. Pada Roni bu Heni juga sangat memanjakannya. Bahkan melarang Roni bekerja dengan alasan suatu penyakit. Padahal Roni sehat-sehat saja. Suami Rima yang kerja mati-matian untuk menghidupi semuanya. Bahkan Rima terkadang menerima pesanan kue untuk menambah uang belanja. Padahal Roni dan suaminya juga sama-sama anak ibu Heni.
Selesai sudah dengan segala pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Rima juga sudah mandi dan berniat untuk sarapan. Namun setelah sampai di batas dapur, rasa nyeri di ulu hati tiba-tiba terasa sekali.
Rima melihat ibu mertuanya begitu bahagia makan bersama dengan Indah. Hal yang tidak pernah bu Heni lakukan bersamanya. Menjadi menantunya selama tiga tahun tidaklah sebentar, tetapi mereka velum pernah makan semeja berdua. Seistimewa itu Indah di mata bu Heni?
Sekarang Rima baru menyadari, keberadaannya di rumah itu hanya sebatas menantu yang hanya diperas tenaganya saja. Namun kasih sayang, bu Heni berikan hanya pada Indah tanpa tersisa sedikit pun untuknya.
‘Apa karena mbak Indah berasal dari keluarga kaya, sehingga ibu sangat menyayanginya, walaupun dia pemalas. Tapi padaku, ibu berbeda. Aku yang menyelesaikan hampir semua pekerjaan di rumah ini,’ batin Rima.
Dulu Rima melakukannya dengan senang hati, namun tidak dengan sekarang. Sejak Rima tahu, dia dan Indah dibedakan, dia merasa berat hati menyelesaikan pekerjaan di rumah ibu mertuanya.
Dia hanya ingin diperlakukan sama. Toh sama-sama menantu. Rima urung untuk ke meja makan.
Rima hendak menuju kamarnya. Namun tiba-tiba terdengar pintu depan di ketuk secara berulang. Rima segera menuju ke sumber suara berasal.
Rima membuka pintu dengan perlahan.
“Nanda,” teriaknya saat dilihatnya adik iparnya berdiri di depannya dengan menentang tas dan sebuah koper berwarna hitam dalam genggaman tangannya.
“Mbak Rima, Nanda kangen,” gadis berusia 23 tahun itu segera melepas kerinduan dengan memeluk Rima dan Rima pun balas memeluknya.
“Ayo masuk Dek! Kebetulan Ibu sedang sarapan,” ajaknya pada Nanda yang baru saja mengurai pelukannya. Gadis cantik itu menurut saja padanya, Nanda langsung mengangguk sumpringah.
Dengan wajah bahagia Rima menyambut kepulangan adik iparnya. Hanya Nanda dan suaminya yang paling mengerti keadaannya di rumah ini.
Jika ada Nanda, bu Heni tidak berani semena-mena padanya. Apalagi Indah, dia dengan berat hati mengambil jatah pekerjaan rumah.
“Eh Nanda, kamu pulang kok tidak kasih kabar? Kan bisa dijemput sama mas Roni,” ucap Indah basa basi.
“Kejutan Mbak,” sahut Nanda singkat tanpa menoleh sedikit pun pada mbak iparnya yang manja itu.
Bu Heni langsung memeluk anak bungsunya. Sementara Indah melirik Rima tajam. Rima juga tidak mau diam saja, langsung ia pelototi juga mbak iparnya yang tidak tahu diri itu. Rima tahu Indah tidak suka dengan kepulangan Nanda, karena dengan adanya Nanda, ia tak bisa lagi ongkang-ongkang kaki di rumah.
Nanda selalu memintanya untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, dan bu Heni tidak bisa melindunginya lagi, jika sudah Nanda yang meminta.
“Alhamdulillah anak gadis Ibu pulang tepat waktu. Ayo makan Nak! Kamu pasti belum sarapan kan tadi? Kamu makin cantik saja Nak,” bu Heni mengelus pipi Nanda dan menciumnya.
“Em iya Bu Nanda belum sarapan.” Nanda langsung melirik Rima. “Kayaknya Mbak juga belum makan, ya? Ayo temani Nanda makan Mbak,” ajaknya pada Rima. Adik iparnya itu selalu saja tahu keadaan mbak iparnya yang tersisihkan.
“Iya Mbak temani kamu makan Dek,” sahut Rima kemudian.
“Ya sudah kamu makan dulu ya? Ibu sama mbak Indah mau ke depan, kalau sudah selesai kita mengobrol bareng di depan,” sela bu Heni.
“Iya Bu, siap.”
Mereka pun menikmati sarapan berdua. Hati Rima yang tadinya sakit, mendadak sirna dengan datangnya Nanda. Nanda akan pulang setiap tiga bulan sekali. Dia ada kontrak kerja dengan butik dan beberapa toko pakaian terkemuka di Kota. Iya Nanda adik ipar Rima adalah seorang model pakaian Muslimah.
“Mbak selama aku tidak di rumah, apa Mbak Indah ada bantu-bantu Mbak?” tanya Nanda sesudah mereka selesai makan.
“Jawab jujur Mbak! Aku akan memberinya pelajaran, agar dia jera,” desak adik ipar Rima dengan wajah serius.
‘Aku bingung harus jujur atau menutupi semuanya. Nanda sangat baik padaku, tapi aku takut memancing keributan karena kejujuran yang aku ungkapkan. Bagaimana ini? Jika diam saja, tentu aku yang semakin tersiksa,’ batin Rima gundah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Aisyah Aisyah
semangat kaka
2023-01-12
0
Sun_Lee
kasian Bambang, jadi generasi sendwice untuk keluarganya🙄🙄
2023-01-12
2
Sun_Lee
Hai, Kak Zul. Maaf aku mampir🤭
2023-01-12
2